Mongabay.co.id

Menyoal Kajian Gempa pada Area Proyek Pembangkit Listrik Air Batang Toru (Bagian 2)

Hutan Batang Toru yang menyimpan keragaman hayati yang luar biasa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Gempa bumi dan tsunami baru meluluhlantakkan Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Montong di Sulawesi Tengah, menimbulkan ribuan korban jiwa dan kehancuran infastruktur. Dari gedung sampai pembangit listrik roboh, jalan pun hancur. Bencana makin menyeramkan kala ada fenomena likuifaksi atau limpahan lumpur seolah membalik bumi, menenggelamkan kampung dan apapun yang ada di atasnya.

Gempa bumi di Sulteng ini terpicu pergerakan sesar Palu-Koro. Kerusakan tambah parah karena hidup di daerah rawan bencana tetapi pembangunan di atasnya, belum peka bencana.

Pengalaman bencana ini, sudah semestinya jadi pelajaran hingga berbagai pembangunan infrastruktur, terlebih di daerah rawan bencana, seperti PLTA Batang Toru, lakukan kajian kebencanaan dan memasukkan dalam dokumen amdal.

 

***

Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru, Sumatera Utara, berada dekat area sesar besar Sumatera (the great Sumatra fault) yang berpotensi sebagai pusat gempa bumi.

Baca juga: Bangun Infrastruktur PLTA Batang Toru, Orangutan Tapanuli Mulai Masuk Kebun Warga (Bagian 1)

Data gempa bumi historis menunjukkan, 60 gempa berkuatan 3,5 ke atas dalam radius 25 km dari bendungan, dan pada 2008,  terjadi gempa berkekuatan 6.0 hanya 4,1 kilometer dari lokasi rencana pembuatan bendungan.

Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut mengatakan, lokasi yang akan dibangun PLTA Batang Toru berada di patahan gempa sesar Toru. Kondisi ini, katanya, sangat membahayakan jika pembangunan proyek tetap jalan.

Baca juga: Berada di Lokasi Patahan Gempa, Menakar Keamanan Bendungan PLTA Batang Toru

Dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) tak menjelaskan, spesifik langkah mitigasi kalau kemungkinan gempa.

“Kita memang tak berani memprediksi dampak. Karena itu harus ada kajian. Nah, tugas mereka itu seharusnya mengkaji itu. Mereka sama sekali tak mengkaji itu,” katanya.

Dia bilang, soal memitigasi gempa sama sekali tak ada dalam kajian amdal pelaksana proyek. Mereka hanya bilang akan lakukan kajian lain. “Kajian lain kapan dan bagaimana? Kita kan tak tahu, harus menyatu dalam amdal,” katanya dihubungi Mongabay, Sabtu (13/10/18).

 

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

NSHE sendiri, katanya, sudah mengakui di sana ada patahan gempa. Ia dikonfirmasi dengan data pemerintah pada 2017.

“Jadi bisa jadi itu sesar yang mematikan. Karena di dekat situ, ada Aek Lotung, perbatasan antara Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara. Di sana tanah selalu bergeser. Jadi kalau dibangun jalan, setahun bisa hancur. Tanah bergerak. Ini membuktikan, di sana ada sesar gempa, ada patahan. Dengan musim gempa seperti ini, kita tak tahu jalan patahan ini kemana?”

NSHE akan membangun terowongan sedalam 10 meter di bawah tanah. Dia khawatir, hal itu akan mengganggu sesar Toru. Untuk itu, perlu kajian menyeluruh untuk mitigasi dampak gempa bumi.

“Gempa di sana itu pasti ada. Cuma intensitas belum besar, karena belum saatnya. Tapi ada gempa juga di situ. Patahan ada di situ. Risiko longsor juga ada. Itu kan curam. Tak ada mitigasi sama sekali. Bagaimana cara mereka menghadapi itu? Ini berbahaya. Jangan sampai kalau masyarakat kenapa-kenapa, NSHE cuci tangan.”

Dia meminta NSHE sebagai pelaksana proyek tak gegabah. Kalau terjadi hal buruk, yang akan terkena masyarakat sekitar.

“Beri tahu dong ini kepada masyarakat. Jangan hanya beri tahu yang baik-baiknya. Menganggap apa yang kita lakukan selama ini menghambat pembangunan. Jangan ada stigma seperti itu. Kita memberi tahu yang benar. Masyarakat berhak tahu itu.”

Senada dikatakan Jaya Arjuna, akademisi Universitas Sumatera Utara (USU). Kalau PLTA Batang Toru beroperasi, katanya, akan membendung air 3,5 juta meter kubik. Kalau gempa, sangat berbahaya.

“Bendungan bisa roboh, air volume sangat besar akan membanjiri sekaligus merusak perkampungan di hilir,” katanya kala diskusi di Bogor, baru-baru ini.

Pembangunan bendungan, katanya, berada di jalur pusat gempa. “Gak jauh dari Aek Latong. Sekarang mereka mau membuat bendungan yang akan menampung air sebanyak 3,5 juta meteter kubik.”

Waduk dapat memicu gempa. Peristiwa ini, katanya, dinamakan reservoir-induced seismicity (RIS). “Apabila bendungan jebol akibat gempa akan terjadi bencana sangat merugikan baik dari segi jiwa manusia maupun material,” katanya.

Baca juga:  Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Batang Toru

Parahnya, pembangunan di jalur gempa tak masuk dalam amdal padahal itu wajib. “Harusnya dibuat kajian amdal. Mereka tak buat. Mereka bilang akan buat kajian terpisah. Gak ada istilah dalam dokumen Amdal, kajian terpisah. Itu harus masuk. Mengumpulkan 3,5 juta meter kubik di jalur gempa itu gak main-main,” kata Jaya, seraya bilang, data soal itu sudah ada di Pusat Kajian Gempa Internasional.

Masalah bendungan, itu menyebabkan fluktuasi air tinggi dan tak ada dalam kajian amdal.

“Pokoknya kajian amdal tak lengkap. Risiko yang akan dihadapi seandainya bendungan tetap dibangun, kemungkinan terburuk bendungan pecah. Air 3,5 juta meter kubik akan meluber.”

Kalau bendungan pecah, katanya, hilir bakal rusak terkena air bah, macam tragedi Situ Gintung. “Habislah sampai ke hilir. Sawah-sawah, dan perkampungan akan hancur.”

Untuk itu, katanya, harus ada kajian dan cara bagaimana menghindari risiko yang kemungkinan muncul dari risiko gempa. “Ini harus diatasi. Bagaimana mengatasinya, bagaimana menyampaikan kepada masyarakat? Itu harus ada di dokumen amdal. Mereka tak buat itu,” katanya.

Menurut Jaya, gempa berkali-kali terjadi di wilayah itu. Satu bukti tanah di Aek Latong, tak stabil. “Kalau gempa, dan ada bendungan. Tanah yang dulu kering dialiri air. Ketika ada goncangan, semua bisa berjatuhan,” katanya.

Baca juga:  Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Di sana, katanya, bisa terjadi longsor dan itu jadi kekhawatiran banyak kalangan. Hingga kini, belum tahu bagian bawah tanah itu seperti apa. “Harus mereka kaji tanah, apakah lempung atau bagaimana? Kemungkinan potensi likuifaksi dan lain-lain. Kemungkinan longsor, kena hantam bendungan dan lain-lain. Itu yang gak ada.”

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sudah minta daerah minta kaji ulang amdal. “Nampaknya, tak mau peduli. Dibilang gak ada masalah. Mereka meminta bantuan ke Kadin, meminta pernyataan mendukung, juga ke USU agar dibilang tak ada masalah. Yang diminta menteri bukan itu. Kajian terhadap kemungkinan dampak negatif, itu yang diminta menteri dan bagaimana mengatasi.”

Sonny Keraf, anggota Dewan Energi Nasional mengatakan, kekhawatiran sangat wajar tetapi jangan sampai jadi rumor yang menakut-nakuti warga. Sonny tak bicara detil soal amdal yang tak memasukkan soal potensi bencana ini hanya melempar pada KLHK.

“Ada amdal, KLHK juga pasti akan mengawal,. Memberi perhatian untuk memastikan, niat baik ini tak akan menimbulkan dampak lebih besar dan merugikan.”

 

Hutan Batang Toru yang menyimpan potensi keragaman hayati luar biasa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

***

Dari parlemen pun tampak menguatkan dukungan tanpa melihat penilaian dan alasan dari kalangan penolak yang menekankan kerusakan ekosistem, keterancaman orangutan Tapanuli sampai ancaman bencana.

Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR-RI mengatakan, tak boleh ada pihak yang menghambat pembanguna PLTA Batang Toru. Semua pihak, katanya, harus ikut mendukung pembangunan mega proyek itu.

“Saya kira LSM [lembaga swadaya masyarakat] itu tak menghambat. Cuma mungkin dalam pandangan mereka, pasti konsen dengan lingkungan. Kebetulan kami di komisi tujuh, bidang ESDM dan lingkungan. Saya tahu jugalah soal lingkungan. Semua harus diselaraskan,” katanya dalam diskusi di Bogor.

Dia menekankan, penting energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan sumber fosil. Terlebih, Indonesia, sudah menandatangani Perjanjian Paris, soal pemanasan global.

“Itu sangat banyak dipengaruhi pembangkit listrik fosil juga batubara. Kita sudah membuat roadmap di Kementerian ESDM bahwa 2025, 23% bauran energi terbarukan. Sekarang angka baru satu digit. Perlu akselerasi untuk mencapai itu. PLTA ramah lingkungan,” katanya.

Menurut dia, konservasi orangutan Tapanuli penting, begitu keperluan listrik warga juga energi. “Orangutan penting. Orang benaran juga jangan dilupakan.”

Syahrul M Pasaribu, Bupati Tapanuli Selatan mengatakan, PLTA Batang Toru berada di APL, tak ada menyinggung kawasan hutan meskipun tutupan pohon bagus. Namun, Syahrul menegaskan, akan terus memantau proses pembangunan PLTA, termasuk kala pembangunan jalan akses.

“Kami awasi terus. Menurut yang saya pahami, APL itu tanggung jawab di kabupaten. Kami juga tahu Pak Wiratno sudah turun, ada sinergi di bawah. Kita berharap, berjalan terus seirama dengan pelestarian ekosistem.”

Dana Tarigan, tak sependapat. “Ini negara utang sudah tinggi banget, akan dipaksa lagi berutang ke Bank of China. Kena dua kali bayar. Satu, harus bayar meskipun itu business to business. Kedua, meskipun sudah surplus listrik, PLN tetap harus beli listrik.”

Dana mengatakan, dari biaya investasi setiap kilowatt yang terinstalasi, PLTA Batang Toru adalah proyek mahal dengan angka US$3.275 per-KW. Dengan kapasitas maksimal 510 MW, katanya, hanya hasil selama enam jam per hari (25%). Dibandingkan PLTA lain, katanya, Batang Toru termasuk mahal.

Proyek ini, katanya, pernah diminati IFC– kelompok Bank Dunia–yang ingin investasi ke energi hijau. Sejak kajian lingkungan dan sosial pada 2015, IFC mengundurkan diri. Kini, proyek dibangun dengan pinjaman bank asing, dan Bank of China punya peran kunci. “Kontrak pembangunan PLTA diberikan kepada Sinohydro, sebuah BUMN RRC,” katanya.

Berdasarkan dokumen profil PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), salah satu anak perusahaan PLN, juga memegang saham di NSHE, harga jual listrik adalah sekitar US$0,128574 perkwh.

Dana juga menyanggah anggapan pembangunan PLTA Batang Toru bagian dari mitigasi perubahan iklim. Anggapan itu, katanya, konyol. Kalau menyinggung mitigasi perubahan iklim, seharusnya status kawasan naik dari APL ke hutan lindung.

“Bupati bilang melindungi lansekap Batang Toru, tetapi dia tak berani menaikkan status kawasan dari APL jadi hutan lindung. Walaupun itu sudah layak jadi hutan lindung.”

Lansekap Batang Toru, katanya, penuh dengan keragaman hayati. Di dalamnya banyak flora dan fauna, seperti harimau, orangutan Tapanuli dan lain-lain. “Batang Toru, layak jadi hutan lindung.”

 

Jika pembukaan kawasan terjadi maka perambahan tak terelakkan. Sungai dan hutan ini akan hancur. Keanekaragaman hayati hutan Batang Toru terancam. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Ancam koridor orangutan

Kalau ada pembangunan PLTA Batang Toru, otomatis kawasan terfragmentasi hingga bakal mengganggu koridor orangutan Tapanuli.

Kusnadi Oldani, Ketua Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus) mengatakan, saat ini habitat orangutan Tapanuli sudah terfragmentasi dengan jalan nasional.

Meskipun begitu, dia melihat ada potensi mengembangkan koridor yang bisa menyatukan habitat orangutan Tapanuli. Namun dengan ada PLTA Batang Toru, potensi itu bisa terancam karena akan ada aliran kabel tegangan tinggi.

Potensi menghubungkan koridor terfragmentasi, katanya, ada di Cagar Alam Dolok Sipirok dengan hutan lindung maupun APL. Juga Cagar Alam Dolok Sibualbuali dengan hutan di blok barat.

PLTA bakal mengalirkan air lewat terowongan bawah tanah. Walapun begitu, katanya, untuk membangun terowongan harus bangun jalan akses di medan yang berat dan rawan erosi.

Sekitar 20 km jalan akses itu akan dibangun di habitat orangutan Tapanuli. Jalan dibangun guna mengakses terowongan sekunder untuk membangun terowongan utama dan mengangkut limbah ledakan di terowongan yang akan dibuang ke hutan.

Selain itu, katanya, pembuatan jalur transmisi listrik sepanjang 13,8 km di dalam habitat orangutan, akan membelah habitat jadi dua.

“Bayangkan selama pembangunan proyek akan ada lalu lintas alat berat sepanjang 20 km di dalam habitat orangutan Tapanuli.”

Orangutan ini, katanya, pemalu dan menghindari kontak dengan manusia. “Jadi wilayah yang saat ini memiliki kepadatan orangutan paling tinggi tak akan lagi ada orangutan.”

Dengan keberadaan PLTA Batang Toru, katanya, akan ada ancaman pemburuan. Kalau PLTA beroperasi, Sungai Batang Toru sepanjang lebih dari 14 km akan jadi hampir kering, jadi siapapun dapat nyeberangi dan mengakses ‘rumah’ orangutan.

Kalau pemerintah membiarkan perusakan ekosistem mereka, akan jadi sorotan dunia.

“Menteri LHK sudah meminta Drjen KSDAE memberikan pengawasan melekat terhadap proyek ini. Saat ini, BKSDA sudah mendapatkan temuan orangutan sudah mulai hidup tersegregrasi. Orangutan hidup terpisah di blok barat dan timur, padahal proyek ini baru tahap awal,” katanya.

 

Land clearing lahan oleh PT. NSHE. Foto: Nanang Sujana

 

 Nasib masyarakat hilir

Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Perkotan Walhi Nasional mengatakan, saat pembangunan bakal terjadi peningkatan sedimentasi di sungai dampak limbah penggalian terowongan.

Setelah beroperasi pun, terlebih PLTA pasok listrik pada masa kebutuhan tinggi (peaker), katanya, bakal mengancam masyarakat pesisir.

Mengapa? Data dalam dokumen analis dampak lingkungan (andal) 2014 dan adendum andal 2016, dijelaskan volume aliran atau debit sungai normal atau rata-rata 106 meter kubik per detik, ‘aliran pasti’ (firm debit) 52,6 meter kubik perdetik.

Berarti, katanya, 95% dari waktu debit Sungai Batang Toru akan 52,6 mter kubik perdetik atau di atasnya. Dia perkirakan, potensi tenaga listrik yang dihasilkan dari volume aliran sungai ‘normal’ sebesar 106 m3 perdetik sekitar 230 MW—gunakan formula standar.

Kapasitas pembangkit yang akan diinstalasikan 4 x 127,5 MW (turbin total 510 MW). Untuk menghidupkan keempat turbin serentak akan memerlukan aliran air 228 m3 perdetik.

“Bagaimana dari sungai yang mempunyai potensi rata-rata 230 MW bisa dihasilkan 510 MW? Caranya, dengan membendung air selama 17-18 jam, kemudian melepaskan air selama 6-7 jam melalui empat turbin.”

Jaya bilang, dengan sistem peaker, akan membendung sungai untuk mendapatkan debit air cukup agar menggerakkan PLTA.

“Dengan sistem ini, masyarakat hilir hingga ke pesisir pantai,   yang menggantungkan hidup sebagai nelayan dan petani akan jadi pihak pertama yang merasakan dampak negatif.”

Selain itu, katanya, amdal PLTA Batang Toru bermasalah karena tak memberikan kajian jelas, misal, soal penanganan fluktuasi air dari sekitar 60 m kubik perdetik jadi 2,5 m kubik perdetik. PLTA juga tidak memiliki rencana pengelolaan lingkungan (RKL/RPL) jelas.

“Dengan debit air dibendung diperkirakan mencapai 3,6 juta liter, bila banjir akan menimbulkan bencana besar di hilir yang tercakup Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.”

Agus Joko Ismanto, Senior Advisor Bidang Lingkungan Hidup NSHE menanggapi soal penolakan, tanpa penjelasan detil meskipun kalangan penolak sudah menyebutkan alasan.

Dia bilang, belum tahu seberapa banyak warga yang menolak pembangunan PLTA Batang Toru.

“Dibilang banyak penolakan, kita juga gak tahu seberapa banyak yang menolak? Yang ingin kita tahu, itu yang ditolak apanya? Gak bisa kita hanya pokoknya menolak. Kalau misal, ada spesifik alasan penolakan, kita harus melihat juga. Ada gak jalan keluar?” katanya.

Dia bilang, tak masalah muncul berbagai penolakan. Kritik itu biasa asal disampaikan dengan benar dan jernih hingga bisa tahu duduk permasalahan.

“PLTA itu basis pemanfaatan jasa lingkungan. Otomatis air jadi bahan baku. Karena bahan baku, mau tak mau harus dilindungi. Jadi perusahaan tentu menyambut baik menjaga lingkungan bersama-sama. Itu juga jadi kebutuhan perusahaan,” katanya.

Dia bilang, NSHE sudah menerima surat KLHK. Dia akan menambahkan kajian lingkungan dan sosial yang mereka lakukan ke dalam amdal sebagai addendum.

Selama ini, katanya, NSHE sukarela dan berinisiatif menjalankan mitigsi berdasarkan kajian berstandar internasional dengan ikut pedoman Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) atau penilaian dampak lingkungan dan sosial.

Kalau kajian ESIA cukup menjawab berbagai permasalahan, mengapa ada temuan KLHK, yang menyatakan orangutan keluar dan masuk kebun warga setelah ada pembangunan infrastruktur? Bagaimana soal kajian gempa spesifik yang tak masuk amdal? (Selesai)

 

Baca juga:   Hutan Batang Toru yang menyimpan keragaman hayati yang luar biasa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Warga desa yang hidup di sekitar kawasan hutan Batang Toru yang menggantungkan hidupnya dengan bertani kopi, padi dan coklat, sangat bergantung pada aliran sungai di Batang Toru untuk kebutuhan harian mereka. Foto: AyatS Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version