Mongabay.co.id

Melestarikan Papua Barat, Awali dengan Pengakuan Hak Tanah Adat

 

Bentangan hutan tropis yang luas dan utuh merupakan andalan terdepan strategi global untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang menimbulkan bencana besar sekaligus upaya melestarikan keanekaragaman hayati. Dalam konteks ini, hutan luas Provinsi Papua dan Papua Barat, saat ini menjadi fokus upaya konservasi internasional.

Terdapat banyak risiko yang melekat pada desakan konservasi, yang menjadi ledakan baru dan dapat mengulangi kesalahan masa lampau, yakni merampas dan merebut hak masyarakat adat Papua dari tanah mereka. Di sini kami secara singkat menguraikan tantangan konservasi, pembangunan dan pengakuan hak tanah adat di Provinsi Papua Barat, berdasarkan proyek penelitian terapan kolaboratif yang kami lakukan di provinsi tersebut sejak 2013.

Provinsi Papua Barat, yang terletak di wilayah Kepala Burung Papua (Nugini) dengan luas total 9,7 juta hektar, mempertahankan lebih dari 90 persen tutupan hutannya (Grafik 1). Provinsi Papua Barat dibentuk pada 2003 dengan membagi provinsi yang sebelumnya dikenal sebagai Papua menjadi dua provinsi. Sebagai salah satu provinsi termuda di Indonesia, Papua Barat mengalami tekanan untuk mempercepat pembangunan sosio-ekonomi.

Tingkat kemiskinan di Papua Barat tinggi, meskipun menurun. Pada 2016, seperempat penduduk Papua Barat (225.800 orang) hidup di bawah rata-rata garis kemiskinan regional, yang dinilai setara dengan 475 ribu Rupiah (sekitar USD31) per bulan (Badan Pusat Statistik, 2017). Daerah pedesaan Papua Barat, yang sebagian besar dihuni masyarakat adat Papua, lebih miskin dibandingkan masyarakat perkotaan.

Meskipun tertinggal dalam pembangunan sosio-ekonomi, Papua Barat merupakan satu dari beberapa provinsi yang memiliki hutan alam luas. Total tutupan hutan di Papua Barat sekitar 90 persen dari total luas provinsi, yakni seluas 8,9 juta hektar. Angka ini mencakup semua tutupan hutan, baik di hutan negara maupun di luar kawasan.

 

Gambar 1: Tutupan lahan di provinsi Papua Barat pada 2016, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Karena keanekaragaman hayati provinsi ini serta proporsi tutupan hutannya yang tinggi, organisasi masyarakat sipil dan organisasi konservasi internasional telah mengadvokasi pemerintah untuk menyatakan provinsi tersebut sebagai provinsi konservasi. Pada 2015 pemerintah provinsi menyatakan bahwa Papua Barat akan menjadi Provinsi Konservasi, dan mendukung pembentukan peraturan daerah khusus provinsi konservasi. Atau, setelah judulnya diubah disebut sebagai “Provinsi Pembangunan Berkelanjutan”, dan saat ini telah disusun.    [i]

Terdapat banyak risiko yang melekat pada penunjukan Papua Barat sebagai provinsi konservasi. Provinsi ini memiliki lingkungan alam yang kaya, tetapi juga provinsi dengan salah satu tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Dalam sejarahnya, proses perencanaan Indonesia tidak mengakui kepemilikan adat atas tanah atau area yang dikategorikan sebagai kawasan hutan secara formal.

Dengan menerapkan zonasi wilayah sebagai bagian dari kawasan hutan, mereka berada di bawah yurisdiksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah pusat. Kawasan konservasi menurut hukum Indonesia terdiri dari beberapa jenis, termasuk Taman Nasional, Suaka Margasatwa, dan Taman Buru. Di dalam area inti Taman Nasional dan juga seluruh area Suaka Margasatwa, tidak ada penggunaan lahan yang diizinkan. Pembentukan kawasan konservasi di Indonesia secara historis telah menyebabkan penggusuran masyarakat adat yang signifikan dari area-area inti, membatasi akses mereka terhadap lahan maupun mata pencaharian.

Pemerintah Provinsi Papua Barat, dengan dukungan Majelis Rakyat Papua dan organisasi masyarakat sipil [ii], telah mengembangkan rancangan peraturan provinsi tentang pengakuan hak atas tanah adat. Peraturan tersebut didasarkan pada momentum putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia pada 2012, 35/PUU-X/2012, yang mengakui hak-hak kelompok masyarakat adat terhadap tanah di dalam kawasan hutan Indonesia.

 

Indonesia merupakan rumah potensial keragamanan hayati, sebagaimana burung kakatua galerita ini. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Saat ini, terdapat ketidakpastian tentang bagaimana rancangan peraturan provinsi pembangunan berkelanjutan dan rancangan peraturan hak atas tanah adat akan mempengaruhi satu sama lain, manakala dua peraturan tersebut dilaksanakan.

Pada akhirnya, seiring dengan inisiatif-inisiatif ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berfokus pada pengurangan kemiskinan di area-area kawasan hutan Indonesia, dengan fokus khusus pada Papua. Komponen utama kebijakan Jokowi adalah meningkatkan belanja pembangunan infrastruktur serta mendorong pembangunan pertanian. Daerah Papua yang sebelumnya terpencil dan sulit dijangkau, akhirnya sekarang mendapat akses untuk jalan dan listrik, sehingga meningkatkan akses mereka terhadap pasar dan peluang-peluang lainnya.

Dapatkah ketiga inisiatif kebijakan ini – konservasi, pembangunan, dan pengakuan hak-hak masyarakat adat – diseimbangkan dengan cara yang menguntungkan baik bagi masyarakat adat Papua dan lingkungan?

Berdasarkan penelitian kami di Papua Barat yang diselenggarakan melalui berbagai inisiatif sejak 2013, kami menggarisbawahi beberapa tantangan untuk menemukan solusi yang seimbang:

Tantangan-tantangan ini tampak jelas di Kabupaten Fakfak, yang terletak di bagian tengah-barat provinsi (Gambar 1). Kabupaten Fakfak menghadap ke arah Kepulauan Maluku dan dalam sejarahnya, telah lama terintegrasi dalam perdagangan rempah-rempah, terutama untuk varietas pala lokal.

Pala dan fuli secara historis digunakan di seluruh dunia untuk kuliner dan dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan minyak atsiri dan oleoresin. Meskipun Indonesia telah menjadi pusat produksi lebih dari seribu tahun, potensi penuh pasar pala masih belum tercapai. Salah satu varietas pala yang dinilai terlalu rendah adalah pala Papua (Myristica argentea Warb) atau secara lokal dikenal sebagai Pala Tomandin.

Pala Papua secara komersial ditanam di Kabupaten Fakfak dan Kaimana di Papua Barat, dengan mayoritas produksi terkonsentrasi di Kabupaten Fakfak. Pala ditanam di hutan alam dan sekunder oleh para petani tradisional, di lahan yang dimiliki dan dikelola sesuai hukum adat. Meskipun pada 2014 terdaftar dalam indikasi geografis sebagai Pala Tomandin, permintaan dan harga pala Papua masih rendah. Akibatnya, petani pala kerap mengelola beragam mata pencaharian lain seperti perikanan dan budidaya rumput laut atau bertani tanaman pangan lainnya (Tabel 1).

 

Tabel 1: Kegiatan ekonomi utama dan pendorong degradasi beserta hilangnya hutan di Kabupaten Fakfak, Papua Barat

 

Deforestasi di Kabupaten Fakfak relatif terbatas, meskipun menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gambar 2), periode 2010 sampai 2016, mengalami lonjakan pembukaan lahan terkait konsesi kehutanan dan alokasi konsesi kelapa sawit. Konsesi perusahaan-perusahaan penebangan kayu yang tidak dimiliki masyarakat adat terus mengekstraksi kayu.

Mereka tetap menjadi pendorong utama deforestasi dan tren ini terus berkembang. Degradasi hutan, yang merupakan konversi hutan primer menjadi hutan sekunder, sebagian besar didorong oleh konsesi kehutanan dan melonjak secara dramatis pada periode 2000 hingga 2010. Tingkat degradasi hutan menurun secara signifikan setelah periode ini, dengan sebagian besar degradasi sekarang terjadi di luar konsesi kehutanan. Saat ini, pemilik tanah adat menerima pembayaran kompensasi untuk kayu yang dipanen oleh pemilik hak konsesi, meskipun jumlah dan distribusi manfaat dapat bervariasi.

Dari studi kasus kami di Kabupaten Fakfak, penduduk setempat telah menggambarkan proses lokal berupa lonjakan demografis dan tekanan keuangan yang meningkat, seperti biaya membayar pendidikan menengah dan tinggi untuk anak-anak mereka, sebagai penyebab ekspansi ke kawasan hutan primer.

Gambar 2: Perubahan tutupan lahan di Distrik Fakfak dari 1990 sampai dengan 2016, menunjukkan luas hutan sekunder yang luas dalam konsesi hutan, yang disebabkan oleh perusahaan penebangan kayu

 

Kasus Kabupaten Fakfak mengungkapkan rumitnya solusi tantangan kemiskinan, hak adat dan konservasi yang saling terkait. Pengakuan hak masyarakat adat harus diprioritaskan demi mencapai keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Di kawasan Amazon, misalnya, pengakuan formal atas wilayah adat sama efektifnya dengan penentuan kawasan konservasi dalam menghambat deforestasi.

Pengakuan hak atas tanah membutuhkan peta yang secara tepat menggambarkan batas wilayah adat. Akan tetapi, terdapat tabu sosial dalam penggambaran batas-batas ini akibat batas-batas historis antara berbagai suku dan klan yang ditetapkan melalui perang dan konflik. Tanpa proses mediasi yang tepat dan sah, pemetaan batas-batas adat berpotensi untuk mengungkit kembali konflik-konflik masa lalu.

Dalam ketiadaan mekanisme dan lembaga mediasi konflik, terdapat metode-metode lain yang tersedia untuk menggambarkan kepemilikan tanah adat secara tepat. INOBU, bersama dengan AKAPE, sebuah LSM berbasis di Fakfak, telah melakukan pemetaan tanah berdasarkan penggunaan lahan ketimbang hak kepemilikan, secara khusus berfokus pada kebun hutan pala di Kabupaten Fakfak. Sejauh ini, kami telah memetakan 263 petani dengan total luas 792 hektar lahan di 20 desa. Peta-peta ini menggambarkan peta indikatif penggunaan tradisional atas kawasan hutan, yang di masa depan akan menjadi dasar diskusi hak kepemilikan antara klan dan suku, serta dengan pemerintah.

Mengakui hak atas tanah tidak akan memadai dalam penyelesaian masalah deforestasi dan degradasi hutan, meskipun hal tersebut akan membantu. Meningkatkan nilai dan pasar komoditas hutan yang penting secara lokal amatlah krusial. Di Fakfak, kami telah bekerja untuk meningkatkan pasar dan nilai pala Papua sembari memperkuat mata pencaharian alternatif agar mengurangi tekanan ekonomi pada rumah tangga masyarakat adat di sana. Kami telah terlibat dengan eksportir pala untuk memastikan produk tersebut memenuhi standar yang dipersyaratkan pasar internasional.

Kami juga telah bekerja sama dengan perusahaan kosmetik Indonesia untuk membantu mengembangkan industri lokal pemrosesan produk pala. Setelah itu, semua intervensi ini harus diimbangi dengan penguatan lembaga adat agar mengelola sumber daya hutan secara berkelanjutan. Akhirnya, platform multi-pemangku kepentingan tingkat kabupaten akan mengiringi produksi pala berkelanjutan di Kabupaten Fakfak.

 

Hutan di Papua Barat. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Pembelajaran dari Kabupaten Fakfak dapat diterapkan lebih luas ke Provinsi Papua Barat. Kami mengusulkan bahwa pengakuan terhadap hak atas tanah dan sumber daya masyarakat adat Papua harus menjadi prioritas langsung pemerintah provinsi, donor dan organisasi konservasi dan pembangunan. Konservasi harus dilihat melalui cara pandang yang memperkuat sistem dan institusi adat, termasuk pemerintahan desa (kampung), untuk mengelola lingkungan ketimbang memperluas kawasan lindung.

Meski demikian, pengakuan hak-hak adat atas tanah dan sumber daya seharusnya tidak mematikan hak mereka untuk berkembang sesuai aspirasi mereka masing-masing. Sebaliknya, kelompok masyarakat adat harus didukung melalui intervensi yang membantu mereka mengembangkan industri yang menguntungkan dan berkelanjutan, serta mendukung akses kesehatan dan pendidikan.

Bagian penting dari intervensi ini patut mengembangkan alternatif ekonomi bagi masyarakat adat yang meningkatkan nilai tegakan hutan dan dikelola dengan baik. Bila perlu, konservasi yang ketat harus didukung insentif keuangan dan bentuk-bentuk lainnya, dengan manfaat yang terdistribusi secara adil. Sebelum membangun atau memperluas kawasan konservasi, pemerintah juga harus menilai dampak potensial terhadap masyarakat adat, termasuk bagaimana hal itu akan menyumbang atau menghambat target pengurangan kemiskinan dan kemungkinan konflik di masa depan.

Investasi yang diusulkan pemerintahan Jokowi untuk jalan dan elektrifikasi dapat membantu meningkatkan kelayakan ekonomi dari perusahaan-perusahaan berbasis masyarakat yang baru di Papua Barat jika dirancang dan dilaksanakan dengan partisipasi para pemangku kepentingan daerah setempat, terutama masyarakat adat. Tanpa perencanaan partisipatif yang efektif, investasi seperti ini bisa mengarah ke perebutan terbuka dan sebebas-bebasnya atas sumber daya alam yang melibatkan semua pihak.

Tujuan keadilan sosial maupun konservasi paling tepat dilaksanakan dengan pengakuan hak atas tanah serta pengembangan ekonomi alternatif bagi masyarakat atau komunitas hutan yang memperbaiki mata pencahariannya dengan meningkatkan nilai hutan mereka. Yang menjadi hal utama dan terpenting, masyarakat adat di Papua Barat perlu menempati posisi utama dalam menentukan perencanaan masa depan Provinsi.

 

 

Catatan:

I Sebagai bagian dari rancangan peraturan daerah khusus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan (Ranperdasus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan), pemerintah telah menetapkan target berikut: 1. Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan memastikan bahwa penggunaan energi bersih dan terbarukan mencapai 50% selama periode 20 tahun dari diberlakukannya peraturan daerah ini; 2. Pemerintah daerah berkomitmen mengurangi laju deforestasi sebesar 80% dari rata-rata laju deforestasi dan degradasi pada 2009; 3. Dengan periode minimum 20 tahun sejak diberlakukannya peraturan otonomi khusus ini, sebanyak 50% hutan akan dikelola secara berkelanjutan; 4. Pemerintah daerah berkewajiban melindungi minimal 80% habitat penting dan 50% dari setiap jenis ekosistem; serta untuk wilayah pesisir dan laut: pemerintah daerah wajib mempertahankan minimal 30% wilayah pesisir dan perairan sebagai Kawasan Konservasi Perairan yang mencakup minimal 20% dari area tersebut sebagai Wilayah Larang Ambil (No Take Zone) dalam periode tertentu dengan mempertimbangkan atribut-atribut ekologi.

ii Inovasi Bumi (INOBU) dan Earth Innovation Institute, didukung oleh Norad-financed Forest, Farms and Finance Initiative, mendukung rancangan dan konsultasi awal rancangan peraturan daerah khusus (Raperdasus) tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Papua di Provinsi Papua Barat. Peraturan tersebut merupakan langkah pertama untuk mengakui hak atas tanah masyarakat adat, karena keberadaan kelompok adat harus diakui terlebih dahulu.

 

 

Ucapan terima kasih:

John Watts (INOBU, EII), Silvia Irawan (INOBU, EII) dan Triyoga Widiastomo (INOBU) yang berkontribusi pada Komentar ini; pendanaan disediakan NORAD dan David and Lucile Packard Foundation.

Foto utama: Citra satelit Sipatnanam, Kabupaten Fakfak. Diambil pada September 2018.  Courtesy of    Planet.

 

 

* Bernadinus Steni adalah Sekretaris Inovasi Bumi (INOBU). ** Daniel Nepstad adalah Direktur Eksekutif Earth Innovation Institute.

Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di   tautan ini.

 

 

Exit mobile version