PT. Kallista Alam yang membakar hutan gambut Rawa Tripa untuk dijadikan perkebunan sawit, tetap diwajibkan membayar denda sebesar Rp366 miliar. Kepastian ini didapat setelah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Provinsi Aceh, membatalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banda yang diketuai Djumali serta Petriyanti dan Wahyono sebagai hakim anggota, dalam putusan Nomor Perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 12 April 2018.
Staf Sekretariat dan Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Banda Aceh, pada 17 Oktober 2018 menyatakan, putusan tersebut dibacakan pada 4 Oktober 2018.
Dalam putusan itu, Majelis Hakim menerima permohonan banding dari pembanding yang sebelumnya sebagai tergugat (KLHK). “Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, 12 April 2018,” sebut Majelis Hakim.
Majelis Hakim juga menyatakan, gugatan PT. Kallista Alam tidak dapat diterima dan menghukum penggugat atau terbanding untuk membayar biaya perkara Rp.150.000,-
Baca: Kasus Pembakar Rawa Tripa: Aneh, Pengadilan Negeri Meulaboh Batalkan Putusan Mahkamah Agung
Muslim, masyarakat Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, menyambut baik putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Menurutnya, hukuman yang mewajibkan PT. Kalista Alam membayar denda dan biaya pemulihan lahan sudah sangat pantas dan harus segera dilakukan.
“Mereka tidak perlu dikasihani, karena memang merusak hutan dan tidak pernah peduli dengan masyarakat sekitar,” ujarnya.
Muslim menyontohkan, masyarakat Kuala Seumayang yang perkampungannya di pinggir HGU PT. Kallista Alam, karena wilayahnya terbatas meminta empat hektar lahan perusahaan untuk dijadikan lahan desa. Tujuannya, untuk dibangun fasilitas umum seperti rumah sekolah.
“Namun, perusahaan baru mau memberikan lahan jika masyarakat membayar 8 juta Rupiah untuk satu batang sawit yang ditebang,” ujarnya.
Apresiasi putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh juga disampaikan pegiat lingkungan di Aceh. “Ini adalah kemenangan usaha penyelamatan lingkungan, khususnya hutan rawa gambut, yang selama ini disuarakan banyak orang,” ungkap Nurul Ikhsan, tim Advokasi Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Menurut Nurul Ikhsan, meski putusan telah dilakukan bukan berarti masalah selesai. “Eksekusi harus segera dijalankan,” ungkapnya.
Baca juga: Sahabat Pengadilan: Berharap PT. Kallista Alam Dihukum Atas Perbuatannya
Jalan panjang
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Meulaboh membebaskan PT. Kallista Alam dari segala tuduhan terkait pembakaran Rawa Tripa. Putusan tersebut berlawanan dengan putusan Mahkamah Agung, baik saat kasasi maupun peninjauan kembali yang diajukan perusahaan tersebut.
Mahkamah Agung melalui putusan Nomor: 651 K/pdt/2015 menyatakan PT. Kallista Alam bersalah. Perusahaan harus membayar ganti rugi materiil sebesar Rp114,3 miliar dan memulihkan lingkungan hidup sekitar Rp251,7 miliar.
Namun, dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 13 April 2018, Majelis Hakim yang diketuai Said Hasan, serta Muhammad Tahir serta T. Latiful sebagal hakim anggota, justru memutuskan PT. Kallista Alam tidak bersalah. Pengadilan bahkan mengabulkan semua gugatan perusahaan.
“Menyatakan posisi areal yang dimaksud di 96° 32′ 0″ – 98° 32′ 21″ BTdan3° 47′ 8″ – 3° 51′ 22″ LU berada dalam tiga wilayah yaitu Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Gayo Lues,” sebut majelis hakim dalam putusan yang dibacakan 12 April 2018.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh mengatakan, posisi koordinat di perkara putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 12/PDT.G/2012/PN.MBO tanggal 8 Januari 2014, Junto putusan Pengadilan Tinggi Aceh Nomor: 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15 Agustus 2014, Junto putusan Mahkamah Agung Nomor: 651K/PDT/2015, Junto putusan Mahkamah Agung Nomor: 1 PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017 yang berisikan gugatan pembakaran hutan tidak bisa diminta pertanggungjawaban hukumnya kepada PT. Kallista Alam.
“Menyatakan, putusan Mahkamah Agung Nomor: 1 PK/PDT/2015 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap penggugat atau PT. Kallista Alam,” ungkap Majelis Hakim.
Sementara itu, sambung Majelis Hakim dalam putusannya, kebakaran pada Maret, Mei dan Juni 2012, lagi-lagi tidak dapat diminta pertanggungjawaban kepada PT. Kallista Alam. Alasannya, aktivitas perusahaan dihentikan Gubernur Aceh pada 25 November 2011.
“Sehingga, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan PT. Kalista Alam sehubungan dengan kebakaran hutan seperti putusan putusan PN Meulaboh Nomor: 12/PDT.G/2012/PN.MBO dan perusahaan harus dibebaskan dari segala tuntutan,” tambahnya.
Tidak terima dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Meulaboh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Dukungan penegakan hukum terhadap perusak Rawa Tripa ini pun diberikan sejumlah tokoh yang bertindak selaku Amicus Curiae (Friends of the Court) atau sahabat pengadilan.