Mongabay.co.id

Sebaiknya KKP Berperan pada Restorasi Gambut. Mengapa?

Potensi gambut di Kalimantan Tengah yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat yang hidup di lahan basah, termasuk di lahan gambut atau rawang di Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan, serta pesisir Papua, selama ratusan tahun hidup dalam kebudayaan bahari. Mereka memandang bentang alam, sebagai permukiman dan sumber kehidupan yang merupakan bagian dari lautan. Namun, setelah rawang itu rusak, ketika ingin diperbaiki mengapa bentang alam tersebut dilihat bagian dari daratan?

“Masyarakat asli umumnya berpandangan, rawa gambut atau rawang sebagai bagian lautan. Ini bertolak belakang dengan kelompok pendatang yang lebih melihat sebagai bagian daratan, yang dapat dioptimalkan pengelolaannya untuk usaha-usaha budidaya khas darat,” kata Yusuf Bahtimi, peneliti dari CIFOR, Selasa (9/10/2018).

“Pertanyaannya, apakah restorasi gambut saat ini lebih pada pendekatan budaya darat? Hal ini bisa dilihat dari program restorasi, apakah lebih tertumpu pada usaha intensifikasi mata pencaharian berbasis darat atau bahari/air. Tampaknya, lebih didorong pada mata pencaharian berbasis darat.”

Seharusnya, pemberdayaan ekonomi masyarakat rawa gambut atau rawang fokus pada perikanan. “Mendorong pengembangan ekonomi kerajinan anyaman itu bagus, tapi sulit menjadi sumber ekonomi utama seperti perikanan, kecuali menjadi pemasok industri yang menggunakan bahan baku purun,” katanya.

Baca: Menyelaraskan Identitas Rawang dan Restorasi Gambut

 

Potensi gambut di Kalimantan Tengah yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Para pelaksana pengembangan ekonomi berbasis darat, akhirnya kesulitan dengan masyarakat rawang. Mereka pun menyatakan masyarakat rawang itu pemalas karena susah diajak bertani atau berkebun. “Mereka nyaman bekerja sama dengan transmigran yang umumnya berasal dari budaya darat seperti Jawa dan Bali. Target pemberdayaan pun akhirnya hampir sama di seluruh Indonesia, memberdayakan masyarakat transmigran yang berada di lahan gambut.”

Seharusnya, para transmigran yang didatangkan berasal dari budaya bahari, seperti di masa lalu, wilayah pesisir timur Sumatera yang didiami Suku Bugis, yang memiliki kesamaan budaya dengan masyarakat rawang di Sumatera. “Atau para transmigran itu didorong beradaptasi dengan masyarakat rawang. Mereka turut menjadikan perikanan sebagai sumber pangan. Dengan begitu, mereka memiliki kepedulian pada hutan dan rawa gambut.”

Persoalannya masih adakah rawang itu? Yusuf mengatakan, memang mulai habis karena perkebunan dan HTI. Tapi, restorasi itu mengembalikan kondisi rawang yang masih dikuasai negara seperti semula, seperti kawasan konservasi. Jadi, sejalan upaya mengembalikan kondisi rawang, harus dilibatkan pula masyarakat rawang dalam menata dan menjaganya. Caranya, dengan memberi akses mereka ke lokasi restorasi untuk mencari ikan, yang kemudian menghasilkan produk-produk berbasis ikan. Kalau menjadi sumber ekonomi, lahan yang direstorasi tersebut pasti mereka jaga.

“Bukan diajak bertani atau berkebun, karena mereka butuh pengetahuan, teknologi, biaya, serta waktu. Para transmigran dari Jawa dan Bali saja harus berdarah-darah puluhan tahun guna mengubah gambut menjadi lahan dapat dikelola. Itu pun muncul persoalan baru seperti kebakaran dan air bersih,” jelasnya.

Baca: Wong Rawang, Membaca Jejak Keberadaan Mereka di Lahan Gambut

 

Danau yang berada di lahan gambut. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Apakah mereka tidak memiliki tradisi pertanian dan peternakan? Jawab Yusuf, masyarakat melayu melakukan usaha pertanian pada daerah gambut terbatas pada pemanfaatan musim dan wilayah, yang memang bisa dilakukan untuk pertanian atau perkebunan. Panduannya, misalnya, tercatat dalam Hikayat Banjar, yakni, “(tanahnya) rasanya hangat serta bau harum”.

Bau harum itu merupakan kebalikan dari bau busuk atau dalam bahasa sains moderen lahan yang mengandung hidrogen sulfida (H2S), beracun bagi tanaman. Sementara tanah yang hangat indikasi terjadi dekomposisi, artinya tanah tersebut relatif subur karena memiliki hara hasil dekomposisi. Bagaimana dengan sisa wilayah rawa gambut yang tidak tepat untuk bercocok tanam? Masyarakat melayu memanfaatkan ikan dan hasil hutan yang tersedia.

Terkait peternakan, masyarakat melayu cenderung memilihara ayam dan bebek. Ada sebagian yang beternak hewan kaki empat yaitu kerbau, bukan sapi. Sebab, kerbau dapat hidup di lahan basah. Kotoran yang jatuh di air juga menjadi makanan ikan. “Di wilayah Pampangan, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, yang masyarakatnya banyak memelihara kerbau, cukup memberikan dampak baik bagi perikanan di sana.”

Baca: Masyarakat Rawang yang Perlahan Kehilangan Tempat Hidupnya

 

Ikan merupakan sumber pendapatan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

KKP harusnya dilibatkan

Terkait gambaran tersebut, lanjut Yusuf, dalam hal tata kelola kebijakan, harusnya ada koordinasi antara KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) sebagai lembaga yang bergerak dalam domain laut dan perikanan, serta KLHK yang mempunyai domain kawasan hutan, serta didukung Kementerian Pertanian.

Tapi bukan lebih banyak memberikan porsinya pada Kementerian Pertanian, yang pasti berpikir sebuah lahan harus dapat dikelola, baik sebagai pertanian, perkebunan, atau peternakan. “Mungkin yang didorong pada masyarakat rawang adalah pertanian yang arif terhadap lingkungan, yang tidak mengubah lahan atau lahan tidak dikelola.”

Bukti masyarakat rawang atau rawa gambut beraktivitas pada perikanan dan pertanian adalah ditemukannya berbagai peralatan produksi perikanan dan pertanian. Misalnya, pada masyarakat Banjar. Mereka memiliki sekitar 40 lebih alat produksi perikanan, lalu 14 jenis perahu sesuai fungsinya, serta 27 alat pertanian yang termasuk untuk wilayah genangan.

“Artinya, masyarakat melayu yang hidup di rawang memiliki kearifan pertanian dan budaya maritim. Restorasi gambut harusnya belajar dari kearifan ini, bukan membawa apalagi memaksakan tradisi daratan,” kata Yusuf.

Baca juga: Ada Wiki Gambut Sumatera Selatan, Apa Tujuannya?

 

Wong rawang di Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, yang masih bertahan mencari ikan. Foto: Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Kerugian sektor perikanan

Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI, Badan Litbang dan Inovasi KLHK), setuju jika program restorasi gambut lebih banyak melibatkan KKP. “Sebab, yang merasakan dampak kerusakan rawang mereka langsung. Terutama, produksi perikanan,” katanya, Rabu (10/10/2018).

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), kerugian yang dirasakan masyarakat rawang selama 18 tahun terakhir, mencapai puluhan miliaran dari sektor perikanan. “Selain itu, mereka juga harus mengeluarkan biaya membeli ikan buat makan yang dipasok dari perkotaan. Ironis,” katanya.

“Tapi, besaran kerugian masyarakat rawang sejak rusaknya gambut tengah dihitung. Perkiraan sementara, puluhan miliar rupiah dari sektor perikanan,” katanya.

Selain rusaknya rawang, masyarakatnya juga dipaksa mengubah budaya dari maritim ke daratan. Contohnya, banyak anak sungai yang dimatikan, kemudian dibangun jalan-jalan darat, sehingga masyarakat rawang terpaksa membeli transportasi darat atau mengeluarkan biaya lebih dibandingkan perahu.

“Terkadang, kita ini terlihat lebih kejam dibandingkan kolonial Belanda. Sebab semasa colonial, bentang alam rawa gambut sama sekali tidak diubah,” ujarnya.

Dalam catatan Mongabay Indonesia, berbagai program pemberdayaan ekonomi terkait restorasi gambut di Sumatera Selatan cenderung pada sektor pertanian dan perkebunan. Bahkan, sejumlah usaha budidaya khas darat yang didorong, seperti perkebunan jagung, perkebunan nanas, palawija, atau memelihara sapi. Sementara yang mencirikan masyarakat rawang antara lain pengembangan kerajinan anyaman purun, sale ikan, moderenisasi pertambakan ikan, dan pemeliharaan itik atau bebek, minim terlihat.

Dari pemantauan Mongabay Indonesia, hampir semua masyarakat lokal di sekitar rawa gambut di Sumatera Selatan, yang bentang alamnya masih ditemukan genangan air dan sungai, dipastikan beraktivitas pada perikanan, selain berkebun karet atau bersawah pasang surut. Ini ditemukan mulai dari Cengal, Tulungselapan, Pangkalan Lampam, Pampangan, Air Sugihan, Sungsang hingga Sembilang.

 

 

Exit mobile version