Mongabay.co.id

Begini Seruan Indonesia Atasi Dampak Perubahan Iklim untuk Negara Kepulauan di Dunia

Pertemuan menteri negara kepulauan (Archipelagic and Island States/AIS) yang akan digelar pada 1-2 November 2018 di Manado, Sulawesi Utara, harus menjadi momentum yang berharga bagi negara-negara kepulauan di dunia. Momen tersebut, terutama untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang terjadi di negara kepulauan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan seluruh negara kepulauan yang tergabung dalam AIS harus memiliki komitmen bersama untuk bersatu melawan dampak perubahan iklim. Bahkan, tanpa segan, dia menyebut negara kepulauan harus bisa ada di barisan terdepan di dunia dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

“Indonesia adalah salah satu negara kepulauan di dunia dan berperan penting di dalamnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terdampak perubahan iklim. Ini yang harus diatasi bersama,” ujarnya, di Jakarta, pekan lalu.

Diketahui, negara yang tergabung dalam AIS, terdiri dari Indonesia, Singapura, Palau, Maurutius, Saint dan Nevis, Selandia Baru, dan Inggris. Secara keseluruhan, Luhut menyebutkan, negara anggota AIS jumlahnya mencapai 46 dan itu mencakup seluruh negara kepulauan yang ada di dunia. Pertemuan di Manado nanti, akan digelar bersama antara Indonesia dengan United Nations Development Program (UNDP).

Sebelum hadir di Manado, negara-negara AIS lebih dulu melaksanakan pertemuan pejabat tingkat tinggi (Senior Official’s Meeting/SOM) di Jakarta. Pertemuan tersebut, menjadi pertemuan kedua setelah yang pertama digelar pada November 2017 lalu. Menurut Luhut, pertemuan tersebut, semakin menguatkan persatuan negara kepulauan dalam menghadapi segala isu di dunia.

baca : Negara Kepulauan Semakin Terancam Hadapi Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Pulau Gee, Halmahera Timur, Maluku Utara. Pulau-pulau kecil di Indonesia terancam akan tenggelam akibat dampak dari perubahan iklim. Foto: AMAN Malut/Mongabay Indonesia

 

Tentang seruan untuk melawan bersama dampak perubahan iklim, Luhut mengatakan bahwa itu merupakan isu yang sudah diangkat dalam setahun terakhir bersama negara-negara AIS. Isu tersebut menjadi penting, karena negara kepulauan menjadi negara yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim.

“Contoh paling nyata yang dialami negara kepulauan akibat perubahan iklim, adalah kenaikan permukaan air laut, kenaikan kadar keasaman laut, pemutihan karang, penangkapan ikan secara ilegal. Kemudian ada juga bencana di laut. Itu semua memerlukan perhatian kita semua,” ucapnya.

baca :  IPCC : Hanya Tersisa 12 Tahun untuk Mencegah Bencana Ekstrim Akibat Perubahan Iklim

 

Terobosan Negara Kepulauan

Asisten Deputi Bidang Navigasi dan Keselamatan Maritim Kemenko Maritim Odo Manuhutu mengatakan, untuk mengatasi beragam persoalan, terutama untuk mengatasi dampak perubahan iklim, Pemerintah ingin membuat terobosan melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Terobosan itu, terutama untuk mencari solusi dari beragam masalah, dengan cara yang berbeda.

Odo menyebutkan, kerja sama yang dilakukan Pemerintah, di antaranya dengan mengajak masyarakat melalui organisasi kepemudaan ataupun perusahaan perintis (start up) yang berfokus dalam pengembangan masalah kemaritiman. Lebih khusus lagi, mereka yang mau bekerja sama untuk isu kelautan, pariwisata, dan sekaligus lingkungan.

“Itu jelas tidak mudah. Pasalnya, tidak semua organisasi atau start up mau untuk melakukan itu. Tetapi, kita yakin akan ada yang mau bekerja keras untuk isu-isu tersebut,” jelasnya.

 

Pulau Kakaban, salah satu pulau kecil di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pulau-pulau kecil di Indonesia berpotensi tenggelam karena kenaikan muka air laut sebagai dampak perubahan iklim.  Foto: Awan Harinto/Mongabay Indonesia

 

Kerja sama secara langsung dengan pemilik gagasan, menurut Odo merupakan langkah yang signifikan dan lebih maju dibandingkan setahun lalu. Saat itu, negara kepulauan masih memetakan permasalahan yang terjadi di negara masing-masing dan permasalahan secara umum yang sering terjadi di negara kepulauan.

“Kita ingin, masalah yang ada, bisa diatasi dengan cerdas. Terutama, persoalan sampah yang masih menjadi persoalan utama di negara kepulauan. Dan juga, penanganan dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh semua negara kepulauan,” tandasnya.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Maritim Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, persoalan yang ada di negara kepulauan harus bisa dilakukan dipetakan secara bersama dan dicarikan solusinya untuk kepentingan bersama. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas kepada setiap negara kepulauan, terutama pada masyarakat yang menjadi stakeholder utama di masing-masing negara.

“Itu untuk mengatasi berbagai isu kelautan yang sekarang ini muncul,” ucapnya.

Dengan keuntungan yang dimiliki negara kepulauan, Yudhi menyebutkan, sangat pas jika negara yang tergabung dalam AIS semakin menguatkan kerja sama di berbagai bidang. Hal itu, karena AIS adalah wadah untuk bertukar ilmu pengetahuan dan kerja sama teknis antar negara kepulauan. Melalui komitmen bersama seperti itu, permasalahan berat diyakini bisa diatasi secara bersama.

baca juga :  Sektor Kelautan Petakan Kekuatan untuk Perubahan Iklim

 

Sampah yang memenuhi pantai di Pulau Mare. Sampah-sampah ini diduga ‘kiriman’ dari Ternate dan Tidore. Foto: M Rahmat Ulhaz/Mongabay Indonesia

 

Di sisi lain, Country Director UNDP Christophe Bahuet mengungkapkan kekhawatirannya tentang perlindungan sumber daya alam yang ada di laut. Menurutnya, perlindungan sangat penting diberikan, mengingat laut adalah pusat sumber daya masa depan yang masih banyak dan bisa dimanfaatkan untuk semua negara.

Tak tanggung-tanggung, Bahuet menaksir bahwa sumber daya laut saat ini mampu menghasilkan nilai USD3-6 triliun per tahun di pasar industri kelautan dan sumber daya pesisir dunia. Nilai tersebut, akan terus membengkak jika pemanfaatan sumber daya laut bisa lebih baik lagi. Dengan segala potensi tersebut, sangat penting untuk memberikan perlindungan pada sumber daya alam yang ada di laut.

 

Bencana Laut

Bahuet menerangkan, jika tidak bisa memberikan perlindungan pada laut dan kemudian tidak bisa mengatasi dampak perubahan iklim, maka tunggu saja kehancuran sosial dan ekonomi yang ada di dunia. Bagi dia, bencana sosial dan ekonomi besar akan datang jika perlindungan dan penanganan dampak perubahan iklim tidak berhasil dilakukan.

“Untuk itu, penting untuk bekerja sama antar negara untuk memberikan perlindungan pada laut dan sekaligus menangani dampak perubahan iklim. Harus ada keterlibatan negara dengan membuat terobosoan inovatif,” jelas dia.

Lebih rinci, Bahuet mengungkapkan, permasalahan yang ada di setiap negara kepulauan, mencakup juga persoalan sampah plastik di laut, pengembangan ekonomi biru, manajemen bencana, dan perikanan berkelanjutan. Tanpa keterlibatan semua negara kepulauan, permasalahan-permasalahan tersebut akan sangat sulit diatasi.

“Kita harus bisa memberikan solusi yang bersifat terobosan dan sekaligus cerdas. Tentu saja, itu semua bisa dilakukan dengan saling bertukar informasi dan pengalaman dari masing-masing negara,” tuturnya.

baca :  Lima Persen Pulau Kepri Bakal Hilang 2022

 

Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang dulunya penuh dengan sampah plastik kini mulai bersih. Sampah-sampah biasanya datang dari daratan atau pulau lain sekitar atau ketika ada pesta pengantin. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Diketahui, forum AIS diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk implementasi komitmen untuk menangani dampak perubahan iklim. Pemanasan global yang memicu perubahan iklim menyebabkan gleiser dan es di kutub-kutub bumi mencair. Akibatnya, permukaan laut naik hingga masuk ke wilayah pesisir atau daratan.

Di Indonesia, pemanasan global ini salah satunya berdampak pada tenggelamnya 2 dukuh (wilayah bagian dari sebuah desa) di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, karena banjir rob. Daerah tersebut, diketahui memiliki luas wilayah 89.743 hektare dengan panjang pantai 34 Km. Namun, saat ini abrasi sudah meluas hingga area 798 ha.

Dampak perubahan iklim, juga diketahui bisa memicu tenggelamnya sekitar 2000 pulau kecil di Tanah Air pada 2030. Analisa itu dipublikasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan PBB pada 2009. Akibat perubahan iklim juga, dampak negatif menimpa terumbu karang di sejumlah kawasan, termasuk di kawasan Pasifik Barat.

Kemudian, kenaikan suhu air laut hingga 4 derajat yang diakibatkan pemanasan global, juga akan menyebabkan sekitar 89 persen terumbu karang di wilayah Pasifik Barat dan sekitarnya mati. Tak hanya itu, dampak negatif dari pemanasan global juga mengakibatkan turunnya pemasukan di sektor pariwisata maupun perikanan.

“Permasalahan tersebut, menjadi tantangan nyata bagi Indonesia dan negara kepulauan lain yang ada di dunia,” pungkas Bauhet.

 

Exit mobile version