Mongabay.co.id

Tanam Jahe Terjerat UU Rusak Hutan, Majelis Hakim Putus Bebas Satumin

Warga dan berbagai unsur organisasi masyarakat sipil menyambut gembira putusan majelis hakim PN Banyuwangi, yang memutus bebas Satumin. Foto: ForBanyuwangi

 

Namanya Satumin. Petani dari Dusun Sambungrejo, Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi, Jawa Timur ini terjerat hukum karena dituding Perhutani berkebun tanpa izin di kawasan hutan. Setelah proses hukum panjang di Pengadilan Banyuwangi, majelis hakim dengan ketua Saptono, menyatakan Satumin, tak bersalah dan bebas dari hukuman pada Kamis (18/10/18).

Bapak dua anak berusia 43 tahun ini dilaporkan ke polisi oleh Perhutani dengan memakai UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan, Perusakan Hutan. Di Indonesia, meskipun ada aturan pengecualian bagi masyarakat tradisional/adat bertani di kawasan hutan, tetap saja aturan ini kerap menyasar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan dalam hutan, seperti dialami Satumin.

Ceritanya, sebelum berurusan dengan hukum, Satumin memiliki riwayat kerjasama panjang dengan Perhutani KPH Banyuwangi. Mereka sudah bermitra sejak 1995. Bentuk kerjasama ini tak terwakili dokumen resmi hitam di atas putih. Secara lisan, Perhutani memberikan izin pada Satumin menanam jagung di sela pinus.

Pada 2002, Satumin mendaftarkan diri sebagai penyadap getah pinus yang tumbuh di hutan produksi milik Perhutani. Atas saran Asper Perhutani, pada 2007, dia menanami sela pinus dengan cabai dan jahe, untuk menambah pendapatan. Dia juga jadi anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Green Forest pada 2010.

Enam tahun setelah itu, 2016, dia menanam 200 jahe dan kopi di wilayah kelola KPH Banyuwangi Barat. Mantri Tanam yang bertugas saat itu, Mastur, melarang Satumin melanjutkan menanam.

Satumin meninggalkan lahan seukuruan 7,5×7,5 meter yang telah ditanami jahe dan kopi.

Dua tahun setelah peristiwa itu, pada 16 Januari 2018, Satumin melihat jahe yang ditanam. Bersama sang istri, Maskufah Antini, dan berbekal cangkul, dia berusaha mengeluarkan rimpang jahe dari tanah. Istrinya, membantu membersihkan rimpang-rimpang itu. Ketika itu, datang empat polisi hutan (polhut).

Tiga orang mencabut 20 batang kopi yang sebagian besar tumbuh liar, kemudian diikatkan ke cangkul Satumin. Mereka memaksa Satumin memegang cangkul dan memotret. Setelah itu, Satumin dibawa ke Kantor Polisi Sektor Songgon, Banyuwangi.

Dua hari kemudian, 18 Januari 2018, terbit surat pemberitahuan mulai penyidikan dari Polsek Songgon, Resor Banyuwangi. Surat tertanggal 18 Januari 2018 ini menerangkan mulai penyidikan tindak pidana “perkebunan tanpa izin di hutan lindung.”

Dalam surat menyebutkan, perkebunan tanpa izin sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UU P3H.

Dengan ada surat itu berdampak pada rutinitas harian Satumin. Setiap pekan, dia harus menyediakan waktu wajib lapor.

Sejak Januari 2018, setiap Senin dan Kamis, Satumin harus berangkat menuju Kantor Polsek Songgon untuk wajib lapor.

Pada 26 Juli 2018, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi menerbitkan surat perintah penahanan (tingkat penuntutan). Satumin pun ditahan di Lapas Kelas II B Banyuwangi.

Sebelum putus tak bersalah, Satumin menjalani rangkaian sidang PN Banyuwangi sebanyak 16 kali.

 

Satumin, kala persidangan dan akhirnya putus bebas. Foto: ForBanyuwangi

 

Pada Kamis (27/9/18), Jaksa Penuntut Umum (JPU), Muljo Santoso, menuntut pidana penjara kepada Satumin selama 3,2 bulan, denda Rp1,5 miliar, subsider empat bulan kurungan.

Ahmad Rifai, Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PCNU Banyuwangi mengatakan, Satumin bukanlah subjek hukum.

Jeratan hukum UU P3H pada Satumin salah alamat. Dalam UU itu sendiri pada bab Ketentuan Umum menyatakan, penggunaan kawasan hutan tidak sah adalah kegiatan terorganisasi.

“Pada saat penangkapan itu, hanya Satumin dengan istri. Apakah kegiatan Satumin dengan istri membersihkan jahe itu termasuk kegiatan terorganisasi? Satumin itu individu bukan organisasi. Satumin bukanlah subjek hukum yang dimaksud dalam UU ini,” katanya.

Konflik agraria antara warga dan perusahaan atau warga dengan pemerintah memang terjadi di mana-mana, termasuk dengan Perhutani di Jawa.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2017, mencatat ada 92 lokasi konflik agraria tersebar di berbagai daerah seperti Sumatera, Pulau Jawa, dan Bali. Data Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), ada sekitar 6.800 desa bermasalah batas lahan dengan Perhutani.

 

Sambut gembira

Satumin bebas Kamis (18/10/18). Usai hakim membacakan putusan, dia segera menjabat tangan hakim dan kuasa hukum. Setelah itu, segera dia menghampiri istrinya, Maskufah Antini. Perempuan ini terlihat menitikkan air mata menyambut kebebasan sang suami.

Suasana haru dan bahagia. Hari Kurniawan, kuasa hukum Satumin, terlihat melonjak kegirangan mendengar putusan itu.

Setelah itu, beragam elemen turun ke jalan menggalang aksi solidaritas bersama. Mereka orasi dan menyanyi merayakan kebebasan Satumin.

“Hari ini kita masih tetap optimis nilai-nilai keadilan di Pengadilan Negeri Banyuwangi masih berpihak pada rakyat kecil. Hari ini, kita menyaksikan, bagaimana majelis hakim berpihak pada petani miskin seperti Satumin,” kata Hari dalam orasi di depan PN Banyuwangi.

Taufiq Qurrahman, warga Pesanggaran yang juga bersolidaritas bersama Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PCNU Banyuwangi, mengatakan, putusan Satumin ini sudah memenuhi rasa keadilan terutama bagi rakyat kecil. Selain itu, katanya, negara harus hadir memberikan akses terhadap petani hutan dengan prinsip-prinsip ekologi.

 

Keterangan foto utama:    Warga dan berbagai unsur organisasi masyarakat sipil menyambut gembira putusan majelis hakim PN Banyuwangi, yang memutus bebas Satumin. Foto: ForBanyuwangi

Exit mobile version