Mongabay.co.id

Belajar dari Pembangunan Waduk Kedung Ombo

KSPS juga mengembangkan pertanian hortikulutra, meski Desa Salassae bukanlah daerah penghasil sayuran. Kini mereka bisa panen berbagai jenis sayuran seperti cabe, kacang-kacangan dan terong dari lahan seluas 1.000 meter yang mereka kelola secara berkelompok. Foto: Wahyu Chandra

 

 

Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, satu infrastruktur terbangun lewat dana bank dunia. Sudah 30 tahun berlalu, tetapi masih menyisakan persoalan sosial dan ekonomi bagi penduduk terdampak.

Walhi bersama dengan Katadata, riset kondisi korban terdampak pembangunan waduk yang berdiri di atas lahan produktif masyarakat selama dua bulan.

”Sampai 30 tahun setelah pembagunan Waduk Kedung Ombo, kehidupan warga terdampak, tidak jauh lebih baik, bahkan lebih memprihatinkan,” kata Padjar Iswara, Head of Research Katadata, dalam konferensi pers ”Warisan Kemiskinan Proyek Bank Dunia di Kedung Ombo,” di Jakarta, pekan lalu.

Pembangunan waduk ini pada 1985-1991, berdiri di tanah seluas 59.340 hektar, meliputi 37 desa, penggusuran besar-besaran terjadi pada sekitar 5.390 keluarga tersebar di tiga kabupaten, yakni, Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan.

”Dulu bapak saya punya lahan satu hektar, empat rumah, dan kandang sapi. Sekarang, saya hanya buruh tani. Tidak punya lahan sendiri. Tak cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya,” kata Parno, warga asal Boyolali, korban terdampak.

Korban Waduk Kedung Ombo terjerat kemiskinan, bisa disebut kemiskinan struktural. Sekitar 76% warga mengatakan tak lagi punya lahan pertanian, sebelumnya hampir 87% warga bekerja sebagai petani.

Riset ini juga menyebutkan, 98% korban terdampak tak memiliki tabungan dan tak memiliki televisi, 68% tak memiliki telepon seluler.

”Pengeluaran sebagian besar untuk pangan,” kata Heri Susanto, Chief Content Officer Katadata.

Ada beberapa penyebab kemiskinan terstruktur para korban pembangunan Waduk Kedung Ombo. Pertama, kurang lahan pertanian—sebelumnya, sumber hidup utama mereka. Saat lahan berkurang, penerimaan otomatis kurang.

Selama tiga dekade, harta mereka banyak berkurang. Sebelumnya, 78 % responden memiliki tanah, setelah Waduk Kedung Ombo tergenang air hanya 54% memiliki tanah.

“Kekayaan mereka pada barang rumah tangga hanya menambah satu jenis, terutma sepeda motor,” kata Padjar.

Kedua, warga yang alami pemindahan juga minim pelatihan dan penyuluhan, baik masih di Kedung Ombo maupun Bengkulu.

Pemerintah pun disebutkan memberikan alternatif pekerjaan sebagai nelayan tambak, namun penyuluhan dan pelatihan sangatlah minim. Begitu juga modal, tak ada bantuan padahal sebagai nelayan tambak perlu membangun keramba dan merawat perahu. Belum lagi mereka tak memiliki pengalaman.

Sedangkan, warga yang relokasi ke Bengkulu, punya lahan gambut tidak produktif hingga sulit menjalankan kehidupan sebagai petani. ”Pindah profesi lain itu tidak bisa membuat mereka jadi lebih baik,” katanya.

Ketiga, akses terputus, hingga sarana dan prasarana penunjang, baik kesehatan, pendidikan, pasar dan lain-lain, minim. ”Misal, pusat keramaian terdekat dengan SMA, pasar dan fasilitas umum berjarak sekitar 12 km, hingga membuat pengeluaran pangan. Padahal dahulu ada jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa lain,” katanya.

Dari sisi pendidikan, riset ini menunjukkan, 83% keluarga korban terdampak hanya lulusan sekolah dasar. Ia berhubungan dengan 91% penduduk tak memiliki pekerjaan tetap dan hampir separuh lebih rumah kediaman keluarga tak layak huni.

Bahkan, seluruh warga yang tergusur merasa bahwa fasilitas sejak pembangunan Waduk Kedung Ombo, tak sesuai harapan. Untuk warga transmigran sebagian besar merasa fasilitas tidak tersedia dengan baik. Contoh, kondisi jalan atau infrastruktur rusak, tak ada lampu penerangan jalan, sarana transportasi dan pasar.

Riset dilakukan dengan metode kualitatif berupa Focus Group Discussion dan wawancara mendalam, serta metode kuantitatif (survei lapangan) dengan melibatkan 200 responden terdampak pembangunan proyek baik di Jawa Tengah maupun Bengkulu, sebagai daerah tujuan transmigrasi korban penggusuran proyek. Margin error riset 10%.

 

Waduk Kedung Ombo. Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

 

Ganti rugi tak Jelas

Sebanyak 33,5% korban mengaku belum mendapatkan ganti rugi, .24,6% hanya menerima Rp99 per meter persegi. Hanya 32,5% menerima Rp250 per meter persegi dan 13,2% lain mendapatkan Rp 300 meter persegi.

Padahal, Bank Dunia memberikan pinjaman pembangunan proyek telah mengajukan proposal anggaran ganti rugi Rp400 per meter persegi. Sedangkan, Gubernur Jawa Tengah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 593/135/1987 menyebutkan uang ganti rugi Rp700 per meter persegi. Realisasi tidak berjalan. Harga tanah sesuai pasar di sekitar waduk saat itu Rp2.600 per meter persegi.

Kekisruhan ganti rugi pun terjadi, bahkan ada yang sampai ranah persidangan. Heri mengatakan, seharusnya ganti rugi segera diselesaikan, begitu juga perbaikan akses jalan, sarana pendidikan dan kesehatan dan fasilitas pendukung lain.

Tak hanya pemerintah, kekisruhan ganti rugi dan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan merupakan tanggung jawab Bank Dunia. Nilai proyek pembangunan itu mencapai US$283 juta, US$156 dari pinjaman Bank Dunia dan US$105,8 dari pemerintah Indonesia.

”Hasil dari riset ini menunjukkan Bank Dunia dan pemerintah tak cukup antisipatif dalam dampak negatif yang berkepanjangan.” Begitu juga pengawasan proses ganti rugi.

Edo Rahman, Departemen Kebijakan dan Pembelaan Hukum Lingkungan Walhi Nasional menyebutkan, proyek dibiayai Bank Dunia ini merupakan proyek gagal dan menyebabkan kemiskinan struktural bagi para korban.

”Pinjaman ini membuat dampak kemiskinan antar generasi,” katanya.

Kasus ini pun memicu Bank Dunia mengeluarkan pengaman (safeguard). Namun, safeguard itu sendiri tak berlaku surut. Ketentuan ini dipakai untuk menghentikan proyek yang mengancam kehidupan masyarakat, merusak hutan dan mengancam keberlangsungan ekosistem.

Dia meminta, Bank Dunia bertanggung jawab untuk utang proyek gagal dan masih memiskinkan korban hingga kini dan menghentikan pembiayaan bagi proyek-proyek infrastruktur besar di Indonesia.

Bank Dunia, kini menerapkan skema Enviromental and Social Framework yang menggantikan safeguard Bank Dunia, yakni syarat berdasarkan penilaian permohonan utang untuk pembiayaan proyek sesuai aturan negara peminjam.

Dia khawatir, aturan yang berlaku sejak 1 Oktober 2018 ini berdampak dampak sosial dan lingkungan. Apalagi, pemerintah Indonesia seringkali melakukan jalan pintas dan kemudahan perizinan pada pembangunan proyek infrastruktur.

Dia contohkan, Peraturan Presiden Nomor 3/2018 yang memberikan kemudahan regulasi terkait izin lingkungan pada proyek-proyek strategis nasional. Juga UU Pengadaan Tanah bagi proyek strategis nasional yang menempatkan masyarakat tergusur pada posisi lemah.

Walhi juga meminta pemerintah memoratorium proyek-proyek infrastruktur yang berdampak pada pemindahan paksa warga. Juga meminta pemerintah segera mengeluarkan kebijakan jelas dan adil soal proses relokasi ini.

Andi Muttaqien, dari Elsam mengatakan, selama ini safeguard Bank Dunia untuk mengontrol kerusakan lingkungan dan dampak sosial dari proyek pembangunan infrastruktur dana bank dunia. Kalau standar perlindungan sesuai sistem hukum di Indonesia, gelombang kerusakan lingkungan hidup dan sosial, kriminalisasi serta pelanggaran HAM mungkin lebih besar.

”Kami menuntut pemerintah Indonesia memperbaiki sistem perlindungan nasional terhadap lingkungan dan sosial di Indonesia hingga tak lebih rendah dari standar perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan dunia.”

Selama sistem itu belum berjalan, katanya, mereka menolak penggunaan sistem perlindungan nasional sebagai acuan proyek-proyek bank dunia.

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Warga terdampak pembangunan Waduk Kedung Ombo, hingga kini belum keluar dari permasalahan sosial dan ekonomi, sebagian mereka terjerat kemiskinan, salah satu penyebab tak punya lahan tani. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

Petani tanpa lahan, bagaimana bisa hidup?  Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version