Komoditas ikan kerapu sejak lama menjadi salah satu komoditas andalan bagi Indonesia untuk pasar ekspor. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir komoditas tersebut mengalami penurunan karena terkendala peraturan Undang-Undang No.17/2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.32/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, sejak dibuka kembali keran ekspor, sejumlah daerah yang menjadi sentra kerapu terus menggeliat meningkatkan produktivitasnya. Di antara daerah tersebut, adalah Provinsi Kepulauan Riau uang mencakup beberapa kabupaten.
Menurut Slamet, Kepri selama ini memang selalu menjadi andalan karena memiliki sentra kerapu di Kabupaten Natuna dan Kepulauan Anambas. Khusus di Natuna, sentra kerapu yang berpusat di Pulau Sedanau, menjadi andalan warga untuk mengais rezeki. Kerapu yang diproduksi pada keramba jaring apung (KJA) itu menghasilkan omset sangat besar setiap bulannya.
“Ekspor kerapu dari Kepulauan Riau sudah berjalan seperti biasa. Di sana, ekspor berjalan baik, karena akses pasar berdekatan langsung dengan pasar utama, yakni Hong Kong dan Tiongkok,” ungkapnya pekan lalu, di Jakarta.
baca : Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?
Slamet menjelaskan, pengiriman kerapu ke pasar internasional dari Natuna yang berjalan lancar dan stabil hingga saat ini, menunjukkan bahwa kondisi sudah kembali normal. Yang perlu dilakukan sekarang, adalah bagaimana menggenjot produktivitas kerapu di sentra yang ada seperti di Kepri. Peningkatan produksi perlu dilakukan, karena permintaan juga akan terus ada dari pasar seperti dua negara di atas.
Selain di Kepri, Slamet menyebutkan, Indonesia sebenarnya masih memiliki sentra produksi kerapu di Indonesia Timur. Akan tetapi, kawasan tersebut hingga saat ini masih belum berkembang karena akses yang jauh dari pelabuhan muat singgah. Kendala lain yang muncul di sana, adalah karena produksi kerapu juga tersebar di beberapa lokasi, bahkan berbeda pulau.
“Ini berbeda dengan di Kepri, khususnya Natuna yang sudah terpusat di Sedanau. Jadi, memang ada penurunan intensitas ekspor dari Timur. Di sisi lain, usaha budidaya di sana juga banyak tersebar di beberapa lokasi, sehingga kuota panen dinilai belum menutupi kapasitas angkut,” ucapnya.
baca juga : Koneksi Bisnis Lemah Sebabkan Industri Perikanan dan Kelautan Anjlok?
Kapal Pengangkut Ikan
Dengan kendala seperti itu, Slamet mengakui bahwa pengembangan komoditas kerapu untuk ekspor di Indonesia Timur masih terus dicarikan solusi. Mengingat, di saat yang sama juga Pemerintah konsisten untuk menerapkan UU No.17/2008, yang menegaskan tidak boleh ada kapal berbendera asing yang bisa keluar masuk wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan singgah antar pulau.
“Solusinya memang perlu ada kapal feeder dari onfarm ke pelabuhan muat singgah,” jelasnya.
Slamet menuturkan, kapal feeder yang mengangkut ikan hidup dari pembudidaya, saat ini jumlahnya cukup banyak. Jika sebelum Permen KP diberlakukan, jumlah kapal yang beroperasi sebanyak 20 unit, maka setelah diberlakukan Permen jumlahnya bertambah menjadi 28 unit. Jumlah itu, terhitung banyak karena bisa melayani semua pulau yang menjadi sentra kerapu.
baca juga : Natuna Disiapkan Jadi Pusat Pasar Ikan Terbesar di Indonesia
Akan tetapi, menurut Slamet, kendala utama yang hingga saat ini belum terpecahkan, adalah jumlah frekuensi pelayaran dari masing-masing kapal feeder yang masih dibatasi oleh UU Pelayaran. Jadi, kapal asing yang akan mengambil ikan untuk ekspor, diminta untuk diam di satu lokasi dan nanti ikan akan dibawa oleh kapal feeder.
“Intinya, kapal asing sudah tidak boleh lagi singgah antar pulau, seperti dulu. Dengan kata lain, pemberlakuan Permen KP No.32/2016 memang ada pengaruh, namun kita juga harus konsisten terhadap ketentuan Undang-Undang, apalagi menyangkut kedaulatan negara,” tegasnya.
Slamet mengungkapkan, bagi pembudidaya ikan kerapu yang terdampak, KKP telah memberikan dukungan program untuk mulai melaksanakan diversifikasi komoditas budidaya ke non kerapu yang memiliki akses pasar lebih luas seperti kakap putih dan bawal bintang di beberapa daerah. Cara tersebut, untuk memaksa pembudidaya keluar dari kesulitan usaha.
“Di beberapa daerah seperti NTB, budidaya ikan seperti bawal bintang mulai berkembang, ini saya rasa akan kita dorong sebagai alternatif komoditas selain kerapu,” tandasnya.
Sementara, Pembudidaya kerapu dari Natuna, Eko Prihananto mengakui bahwa kondisi saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Terakhir, Natuna sukses mengirim 16.720 kilogram ikan kerapu hidup ke Hong Kong senilai USD100.314 atau sekitar Rp1,45 miliar. Pelaksanaan ekspor itu dilakukan melalui jalur laut dengan menggunakan dua unit kapal berbendera Hong Kong.
“Ekspor kerapu ke Hong Kong masih stabil sepanjang 2018 ini,” ucap dia sekaligus mengonfirmasi pengiriman dari Natuna dilaksanakan di Pelabuhan Sedanau.
Menurut Eko, sebagai sentra kerapu, Natunan pada 2018 ini sudah melaksanakan 11 kali ekspor dan itu berarti, ekspor dilaksanakan minimal sebulan sekali. Setiap kali melakukan ekspor, ikan kerapu hidup yang dikirimkan jumlahnya minimal mencapai 16 ton dan itu akan terus meningkat sesuai dengan permintaan pasar.
Untuk setiap kilogram ikan kerapu yang diekspor, Eko merinci harganya masih ada di kisaran normal. Untuk kerapu hibrid, harga per kilogram saat ini mencapai Rp85 ribu, ikan kerapu tikus Rp80 ribu, dan kerapu suni diharga Rp350 ribu.
menarik dibaca : Kenapa Natuna dan Anambas Ekspor Napoleon Kembali lewat Laut?
Pasar Menjanjikan
Eko melanjutkan, banyaknya warga di Natuna yang menjadi pembudidaya kerapu, tidak lain karena pasar yang menjanjikan. Hal itu, terutama karena negara utama tujuan ekspor secara geografis berdekatan letaknya dengan Natuna. Adapun, selama ini, negara yang selalu berminat untuk membeli kerapu, adalah Hong Kong dan Tiongkok.
Khusus untuk Hong Kong, kata Eko, waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mengangkut ikan kerapu hidup dari Natuna, lamanya mencapai enam hari. Meski terkesan lama, namun waktu tersebut jauh lebih cepat dibandingkan jika eksportir harus mengambilnya dari daerah lain di Indonesia, seperti Bali yang membutuhkan waktu minimal 10 hari perjalanan.
“Jika dihitung penuh pulang pergi, maka perjalanan kapal membutuhkan waktu minimal 20 hari. Bandingkan dengan Natuna yang hanya perlu 12 hari saja. Menyingkat hingga delapan hari. Makanya, bisnis kerapu masih menjadi pilihan menjanjikan bagi masyarakat Natuna,” tandasnya.
Meski sudah menjadi mata pencaharian idaman bagi warga di Natuna, khususnya di pulau Sedanau, Eko tetap tidak menampik ada pengaruh akibat pemberlakuan Permen KP No.32/2016. Menurut dia, pengaruh tersebut sempat berdampak pada kinerja ekspor kerapu dari kepulauan Natunan. Namun, sejak tahun ini, pengaruh tersebut mulai bisa diatasi seiring kembalinya aktivitas ekspor dari Sedanau.
Eko menyebutkan, saat ini di Natuna sedikitnya terdapat 2.500 orang yang terlibat dalam usaha budidaya kerapu. Para pembudidaya tersebut tidak hanya berpusat di Sedanau, namun juga secara keseluruhan menyebar di 15 kecamatan yang ada. Kondisi itu, bisa mengartikan bahwa aktivitas budidaya kerapu terus berdenyut positif.
Diketahui, berdasarkan data volume ekspor kerapu hidup setiap bulan yang dirillis Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2018, memperlihatkan ada pergerakan positif sejak Agustus hingga Desember dan diprediksi akan berlanjut pada Januari tahun berikutnya.
baca juga : Liputan Natuna : Ironi Pulau Sedanau, dari Kemakmuran ke Keterpurukan (Bagian 2)