Mongabay.co.id

Gairah Bertani Itu Muncul Kembali

Masyarakat lokal di Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam mengolah lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hari Tani Nasional yang diperingati pada 24 September 2018, menjadi peristiwa penting bagi petani enam desa di Kecamatan Manuhing Raya, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Gairah petani yang merupakan masyarakat Dayak dari Desa Mantuhe, Putat Durei, Luwuk Tukau, Tumbang Oroi, Tumbang Samui dan Kelurahan Tehang, yang sempat kendor muncul kembali. Mereka bertekad memaksimalkan potensi pertanian di wilayahnya sembari mencari solusi persoalan yang ada.

Diromindodo, perwakilan dari kelompok tani mengatakan, masyarakat Dayak sedari awal memang bertani selain berburu. Namun, kebiasaan tersebut mulai ditinggalkan karena aturan laranagn membakar lahan dari pemerintah. Akibatnya, ketergantungan masyarakat pada beras, sayuran hingga ikan dan daging tidak dapat dihindari.

“Padahal, potensi Mahuning Jaya cukup bagus mulai dari tanaman lokal dan sayuran yang dapat dimanfaatkan. Tanahnya juga cukup subur,” jelasnya baru-baru ini.

Diromindodo berharap, peraturan pemerintah tersebut dapat mengakomodir budaya berladang masyarakat dayak yang telah dilakukan turun-temurun. Yaitu, budaya membakar yang tetap memperhatikan luas kawasan yang dibakar. “Kami meminta solusi pemerintah agar dapat menanam padi,” jelasnya.

Baca: Begini, Cara Masyarakat Kalimantan Tengah Antisipasi Kebakaran Hutan

 

Masyarakat lokal di Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam mengolah lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Gandi D. Karim, perwakilan kelompok tani lainnya menyatakan hal senada. Kelompok taninya pernah dipanggil aparat karena salah satu anggotanya membuka lahan dengan cara bakar. Kejadian tersebut masih membekas. “Meski masih ada yang bertani, mungkin hanya tersisa 10 persen saja,” terangnya.

Sistem pertanian dalam Suku Dayak tergolong sederhana. Setelah ladang dibuka dengan cara ditebang, lalu dibakar. Selanjutnya, padi ditanam bersamaan sayuran, buah dan jenis lainnya. Perawatannya mudah, hanya dijaga dari hama seperti burung, tikus dan monyet.

Pemupukan jarang dilakukan. Hasil pembakaran saat pembukaan lahan itulah digunakan sebagai pupuk. Meski terlihat ringkas, namun nilai-nilai kearifan lokal serta filosofi dalam membuka ladang tetap mereka jaga. Suku Dayak yang hidup dan bergantung pada alam sangat menghargai padi serta tumbuhan dan hutannya.

Sejumlah bibit yang mereka tanam pun masih dijaga. Sebut saja suna (lokio), bawang lemba/bawang dayak (Eleutherina bulbosa/palmifolia), terong asam (Solanum ferox), saretak/kacang tanah, jelei/jelai (Coixlachryma-Jobi L atau Coix.agrestis Lour), jewawut (Setaria italica) juga singkah nange (sejenis palem).

Baca juga: Warga Membakar Lahan, Kejahatan atau Bentuk Perlawanan?

 

Nasib petani harus diperhatikan agar kondisi pertanian Indonesia terjaga selalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pertanian lokal

Maria, Community Officer Borneo Institute (Bit), pada acara “Pertanian Lokal Ramah Lingkungan Menuju Kedaulatan Pangan Berkelanjutan” yang merupakan rangkaian perayaan Hari Tani Nasional 2018, sebelumnya menjelaskan pertanian lokal yang ramah lingkungan harus dikedepankan. Aturan pemerintah yang tidak sesuai untuk diterapkan masyarakat adat ini membuat mereka kesulitan menyesuaikannya. “Akibatnya, semangat bertani masyarakat Dayak menurun,” jelasnya.

Namun, Bit melihat, saat ini ada keinginan mereka untuk bertani karena itu pendampingan pada petani enam desa tersebut dilakukan. “Mereka sempat bergantung kebutuhan sayuran dari penjual, yang setiap hari datang. Setelah mereka kembali bertani, ketergantungan itu sudah berkurang,” katanya.

Saat ini, ada 22 kelompok tani yang dibina Bit. Sebanyak 13 kelompok merupakan petani sayur mayur dan sisanya petani sengon. Sejauh ini, pola yang dibangun masyarakat adalah mengadopsi cara lama yang sudah dilakukan masyarakat Dayak.

 

Potensi gambut di Kalimantan Tengah yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Maria melanjutkan, faktor lain yang membuat gairah bertani masyarakat menurun juga ada, terutama pola hidup konsumtif. “Dulu, ada budaya handep hapakat atau tolong menolong (barter tenaga),” kata Maria. Saat ini, gotong royong sudah berubah, meski ada namun sangat kecil. “Semua tenaga dihitung dalam nilai uang, seperti membersihkan lahan sebelum ditanam, serta perawatan dan pemanenan. Ini yang terjadi,” jelasnya.

Agus, ketua panitia acara mengatakan, tujuan kegiatan ini adalah untuk menghilangkan pandangan masyarakat terhadap petani. Selama ini, katanya, menjadi petani dianggap kegiatan rendah, bukan pekerjaan orang penting. Padahal, ketahanan pangan bangsa bergantung pada pertaniannya.

“Petani dan pemerintah harus kerja sama mencari solusi untuk segala permasalahan yang ada. Dengan begitu, petani dapat menjalankan aktivitasnya tanpa harus terbelenggu akan aturan yang menakutkan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version