Mongabay.co.id

Ketika Tembakau Picu Kerusakan Lingkungan di Lombok (Bagian 1)

Buruh tani saat panen tembakau di Lombok Tengah. Setiap tahun, luas lahan tembakau menyusut. Selain petani yang tidak lagi menanam tembakau, juga akibat alih fungsi lahan untuk perkantoran dan perumahan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Emas hijau. Begitu orang di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mengibaratkan tembakau. Hasil penjualan tanaman ini banyak membuat petani kaya. Perusahaan-perusahaan rokok besar membangun gudang di Lombok.

Lombok, salah satu produsen tembakau Indonesia, selain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Dengan lebih 500.000 perkebunan tembakau, Indonesia jadi pemasok terbesar kelima dunia.

Tembakau Lombok, siap jual lewat pengeringan melalui proses pengovenan (pembakaran). Produk inipun rakus bahan bakar. Awalnya pembakaran dengan minyak tanah. Ketika subsidi minyak tanah dicabut, beralih ke batubara, cangkang sawit, dan kulit kemiri. Dari beragam bahan bakar itu, lebih mulai dan dinilai terbaik adalah kayu bakar.

Ekspansi tembakau menimbulkan banyak masalah di Lombok, dari keterancaman lingkungan maupun hutan, konflik agraria, sampai bencana banjir dan longsor di beberapa daerah. Mongabay akan menurunkan beberapa seri cerita seputar masalah tembakau ini.

 

Tungku pembakaran selalu terisi dengan kayu. Sementara tungku di bagian atas adalah penambah panas dari bahan bakar cangkang kemiri. Fahtul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Udara siang hari di Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, membuat lelaki itu harus membuka baju. Halaman rumah tertutup atap dari daun kelapa. Sinar matahari tak langsung membakar kulit. Para perempuan yang sedang memilah daun tembakau basah sesekali bergeser tempat duduk ketika sinar matahari masuk melalui celah atap.

Baca juga: Mengerikan, Demi Tembakau Anak-anak Ini Terpapar Nikotin dan Racun

Tumpukan daun tembakau hijau dipilah berdasarkan kualitas. Daun dengan tangkai patah dan rusak disisihkan. Daun-daun bagus, diikat dalam tongkat bambu diameter sekitar dua centimeter. Pengikatan itu disebut ngelantang.

Setelah tongkat ukuran dua meter itu penuh daun tembakau, para perempuan memindahkan ke sisi lain. Di tempat itu, belasan tongkat penuh dengan daun tembakau hijau.

Para pria mengangkut tongkat yang penuh daun tembakau itu ke oven. Pengovenan ini, salah satu cara pengeringan daun tembakau, selain dijemur. Daun masuk oven ini masih basah dan baru petik. Kalau pengeringan dengan dijemur, daun tembakau dipotong kecil (rajang).

Ada dua oven di halaman rumah cukup luas itu. Satu oven sedang diisi daun tembakau basah. Oven satu lagi, dalam proses pembakaran tembakau. Api menyala dari tungku dengan panas dialirkan melalui cerobong pipa alumunium (plu) yang melintang di dalam oven. Cerobong itulah yang mengalirkan panas ke oven berketinggian empat meter, dengan ukuran 4×4 meter itu.

Baca juga: Kala Petani Temanggung Beralih Tanam dari Tembakau ke Kopi dan Sayur (Bagian 1)

Cerobong itu membagi energi panas ke dalam seluruh permukaan oven, dan menjamin seluruh daun tembakau kering sempurna dan merata.

Setiap 10 menit, lelaki itu mengambil potongan kayu. Potongan kayu itulah bahan bakar utama proses pengovenan. Di atas tungku utama, cangkang kemiri ditumpuk dan dibakar. Ia jadi panas tambahan yang mengalir ke cerobong.

Memasuki Mei setiap tahun, pinggir jalan, sepanjang jalan dari Mujur (Lombok Tengah) hingga Jerowaru (Lombok Timur), kira-kira 10 km terlihat tumpukan kayu. Memasuki perkampungan, nyaris di setiap pinggir jalan, terlihat pemandangan serupa. Kayu bakar bertumpuk. Satu tumpukan kayu kira-kira 3-6 kubik, antara 1-2 truk, atau 2-4 pikap. Beragam jenis kayu, seperti nangka, kakao, kopi, kemiri, maupun gamal.

Baca juga: Tembakau Temanggung, Andalan Daerah Tetapi sebagian Tanam di Hutan Lindung

Di tempat lain, tumpukan kayu asam masuk di halaman rumah. Kayu itu sudah dipotong kecil, kira-kira berukuran 35cm x 20cm. Buruh memotong kecil kayu agar lebih mudah masuk tungku.

“Kami nyetok caranya, biar tidak terlalu mahal pas musim pengovenan,’’ kata Jagas, petani tembakau sekaligus pemilik oven di Desa Wakan, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.

Di Lombok Timur, hampir semua kecamatan jadi lokasi penananam tembakau. Tanaman musim kemarau ini, paling banyak dijumpai di Kecamatan Jerowaru, Keruak, Sakra, Sakra Barat, Sakra Timur,Terara, Montong Gading, Sikur. Kecamatan yang dikenal dengan Lombok Timur bagian selatan ini umumnya tanah kering, sebagian sawah tadah hujan.

Musim kemarau, hanya tembakau tumbuh subur. Sebagian lagi menanam melon, tetapi masih terbatas di beberapa desa.

Di kecamatan ini umumnya tembakau virgina, dalam proses pengeringan dengan pembakaran (oven). Para petani di Lombok Timur, bagian utara dan timur seperti Kecamatan Aikmel, Suela, Wanasaba, Pringgabaya, dan Sambelia mengeringkan tembakau dengan dijemur. Ia dikenal dengan tembakau rajang. Tembakau basah diiris kecil.

Setelah kering digulung dan dijual di pasar-pasar tradisonal atau dikirim ke luar Lombok.

“Dari semua bahan bakar yang pernah dicoba, setelah minyak, kayu paling pas,” kata Jagas.

 

Truk pengangkut kayu untuk bahan bakar pengovenan tembakau membawa kayu pesanan di Mujur, Lombok Tengah. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Pada masa bahan bakar minyak tanah bersubdisi, petani tembakau sudah kesulitan. Subsidi untuk omprongan tembakau terbatas tak sebanding kebutuhan petani. Setiap tahun petani meningkat. Harga tembakau bagus, disertai banyak petani tembakau sukses membuat banyak beralih ke tembakau.

Daerah-daerah yang sebelumnya tak pernah ditanami tembakau, jadi tanaman ini. Hingga 2008, mulai pengurangan minyak tanah subsidi. Petani menyiasati dengan membeli minyak tanah non subsidi dicampur subsidi.

Secara bertahap pemerintah pusat mengurangi minyak tanah subsidi, hingga non subsidi pada 2011. Sepanjang 2008-2011, kerap terjadi konflik antara petani tembakau, penyecer minyak tanah, dan konsumen.

Para ibu rumah tangga menjerit lantaran minyak tanah subdisi langka. Minyak tanah subsidi yang seharusnya untuk rumah tangga, banyak diambil petani tembakau.

Drama paling menegangkan terjadi ketika mobil tangki pengangkut minyak tanah subsidi untuk rumah tangga dihadang dan dijarah petani tembakau di tengah perjalanan.

Saat pengurangan subsidi minyak tanah itu, perusahaan tembakau di Lombok, ikut mencarikan solusi bahan bakar.

Perusahaan berkepentingan keberlanjutan penanaman tembakau di Lombok, terutama jenis virginia. Pemerintah juga mencoba menawarkan alternatif bahan bakar: batubara.

Batubara sebenarnya pernah dipakai di Lombok untuk pembakaran bata dan genteng awal 1990-an . ia jadi alternatif memenuhi kekurangan bahan bakar sabut kelapa dan sekam. Bahan bakar batubara tak bertahan lama, bau menyengat sering diprotes warga sekitar lokasi pembakaran. Perlahan batubara ditinggalkan.

Bersamaan dengan Pemerintah NTB mendapat dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCHT), pemerintah memberikan bantuan pada petani untuk pembuatan tungku batubara.

Model tungku pembakaran lama minyak tanah tak cocok dengan bahan bakar padat (batubara). Proyek pengadaan tungku batubara pun masif. Pengiriman batubara dari Kalimantan masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Lombok. Batubara tak bertahan lama.

Selain polusi, petani kesulitan menjaga panas batubara. Para petani beralasan, panas batubara kualitas rendah justru merusak tembakau. Batubara tak bertahan lama.

Petani pun mencoba kayu. Tidak ada data pasti siapa petani tembakau pertama kali mencoba pakai kayu. Yang pasti, pada 2010, penebangan kayu untuk bahan bakar pengovenan mulai marak. Sepanjang musim tembakau, ratusan truk kayu dikirim ke daerah-daerah penghasil tembakau.

Tahun itu, mulai marak kasus illegal logging. Hampir setiap pekan terjadi penangkapan truk bermuatan kayu. Operasi di dalam hutan oleh aparat gabungan TNI, Polri, dan Polhut.

Saya beberapa kali ikut dalam operasi perburuan pembalakan liar aparat gabungan di Hutan Rempek (Lombok Utara), Sambik Bangkol (Lombok Utara), Sesaot (Lombok Barat). Di daerah operasi ini ditemukan bekas penebangan kayu.

Pemerintah menyadari pengovenan dengan bahan bakar kayu mengancam kelestarian hutan. Selain memperketat penebangan kayu, termasuk dalam kebun sendiri, sosialisasi juga gencar. Pemerintah mengarahkan bahan bakar alternatif pakai cangkang (limbah) sawit. Berton-ton dikirim dari Kalimantan. Begitu juga cangkang kemiri, pernah memenuhi halaman rumah petani. Bahan bakar itu tak bertahan lama. Hingga kini, kayu tetap jadi andalan.

“Petani kita ini belajar dari pengalaman, dari semua pengalaman itu kayu paling pas,’’ kata Agus Alwan, petani tembakau.

Agus dan Jagas bilang, kayu adalah bahan bakar paling baik setelah minyak tanah. Selain panas menyamai minyak tanah, kayu lebih mudah dibentuk sesuai ukuran tungku. Bau asap pembakaran kayu tidak seburuk batubara. Kayu juga mudah didapatkan. Permintaan kayu jumlah relatif besar, memunculkan usaha kayu.

Cangkang sawit sebenarnya cukup bagus, tapi tidak ada kepastian pengiriman. Tergantung kiriman dari daerah penghasil sawit.

Awalnya para petani memenuhi sendiri bahan bakar kayu dari kebun dan pematang sawah mereka. Hanya dalam dua tahun, dampak terlihat. Dulu, sepanjang jalan dari Mujur (Lombok Tengah) hingga Jerowaru (Lombok Timur), dan pematang sawah rimbun oleh pohon asam. Satu persatu pohon asam ditebang. Kini yang berdiri bisa dihitung jari.

Kebutuhan kayu tergantung luas oven dan jenis kayu. Rata-rata perlu satu truk sekali pengovenan. Jagas yang memiliki dua oven, perlu dua truk kayu sekali pengovenan. Satu truk kira-kira tiga kubik.

“Kira-kira empat pohon cukup besar,’’ kata Jagas, mengatakan buat satu kali pengovenan.

Dengan lahan tembakau satu hektar, Jagas perlu enam kali pengovenan. Jika satu kali, tiga kubik kayu maka perlu 18 kubik kayu.

 

 

Tembakau rajang dikeringgkan dengan proses penjemuran di Limbungan, Lombok Timur. Tapi sayangnya, perusahaan rokok yang beroperasi di Lombok membeli tembakau yang dikeringkan dengan proses pengovenan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Jagas ini generasi ketiga dalam keluarga jadi petani tembakau. Ia tinggal di Lombok Timur bagian selatan dengan karekteristik lahan kering. Tembakau jadi pilihan petani.

Jagas, sarjana pertanian. Selain fasilitator proyek pemerintah, dia juga mempraktikkan ilmu pertanian. Dia tahu tata niaga tembakau dan memiliki pengalaman sejak mahasiswa jadi petani. Jagas juga sadar, penggunaan kayu bisa mengganggu lingkungan. Dia harus memastikan api dapur rumah tangga hidup. Jagas sangat bergantung dari tembakau.

“Kadang saya berpikir, apakah kayu yang saya beli itu memang semua dari kebun atau hutan?”

Di sebuah desa tak jauh dari hutan, saya menemui Udin. Dia seorang pedagang kayu. Ketika musim tembakau, Udin mengirim kayu bakar.

Sekali kirim kayu sampai delapan truk, sekitar 24 pohon besar. Dalam sebulan, dia pernah mengirim sembilan kali. Udin menekankan, kayu kiriman dari kebun, seperti jambu mete, kakao, dan kopi. Kayu itu dari tanaman tak produktif.

Udin tak ingin berurusan dengan hukum kalau menebang kayu dari dalam hutan.

Satu truk kayu dia jual Rp1,4 juta–Rp 1,6 juta, tergantung jenis kayu. Paling mahal kayu asam, bisa Rp2,5-Rp3 juta. Kayu asam dianggap terbaik untuk pembakaran tembakau. Kayu keras, api lebih terjaga, bara pun lebih panas dibandingkan kayu lain. Kayu asam, jadi primadona petani.

Udin mengirim kayu ke Mujur (Lombok Tengah), Kopang (Lombok Tengah), dan Jerowaru (Lombok Timur). Ada yang langsung jual ke petani tembakau, ada juga melalui perantara.

Kayu dikirim dibeli dari para petani atau buruh tani. Udin merupakan tangan kedua. Dalam sekali angkut, setelah dipotong biaya angkutan, dia bisa mengantongi keuntungan bersih Rp300.000–Rp500.000. “Sekarang saya sudah tidak terlalu sering jual, kalau masih perlu hubungi saja,’’ kata Udin.

 

 

 

Siasat kelabui petugas

Tiga fuso dan tiga truk parkir di halaman Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB di Jalan Majapahit.

Kelima kendaraan ini penuh kayu balok. Kondisi fuso berdebu menunjukkan kalau kendaraan sudah cukup lama terpakir di halaman itu. Di tempat parkir, kayu-kayu balok tergeletak, bersebelahan dengan motor dan mobil pegawai. Sebagian masih terlihat basah,sebagian kering.

Kayu-kayu itu adalah satu kasus sitaan Dinas LHK NTB. Kayu ini barang bukti illegal logging dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sebagian lain, kayu-kayu dititip di Kantor Kodim Sumbawa dan KPH di Lombok dan Sumbawa.

Saya menemui Mursal, Kepala Bidang Perlindungan Hutan, Konservasi dan Pelestarian Sumber Daya Alam, Dinas LHK NTB, untuk menanyakan soal dugaan pengovenan dorong pembalakan liar.

Dia mengatakan, sitaan mereka tak membedakan mana kayu balak liar untuk bahan bakar pengovenan maupun bahan bangunan.

Namun, dia membenarkan, sejak pengovenan tembakau pakai kayu, dinas makin sering menemukan truk penuh kayu potongan. Kalau dulu kayu seperti ini untuk bahan bakar memasak kala pesta, setelah marak pengovenan tembakau, mereka temukan makin banyak.

Dalam beberapa kali operasi, petugas menemukan truk dengan kayu potongan, diduga untuk pengovenan. Ketika diperiksa, truk-truk pengangkut kayu itu membawa surat jalan angkut. Di dalam surat itu disebutkan kayu-kayu dari kebun. Dalam beberapa kali pemeriksaan, memang ada terbukti dari kebun, ada juga tak ada bukti kayu sah.

Kecurigaan kayu dari kawasan hutan menyeruak, apalagi beberapa jenis tertentu seperti sonokeling, kesambik, dan mahoni lazim dari kawasan hutan.

Mursal bilang, proses pengambilan kayu dari kawasan hutan untuk bahan bakar bertahap. Tahap awal, pelaku menebang pohon-pohon besar. Setelah pohon besar tumbang, untuk bahan bangunan, barulah menebang pohon lebih kecil.

Pohon lebih kecil inilah untuk pembakaran. Setelah pohon lebih kecil habis, lanjut pembersihkan lahan. Semak-semak tersisa dibakar, dan musim hujan penjarah menanami lahan dengan jagung, pisang, dan lain-lain. Akhirnya, pengusahaan kawasan dan terjadi jual beli lahan dalam kawasan hutan.

“Perambahan dan pembakaran ini yang paling banyak dan berbahaya,’’ kata Mursal.

 

Para buruh perempuan sedang menyortir tembakau yang sudah dikeringkan melalui proses pengovenan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Data Dinas LHK NTB, pada 2016, luas hutan konservasi 173.636,40 hektar, hutan lindung 444.149,86 hektar, dan hutan produksi 450.813,57 hektar. Total kawasan hutan NTB 1.071.722,83 hektar. Dari luasan ini, kondisi kritis 220.910,71 hektar, sangat kritis 18.905,24 hektar atau total 239.815,94 hektar.

Hutan kritis, katanya, karena banyak faktor, seperti penebangan liar, baik untuk bahan bangunan, bahan bakar, maupun alih fungsi lahan tak bisa dipisahkan satu sama lain. Seluruh aktivitas ilegal itu, katanya, bermuara pada penguasaan dan penjualan lahan. Kini, Dinas LHK masih memproses beberapa oknum yang menguasai kawasan hutan ilegal.

Untuk kasus illegal logging, katanya, pada 2016 tercatat 39 kasus, 25 vonis pengadilan, 13 kasus proses, ada yang penyidikan setop karena pelaku tidak diketahui. Barang bukti kayu ditinggalkan pelaku ketika petugas gabungan dari Dinas LHK, Polri, dan TNI operasi. Pada 2017, tercatat 15 kasus, semua masuk pengadilan.

Pada 2018, tantangan Dinas LHK cukup berat, selain mengurus proses pengadilan cukup panjang, juga pertama kali dipraperadilankan tiga tersangka pembalak liar.

Alhamdulillah, dari tiga kasus praperadilan ini, semua kami menang. Kasus terus berlanjut,’’ katanya.

 

 

Untung atau buntung?

Bagi para petani tembakau Lombok, dikenal tiga semboyan disingkat 3M. M pertama, Mekkah, di dalam sebuah kalender dibagikan sebuah perusahaan pembeli tembakau menjadi simbol keberhasilan. Dalam poster itu ditunjukkan para petani mengenakan songkok putih, lambang orang naik haji.

M kedua adalah Malaysia. Ini menunjukkan petani kurang beruntung. Merugi. Sebagai pelarian mereka jadi buruh ke Malaysia.

Dan M ketiga tidak ditulis di dalam kalender, di kalangan masyarakat Lombok dikenal dengan mate (meninggal). Ini tingkat tertinggi ketika petani tembakau merugi. Pernah di tahun 1990-an banyak petani merugi dan beberapa meninggal dunia karena serangan jantung maupung bunuh diri. Ada juga petani jadi gila karena beban utang.

Banyak petani tembakau naik haji, sebagai simbol kesuksesan. Cerita inilah yang gaung-gaungkan perusahaan. Secara tak langsung perusahaan ingin menunjukkan petani mitra mereka banyak sukses.

Di Lombok, ada dua kelompok petani tembakau. Pertama, petani mitra. Ia terikat dengan perusahaan dari bibit, pupuk, obat, bahan bakar, hingga pendampingan lapangan oleh perusahaan. Bahkan mereka bisa berutang ke perusahaan. Syaratnya, harus menjual tembakau ke perusahaan mitra mereka.

Kedua, petani swadaya, mereka tak terikat perusahaan. Ketika panen mereka bebas menjual tembakau ke perusahaan yang membeli dengan harga tertinggi. Seringkali, beberapa petani mitra perusahaan A misal, ketika panen menjual ke perusahaan B karena harga beli lebih tinggi.

Petani mitra maupun swadaya, sama-sama pakai kayu untuk pembakaran tembakau. Bedanya, kalau petani mitra, perusahaan ikut menyediakan bahan bakar. Bahkan, belakangan PT Sadhana Arif Nusa, perusahaan pembeli tembakau konflik dengan warga di Kecamatan Sambelia. Perusahaan dapat izin hutan tanaman industri (HTI) untuk menyediakan lahan tanam pohon bahan bakar pengovenan petani mitra. Perusahaan berkonflik dengan petani setempat yang lebih dulu menggarap lahan.

Markum, Dosen Kehutanan Universitas Mataram mengatakan, dalam kasus perusahaan mitra yang menyediakan bahan bakar kayu, setidaknya bisa mengurangi kasus pembakalan liar. Bukan berarti, Markum membenarkan kayu bebas pakai untuk bahan bakar pengovenan tembakau. Baik kayu legal maupun ilegal, sama-sama berdampak pada lingkungan.

“Kerugian lingkungan ini yang tidak dihitung,’’ katanya.

Dia bilang, baik kayu dari hutan dan kebun, secara langsung berpengaruh pada kualitas iklim lokal. Kawasan yang dulu hijau, rimbun oleh pepohonan, membuat iklim lebih sejuk. Setelah masif kayu sebagai pengovenan tembakau, daerah-daerah dulu sejuk kini lebih panas.

Dari penelitian Markum, satu hektar sawah, perlu 6-8 kali pengovenan. Sekali pengovenan perlu satu truk, hingga setiap satu hektar, perlu 6-8 truk kayu. Itu masih perlu tambah cangkang kemiri atau cangkang sawit.

“Ada beberapa daerah sudah tidak menanam tembakau, tapi luasan masih hitungan belasan ribu.”

Dalam setahun ratusan ribu batang kayu ditebang, tentu memengaruhi iklim lokal, termasuk berkontribusi pada iklim global.

Selain itu, katanya, tantangan terberat menjamin kayu pengovenan bukan dari hutan. Markum bilang, belum ada riset khusus menghitung laju degradasi hutan karena pengovenan tembakau. Yang pasti, katanya, beberapa jenis kayu yang pernah dipantau Markum biasa ditanam di hutan.

“Kayu kesambik dan mahoni itu biasa di hutan,’’katanya.

Pengawasan kayu untuk pengovenan memang cukup sulit. Untuk menguji kayu dari kebun atau hutan, katanya, petugas harus lacak balak. Artinya, petugas mencari asal kayu tebangan dan mencocokkan dengan kayu potongan.

Kendala, pertama, katanya, jumlah kayu beredar selama musim tembakau sangat banyak. Kedua, petugas Dinas LHK sangat terbatas.

“Lacak balak ini perlu biaya besar,” kata Markum.

Dampak tutupan pohon terus berkurang mulai terasa, antara lain, mata air hilang. Saat kemarau, mata air kering, dan hujan sering banjir. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:    Buruh tani saat panen tembakau di Lombok Tengah. Setiap tahun, luas lahan tembakau menyusut. Selain petani yang tidak lagi menanam tembakau, juga akibat alih fungsi lahan untuk perkantoran dan perumahan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

Tembakau basah yang siap masuk ke dalam oven yang bahan bakar dari kayu. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version