Mongabay.co.id

Bangun Garam Industri di Flores Timur, Bagaimana Nasib Petambak Tradisional?

Pemerintah Kabupaten Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur (NTT) bertekad akan membangun garam industri di pulau Solor sebagai sebuah langkah menekan impor garam dari luar negeri.

Langkah ini telah disetujui pemerintah pusat dengan hadirnya Dirjen Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Budi Situmorang bersama perusahaan Asera Kapital Investama Jakarta di desa Sulawaseng, Solor Selatan, akhir September.

“Lahan yang disiapkan seluas 1.500 hektar dan pendekatan dengan masyarakat terus kita lakukan dan saat ini sedang diadakan survey kelayakan tanahnya.Apakah tanah seluas ini bisa tidak dipergunakan,” sebut Bupati Flotim Antonius Gege Hadjon, saat ditemui Mongabay Indonesia, akhir September.

Anton berharap tanah lokasinya cocok dijadikan tambak garam setelah dilakukan pengecekan oleh tim. Tanah di pulau Solor sebagian besar berbatu cadas.

Kondisi tanah di pulau Solor yang tidak subur, menyebabkan masyarakatnya banyak yang merantau ke luar daerah mencari pekerjaan bahkan hingga ke Malaysia.

Kondisi Solor itu menyulitkan percepatan pembangunan, lanjutnya, sehingga Pemkab ingin memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada.

“Pemerintah sangat berharap industri garam ini bisa terwujud agar bisa meningkatkan pendapatan masyarakat,” harapnya.

baca :  Kenapa Pemerintah Tak Juga Perbaiki Tata Kelola Garam Nasional?

 

Lahan pantai di kecamatan Solor Barat pulau Solor, Flores Timur, NTT, yang akan dibangun sentra garam nasional untuk industri. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Sistem Bagi Hasil

Solor merupakan sebuah satu dari dua pulau besar di Flotim selain Adonara. Luas pulau ini sebesar 226,86 km².

Direncanakan lahan tambak seluas 15 ribu hektar yang akan dijadikan pusat produksi garam nasional tersebut tersebar di 5 desa yakni desa Kenere dan Sulengwaseng kecamatan Solor Selatan, desa Kalelu, Titehena dan Lamawalang di kecamatan Solor Barat.

“Lahan seluas ini belum miliki sertifikat sehingga kami bekerjasama dengan BPN agar bisa membantu masyarakat dengan memberikan sertifikat kepemilikan,” sebut Anton.

Lahan milik masyarakat menurut Anton akan dikontrak oleh perusahaan sesuai dengan kesepakatan. Masyarakat yang menjadi pekerja di lahannya dimana garamnya nanti dibeli perusahaan.

Sedangkan 300 hektar bakal menjadi lahan inti milik perusahaan yang akan mempekerjakan tenaga tetap dan digaji. Lahan selebihnya merupakan milik masyarakat.

“Perusahaan yang membangun lokasi tambak dan menyiapkan mesin dan pekerjaannya masyarakat yang melakukan. Sistimnya bagi hasil sehingga masyarakat mendapatkan penghasilan,” sebutnya.

Sedangkan Budi Situmorang saat tatap muka dengan warga di Solor mengatakan selama ini di Indonesia hanya terkenal garam Madura seluas 2 ribu hektar.

baca juga :  Garam Rakyat Didorong Penuhi Standar Internasional, Bagaimana Caranya?

 

Para perempuan di desa Mokantarak,Larantuka, Flores Timur, NTT, sedang mengambil air laut untuk dipergunakan memasak garam tradisional. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selama ini di NTT, produksi garam masih dalam skala kecil. Budi menyebutkan selain ada di kabupaten Kupang dan Nagaekeo, pemerintah pusat juga akan mengembangkannya di kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan.

“Solor harus menjadi sentra dan mempunyai kapasitas usaha dan produksi yang harus lebih besar dari daerah lainnya. Potensi alam lautnya bagus dan kualitas garamnya pun diprediksi berkualitas terbaik,” sebut Budi.

  

Pola Tradisional

Masyarakat Flotim sejak dahulu terkenal dengan garam tradisionalnya yang membanjiri pasar-pasar lokal yang dijual dengan sistem barter.

Sentra garam tradisional di Flotim terdapat di beberapa lokasi seperti di Konga, Lewolaga, Lamika, Mokantarak di pesisir pantai selatan serta Kawaliwu dan Kolaka di pantai utara. Untuk di Solor ada di Mananga, Adonara di Meko dan beberapa di Adonara Timur.

Siprianus Sina Ritan, Plt. Kepala Dinas Perdagangan Flotim kepada Mongabay Indonesia menyebutkan, pihaknya tidak bisa membantu petani garam tradisional selama mengolah garamnya menggunakan kayu bakar.

“Pemerintah bisa bantu kalau petani mau berubah dari pemasak garam menjadi petambak garam. Sistem tambak tidak membutuhkan kayu bakar karena ditakutkan petani akan menebang pohon untuk kayu bakar,” terangnya.

menarik dibaca :  Benarkah Teknologi Pengolahan Garam Sudah Dikuasai Indonesia?

 

Mari Barek Maran perempuan pemasak garam tradisional di desa Mokantarak, Larantuka, Flores Timur, NTT sedang menuangkan air laut ke dalam wadah untuk dimasak menjadi garam. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Teknologi geomembran saat ini sedang dikembangkan. Siprianus mencontohkan, dua kelompok petani garam di desa Konga kecamatan Titehena dan desa Pledo Meko kecamatan Witihama Adonara.

Potensi lahan di kedua daerah ini bisa mencapai 10 hektar, tapi baru dikembangkan 1 hektar di Konga. Untuk Pledo 2017 sudah ditingkatkan menjadi 2 hektar dengan produksi 25 ton/tahun.

“Di Konga sudah tidak berjalan padahal semua peralatan disiapkan. Kami sudah damping sampai kemasan garam yodium tapi petani tidak mengembangkan lagi,” sebutnya.

Siprianus menyesalkan mental petani yang masih berpikir proyek dan mengharapkan dana terus dari pemerintah. Sehingga ketika pendampingan selsai, petani berhenti berusaha.

“Kami siapkan pasarnya dan petani yang bekerja dan memperoleh penghasilan. Jangan mengira akan ada bantuan selamanya,” himbaunya.

Untuk Pledo Meko, Pemkab akan mendampingi petani bisa memproduksi dan mengemas garam yodium.

“Pasaran industri di dalam daerah saja untuk 280 ribu penduduk Flotim masih berasal dari NTB. Ini peluang namun pemikiran bisnis petani belum berjalan dengan baik makanya pemerintah dampingi,” kata Anton.

baca :  Kisah Lasiyem, Petani Garam Terakhir Bledug Kuwu

 

Garam tradisional yang sudah disaring di Nome dan ditiriskan airnya hingga kering sebelum dimasukan ke dalam karung plastik dan dijual di pasar tradisional di kota Larantuka, Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Theresia Lipa Kelen, petani garam tradisional di Mokantarak setuju bila pemerintah membantu petani garam tradisional. Tetapi pemerintah membantu peralatan dan mengajarkan teknologi tambak garam hingga kemasan dan pemasaran.

“Petani pasti mau apalagi pemasarannya berjalan rutin dan petani garam tradisional mendapatkan penghasilan,” tuturnya.

  

Ada Tantangan

Pembangunan industri garam nasional di Flotim membutuhkan komitmen dari semua pihak baik masyarakat terutama petani garam, pemilik lahan, pemerintah dan investor.

Bupati Flotim berjanji memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat yang terlanjur dapat hasutan agar menolak pembangunan industri garam.

Pemerintah juga mendorong investor untuk melakukan survei di kecamatan Ilebura, Titehena dan kecamatan Tanjung Bunga. Pemkab ingin memulai dengan produksi garam industri dahulu.

“Petani di Madura menjual garam industri dengan harga Rp.300/kg dan dalam setahun bisa produksi 100 ton per hektar. Ini pendapatan yang lumayan besar untuk petani,” sebutnya.

Ke depannya, ditargetkan bisa memproduksi garam konsumsi. Sebanyak 280 ribu orang penduduk Flotim adalah pasar yang besar yang harus dikuasai.

“Kita memulai dari apa yang kita miliki dan harus berkomitmen. Tuhan berikan air laut bagi masyarakat Flotim sebagai lahan hidup makanya ini harus diberdayakan. Flotim harus bisa jadi sentra garam nasional,” tekad Anton.

 

Exit mobile version