Mongabay.co.id

Mikrohidro, Sumber Energi untuk Menyuling Minyak Atsiri

 

Minyak atsiri yang merupakan hasil sulingan dari tananam serai dan nilam adalah salah satu komoditas andalan Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Gayo Lues, total lahan serai di wilayah ini sekitar 20 ribu hektar dengan produksi tahunan 4.800 ton. Sementara nilam, dengan luasan 863 hektar memiliki produksi tahunan sebanyak 19.692 kilogram.

Namun, berdasarkan catatan Pemkab Gayo Lues, untuk memproduksi minyak atsiri, masyarakat setempat masih menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Kondisi ini, dikhawatirkan akan membuat terjadinya kerusakan di kawasan hutan. Adakah solusi?

Yayasan Orangutan Sumateran Lestari – Orangutan Information Center (YOSL – OIC), coba menggandeng sejumlah kelompok petani di Gayo Lues, untuk mengurangi penggunaan kayu bakar dan beralih ke mikrohidro. Potensi air sungai yang melimpah, yang mengalir di rimbunnya hutan Gayo Lues, yang dimaksimalkan fungsinya.

Manager Pemberdayaan Masyarakat YOSL – OIC, Binur Naibaho, di Desa Melelang Jaya, Gayo Lues, belum lama ini mengatakan, selama ini proses destilasi menghasilkan minyak atsiri cukup banyak menggunakan kayu bakar.

Hadirnya pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang beroperasi sejak September 2017 lalu, dapat dipakai untuk penyulingan nilam untuk menghasilkan minyak atsiri.

“Energi ramah lingkungan ini, dapat mengurangi penggunaan kayu bakar hingga 70 persen. Kerusakan lingkungan dapat diminimalisir,” ujarnya.

Baca: Hutan Lindung yang Rusak Itu Mulai Direstorasi

 

Tanaman nilam yang sudah dikeringkan ini siap disuling menggunakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, pengganti kayu, di Gayo Lues. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Jumlah kelompok petani yang bergabung menggunakan pembangkit ini sebanyak 150 petani di enam desa. Luas lahan yang digunakan seperempat hektar per petani. “Setiap hari, sebanyak 9 kilogram minyak atsiri bisa dihasilkan dengan harga pasaran 570 ribu Rupiah/kilogram,” jelasnya.

Adoh, Ketua Kelompok Arul Kul, Desa Melelang Jaya, Trangun, Gayo Lues, mengatakan, sudah dua generasi mereka bertani di dalam kawasan hutan lindung. Kini, mereka sadar bila perbuatan ini salah. “Sekitar 20 tahun lalu, kawasan hutan di sini masih lebat. Adanya pembukaan dan ditanami dengan nilam dan serai, merubah segala yang ada,” jelasnya.

 

Cangkang kemiri ini juga jadi bisa menjadi bahan bakar alternatif lain selain kayu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kami bangga menjadi bagian dari kelompok yang turut serta dalam program ini. Tidak hanya menjaga lingkungan tapi juga jerih payah kami dihargai. “Semoga petani atsiri lain di Aceh turut serta menjaga lingkungan. Peningkatan ekonomi, hutan lestari, dan keragaman hayati terjaga adalah harapan kita bersama,” terangnya.

Baca: Bupati Gayo Lues: Jaga Leuser Tak Mungkin Tanpa Libatkan Masyarakat

 

 

Pelestarian lingkungan

Asisten III Pemkab Gayo Lues, Bambang Waluyo mengatakan, secara umum Pemkab Gayo Lues mendukung konsep peningkatan dan pengembangan ekonomi petani atsiri beserta pelestarian lingkungan.

“Konsep mikrohidro pengganti bahan bakar kayu akan kami kembangkan di daerah lain. Dengan catatan, tanaman yang berada di kawasan lindung dibatasi dan bertahap ditiadakan, sedangkan tanaman di luar terus didukung,” jelasnya.

Sekretaris Lingkungan Hidup Pemkab Gayo Lues, Matshuri Hardiansyah mengatakan, pihaknya tengah mendorong masyarakat menggunakan konsep perhutanan sosial. Ini terkait masih adanya petani yang membuka kawasan hutan lindung untuk penanaman bibit atsiri.

“Kami melakukan penyadartahuan masyarakat agar tidak lagi menanam di kawasan terlarang. Ada regulasi dan kesepakatan yang dibuat dengan masyarakat, termasuk sanksi yang diberikan,” terangnya.

 

Ini dia minyak nilam hasil proses destilasi menggunakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, menurut dia, akan ada perubahan tanaman dari serai dan nilam ke kopi. Ini bisa menjadi solusi menekan pembukaan lahan yang masih terus terjadi di Gayo Lues. Dengan begitu, ekonomi petani terjaga dan hutan terlindungi.

“Bupati menyatakan akan menambah anggaran desa yang memiliki RPJMDES lingkungan. Ada dana sebesar Rp50 juta per desa untuk pelestarian lingkungan. Bupati juga mengatakan, petani yang memperhatikan jasa lingkungan akan didukung. Semua akan dilihat dari RPJMDES atau qanun hutan seperti yang dibuat Desa Melelang Jaya,”   urainya.

 

Tangki penampung minyak atsiri ini menggunakan tenaga mikrohidro. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi tambahan, mata pencaharian utama masyarakat di Gayo Lues dari sektor pertanian. Tanaman utamanya adalah cabai, serai, nilam, kakao, dan kopi.

 

 

Exit mobile version