Mongabay.co.id

Apakah Perubahan Bentang Alam di Jambi Mengikis Peradaban Melayu Kuno?

 

Jambi merupakan bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia. Peradaban Melayu kuno yang membangun suku bangsa di Asia Tenggara hingga saat ini, tidak lepas dari keberadaan Kerajaan Melayu yang diperkirakan berada di tepi Sungai Batanghari, Jambi, sekitar abad ke-5 Masehi.

Penyebaran peradaban Melayu kuno tersebut sejalan dengan kejayaan Kerajaan Sriwijaya selama lima abad (7-12 Masehi), yang awalnya menaklukkan Kerajaan Melayu. Bagaimana kondisi jejak peradaban Melayu kuno setelah terjadinya perubahan bentang alam di Jambi?

“Banyak tradisi yang hilang karena perubahan kondisi alam,” kata Fauzi Z, perupa dan budayawan Jambi, dalam sebuah diskusi budaya dan bentang alam di kantor Tribun Jambi, yang digelar Tribun Jambi, Teater Potlot, dan Mongabay Indonesia, di Jambi, Minggu (14/10/2018).

“Perubahan ini tak lepas dari berubahnya Sungai Batanghari beserta anaknya akibat kerusakan lingkungan di sekitarnya. Banjir dan kekeringan membuat sejumlah aktivitas masyarakat berubah, termasuk sistem pertanian, serta perubahan perilaku masyarakat lainnya,” kata Fauzi.

“Perubahan besar yang saya lihat, yakni kemandirian pangan pada masyarakat Jambi mulai berkurang. Mereka sudah membeli beras dan kebutuhan lainnya di pasar, tidak seperti dahulu yang mampu bertahan dari hasil pertanian, perikanan dan perkebunannya,” kata Didin Siroz, seorang seniman.

Baca: Berharap Lahirnya Gerakan Kebudayaan dalam Mengatasi Persoalan Ekologi di Indonesia

 

Pelakon dari Teater Potlot mementaskan naskah “Rawa Gambut” karya Conie Sema di gedung Teater Taman Budaya Jambi, (13/10/2018). Foto: Nopri Ismi

 

Yoan Dinata, aktivis lingkungan, menyatakan perubahan bentang alam itu juga menyebabkan perubahan sikap masyarakat Jambi terhadap keberadaan flora dan fauna. “Jika sebelumnya masyarakat Jambi sangat arif terhadap harimau sumatera, pada saat ini sebagian terkesan cuek atau tidak peduli. Padahal, dalam kebudayaan Melayu kuno harimau dinyatakan memiliki hubungan khusus dengan manusia, sehingga harimau sumatera diperlakukan layaknya manusia.”

“Perkiraan saya, harimau sumatera punah, itu juga sebagai pertanda kebudayaan Melayu punah,” katanya.

 

Adegan ini menampilkan kerusakan lingkungan (rawa gambut) yang diakibatkan oleh kebakaran lahan, penjarahan, serta ekspansi perkebunan dalam skala besar masih terjadi. Foto: Nopri Ismi

 

Bagaimana kondisi perubahan fisik bentang alam di Jambi? Dari luasan Jambi sekitar 5,2 juta hektar, sekitar 2,1 juta hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan. Namun hingga 2017, kawasan tutupan hutannya tersisa 900 ribu hektar, itu pun sebagian besar berada di empat taman nasional, hutan lindung, dan wilayah restorasi ekosistem yang berada di Jambi.

“Sebagian besar lahan di Jambi, termasuk perubahan atau alih fungsi hutannya, dijadikan perkebunan sawit, HTI, pembangunan infrastruktur, dan lainnya,” kata Ade Chandra dari KKI Warsi. “Sekitar 804 ribu hektar atau sekitar 37 persen dari total hutan di Jambi dikelola perusahaan untuk dijadikan perkebunan sawit dan HTI,” lanjutnya.

 

Mejaga lingkungan dari kerusakan adalah tugas kita bersama. Foto: Nopri Ismi

 

Bentang alam

Di masa lalu, bentang alam di Jambi terjaga baik atau lestari, karena masyarakat Melayu kuno memperlakukan lingkungannya secara arif. Dalam sistem bercocok tanam, mereka hanya memanfaatkan lahan mineral atau ladang. Itu pun dibagi dalam empat bentuk, yakni perelak, kabun mudo, umo rendah dan talang.

Perelak adalah ladang dekat desa yang ditanami kacang-kacangan dan sayuran. Kabun mudo merupakan ladang yang ditanami tanaman usia pendek seperti kacang tanah, umbian merayap, dan pisang. Sedangkan umo dan talang letaknya jauh dari desa, yang ditanami padi-padian dan buah dari pohon keras seperti durian. Sebagian Suku Melayu juga meramu.

Sementara sungai, rawa gambut, dan laut dijadikan sumber ikan dengan cara yang lestari. Artinya, menangkap ikan tidak secara berlebihan dan hanya ukuran besar yang dapat dikonsumsi. Ikan yang ditangkap pun diolah seperti diawetkan melalui pengasinan dan pengasapan, sehingga dapat dikonsumsi dalam waktu lebih panjang.

 

Teater Potlot mementaskan naskah “Rawa Gambut” karya Conie Sema di gedung Teater Taman Budaya Jambi, (13/10/2018). Foto: Nopri Ismi

 

Dari berbagai sistem bercocok tanam atau memperlakukan hutan di dataran tinggi maupun lahan basah, Melayu kuno melahirkan berbagai suku di Jambi. Misalnya Suku Melayu Jambi, Kerinci, Suku Anak Dalam, Suku Melayu Pesisir, dan Suku Pindak.

Suku Melayu Jambi, yang dipengaruhi keberadaan Kesultanan Jambi, terbagi Jebus, Maro Sebo, Pemayung, Awin, Petajin, Mentong, Suku Tujuh Koto, Serdadu, Panagan, Aur Hitam, Pinokowan Tengah dan Kebalen.

“Jadi perubahan bentang alam di Jambi, misalnya dengan banyaknya lahan dialihfungsikan sebagai perkebunan monokultur, saya setuju bukan hanya mengancam keberadaan Suku Anak Dalam. Tapi juga telah mengubah keberadaan suku-suku lainnya, khususnya Suku Melayu,” kata Jafar Rassuh, budayawan dan pelukis, kepada Mongabay Indonesia dalam sebuah perbincangan di Taman Budaya Jambi, Senin (15/10/2018).

 

Perubahan bentang alam menyebabkan juga terjadinya perubahan ekosistem dan kehidupan manusia. Foto: Nopri Ismi

 

“Saya setuju jika menyelamatkan bentang alam di Jambi lewat pendekatan atau gerakan budaya, sebab perubahan bentang alam sudah menghilangkan atau merusak kebudayaan luhur di Jambi selama ratusan tahun yang telah dijaga atau dilestarikan oleh berbagai suku tersebut,” lanjutnya. “Artinya, jika Suku Anak Dalam itu terjaga keberadaannya, tidak menjamin kelestarian bentang alam di Jambi, karena jumlah mereka terbatas dan ruang hidupnya juga tidak seluas suku lainnya,” katanya.

 

Menjaga lingkungan tetap baik berarti kita menjaga kehidupan makhluk hidup di Bumi. Foto: Nopri Ismi

 

Perubahan bentang alam tersebut jelas menimbulkan konflik antara pengubah bentang alam dengan masyarakat, termasuk yang paling menonjol ke publik luas yakni konflik lahan antara perusahaan dengan Suku Anak Dalam. Namun, konflik tersebut selalu diterjemahkan sebagai persoalan ekonomi. Sehingga solusinya pun pada akhirnya masih terkait dengan pengelolaan lahan sebagai sumber ekonomi.

Misalnya, melalui skema perhutanan sosial. Jika ini dilakukan, bentang alam tetap mengalami perubahan, dan kian masif kesadaran ekonomi tersebut juga didukung hadirnya teknologi dan pengetahuan baru, yang turut mengubah tradisi dan budaya. Sebut saja, adanya kendaraan bermotor, alat komunikasi, dan listrik. “Yang membedakannya, hanya siapa yang mengelolanya, perusahaan, negara atau masyarakat,” kata Conie Sema, dari Teater Potlot.

 

Dominasi kepentingan ekonomi dalam memaknai bentang alam harus ditinjau kembali. Foto: Nopri Ismi

 

“Artinya penyelamatan bentang alam di Jambi, seperti halnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan lainnya, juga harus meletakkan paradigmanya. Bukan semata kepentingan ekonomi, tapi juga pada nilai-nilai luhur yang arif pada lingkungan. Ini ditunjukkan masyarakat Melayu kuno di masyarakat Kerajaan Sriwijaya dahulu,” jelas Conie.

 

 

Exit mobile version