Bentang laut Sulu Sulawesi menjadi salah satu kawasan yang berperan sangat penting dalam pengelolaan Segitiga Terumbu Karang dunia yang mencakup enam negara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon. Selama enam tahun terakhir, bentang laut tersebut mendapat penjagaan sangat ketat dari tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Bentuk penjagaan itu juga melibatkan Jerman melalui Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) yang berperan sebagai negara donor. Keterlibatan empat negara dalam pengelolaan bentang laut tersebut, menjadi penanda bahwa perairan laut di Indonesia menjadi salah satu yang sangat diperhitungkan di dunia. Bentang laut yang dikelola, mencakup empat provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Utara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta, menjelaskan. Pengelolaan secara bersama bentang laut Sulu Sulawesi, kini sudah memasuki masa penghabisan, karena kerja sama tersebut sudah dimulai sejak 2012 dan berakhir pada 2018 ini.
“Ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi kita di Indonesia. Jangan sampai setelah ini (selesai), pengelolaan juga selesai,” ucapnya di Jakarta, Selasa (9/10/2018).
baca : Kawasan Strategis Nasional Harus Selaras dengan Perencanaan Laut, Kenapa?
Secara spesifik, daerah yang masuk dalam pengelolaan bentang laut Sulu Sulawesi sendiri, menurut Brahmantya, mencakup Kabupaten Berau (Kaltim), Kota Tarakan (Kaltara), Gorontalo, dan Kabupaten Minahasa (Sulut). Ketiga provinsi tersebut, satu sama lain memiliki peran yang sangat vital dan saling terhubung.
Brahmantya mencontohkan, di Berau, ekosistem laut yang ada menjadi habitat penting bagi penyu hijau (Chelonia mydas) yang menjadi penyu terbesar di dunia. Keberadaan hewan laut itu, hingga saat ini masih mendapat ancaman kepunahan, karena aktivitas manusia yang sangat tinggi di jalur migrasi penyu hijau. Tanpa pengamanan jalur migrasi, maka penyu hijau hidupnya semakin terancam.
Selain penyu hijau, Brahmantya melanjutkan, fokus penyelamatan biota laut juga dilakukan untuk hiu paus (Rhincodon typus). Ikan terbesar di dunia itu, hingga saat ini masih mendapat ancaman serius, karena perilaku manusia yang sudah melebihi batas. Di Indonesia dan belahan dunia lainnya, hiu paus kini menjadi primadona baru untuk atraksi wisata di laut.
baca juga : Inilah Penyelamatan Penyu Hijau di Tengah Bentang Laut Sulu Sulawesi
Biota Laut
Untuk menjaga hiu paus, kata Brahmantya, tak cukup hanya dilakukan di satu perairan saja di satu daerah, tapi juga harus terhubung dengan daerah lain di bentang laut Sulu Sulawesi. Khusus di Indonesia, hiu paus juga bisa ditemukan di daerah lain seperti Gorontalo yang ada di pulau Sulawesi. Namun, hiu paus juga diketahui bisa ditemukan di perairan Kabupaten Berau di pulau Kalimantan.
baca : Wisata Hiu Paus di Gorontalo dan Kelestarian yang Harus Dijaga
“Sekarang tinggal keseriusan pemerintah daerah untuk mengelolanya. Mengingat, biota-biota laut itu adanya di perairan milik daerah. Sekarang bagaimana daerah bisa menambah kawasan konservasi perairan lagi. Itu tentu saja atas keterlibatan kami (KKP) di pusat,” ungkapnya.
Bupati Berau Muharram di kesempatan yang sama, memaparkan bahwa daerahnya merasa beruntung karena mendapat perhatian khusus dari dunia. Tetapi, keberuntungan itu, harus dijaga dengan baik, walaupun program bentang laut Sulu Sulawesi sudah berakhir pada 2018 ini. Menurut dia, saat ini menjadi momen yang pas dan tepat untuk meneruskan usaha yang dilakukan program tersebut.
“Berau nanti bisa mengimplementasikan apa yang sudah dilakukan pada program ini. Ada manfaat riil yang bisa dirasakan masyarakat dengan melaksanakan konservasi perairan. Ini juga bagus untuk jangka waktu yang panjang,” ujarnya.
baca : Sembilan Tahun Peringati Hari Terumbu Karang Dunia, Bagaimana Kondisi di Indonesia?
Muharram mengatakan, sebagai daerah yang masuk kawasan konservasi secara internasional, perairan Kabupaten Berau memiliki kawasan konservasi khusus bernama Taman Pesisir Kepulauan Derawan (TPKD). Di dalam kawasan tersebut, terdapat zona pemanfaatan, zona inti, dan zona pemanfaatan lainnya. Luasan dari TKPD sendiri secara keseluruhan mencapai 285.548,95 hektar.
“Kita serius untuk mewujudkan kawasan konservasi (perairan Indonesia) seluas minimal 1,2 juta hektare. Perlu kerja keras dan dukungan dari semua pihak untuk bisa mewujudkannya,” jelasnya.
Dalam mengelola kawasan konservasi, Muharram menyebutkan, perlu diperhatikan beberapa hal yang menjadi dasar dalam melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi, yaitu regulasi, edukasi, dan pengawasan. Ketiga hal itu, satu dengan yang lain berkaitan, karena itu adalah bentuk pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi.
Untuk regulasi, Muharram menyebutkan, pihaknya sudah melakukannya dengan memberi payung hukum penetapan TKPD. Kemudian, untuk edukasi, itu menjadi penting karena bisa memberikan pemahaman dan pendampingan kepada masyarakat terkait penetapan kawasan konservasi. Pada akhirnya, pemberdayaan ekonomi di masyarakat juga akan tetap berjalan berdampingan dengan konservasi.
“Dengan demikian, kita harapkan nanti masyarakat tidak lagi bergantung pada hasil tangkapan di laut, tapi bisa mengembangkan usaha ramah lingkungan, seperti pariwisata,” tuturnya.
Selain dua hal di atas, Muharram menjelaskan, penjagaan kawasan konservasi juga harus dilakukan melalui pengawasan. Tujuannya sudah jelas, yaitu untuk melindungi kawasan dari aktivitas yang mengancam kerusakan. Dengan kata lain, untuk bisa menjaga sebuah kawasan konservasi perairan, tak hanya usaha ekstra keras, tapi juga kemauan dari semua pihak untuk bisa menjaga dan mengelolanya dengan baik.
Jantung Segitiga Karang
Project Director GIZ Franca Sprong, dalam kesempatan yang sama juga mengakui, salah satu fokus yang dilakukan pihaknya dalam program tersebut adalah melaksanakan konservasi perikanan dan kelautan. Karenanya, lembaga milik Pemerintah Jerman itu mengucurkan dana hingga 7 juta euro untuk mendukung program tersebut.
Menurut Franca, konservasi harus dilaksanakan karena kawasan bentang laut Sulu Sulawesi berperan penting untuk kelestarian Segitiga Karang dunia. Untuk itu, tak hanya konservasi perairan saja, secara spesifik dilakukan konservasi pada biota laut dan sumber daya laut lainnya yang ada di kawasan tersebut.
“Seperti hiu paus, penyu, mangrove, dan juga terumbu karang. Mereka semua tak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, karena memang akan melestarikan kawasan perairan,” jelas Franca yang ternyata juga menjabat Project Director Sulu Sulawesi Seascape.
Dalam melaksanakan program, Franca menjelaskan, tim melakukan berbagai upaya pendekatan untuk melaksanakan konservasi. Di antara yang dilakukan, adalah dengan mendekati masyarakat secara langsung dan memberikan mereka pelatihan ataupun workshop tentang sumber daya laut yang ada di kawasan perairan tempat tinggal mereka.
“Bagi kami, yang terpenting itu adalah koordinasi, kerja sama, dan komunikasi. Tanpa tiga elemen itu, kita mustahil untuk bisa melaksanakan program di tiga negara yang menjadi jantung dari Segitiga Karang dunia. Jadi, ini cerita tentang masyarakat, tentang konservasi perairan juga,” paparnya.
Tentang upaya konservasi perairan, juga diceritakan Muhammad Ali, nelayan yang tergabung dalam Jaringan Nelayan (JALA) Berau. Dia mengatakan, sebelum ada konservasi, dia adalah nelayan yang terbiasa mencari ikan dengan cara merusak (destructive fishing). Biasanya, dia menggunakan bom untuk menangkap ikan.
“Tetapi, kemudian saya sadar bahwa Berau ini diperhatikan dunia. Ada banyak keajaiban di dalam perairan kami. Jadi, saya memutuskan berhenti dari cara merusak dan mengajak nelayan lain untuk ikut bergerak menjadi nelayan ramah lingkungan. Saat ini sudah ada 30 nelayan yang mengampanyekan itu,” ucapnya.
Sementara, Ading Kurniadi mengaku bahagia bisa ada di Berau hingga saat ini. Penyebabnya, menurut pria dari Derawan Turtle Center itu, karena di Berau ada penyu hijau yang populasinya sangat sedikit di dunia. Faktor tersebut juga, yang membawanya terlibat dalam konservasi penyu hijau hingga saat ini. Walaupun, latar belakang pendidikannya sangatlah berbeda dengan bidang yang digelutinya sekarang.
“Saya belajar otodidak. Saya hanya ingin belajar bagaimana menyelamatkan mereka dari kepunahan. Keajaiban itu ada di Berau, dan kita harus bisa menjaganya. Saya tidak lagi memedulikan latar belakang pendidikan yang bukan dari kelautan dan perikanan,” tandas dia.
Ading bercerita, pada tahun 1970-1980-an, penyu sangat banyak dan mudah ditemukan di perairan Derawan. Dalam semalam, ada sekitar 100 ekor penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. Tetapi, jumlah itu kemudian menyusut menjadi hanya 30-40 ekor saja setiap malam di masa sekarang. Itu juga, hanya terjadi di musim bertelur yang terjadi pada Agustus hingga September setiap tahun.
“Sekarang sudah jauh berkurang. Kita harus bergerak bersama untuk menyelamatkan penyu,” pungkas dia.