Mongabay.co.id

Begini, Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat di Hutan Penelitian

Hutan gambut di Kalimantan Tengah yang potensinya harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebuah bak penampung air berwarna jingga, berdiri tegak di halaman rumah Candra Kanang (56), di Jalan Khatulistiwa Gg beringin, Kelurahan Batu Layang, Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Tingginya sekitar tiga meter. Air tersebut hasil filterisasi dari sumur di belakang rumahnya.

Aslinya, air itu hitam pekat dan cenderung bergetah. Khas air gambut. “Kami tinggal sejak 1959 di sini. Masih hutan semua,” kenangnya. Namun ada yang belum berubah, air sumurnya yang hitam. Warga setempat terbiasa menampung air hujan sebagai air bersih.

Orangtua Candra, asli Sulawesi Selatan. Mencoba peruntungan di Kalimantan setelah melaut. Maka, nama permukiman itu sama dengan asal daerah mereka. Candra merupakan ketua RT, dengan 62 kepala keluarga dan 400 jiwa. Kini mereka bisa memanfaatkan air gambut yang disuling untuk keperluan makan, minum dan mencuci. “Semoga membantu saat musim kemarau,” harapnya.

Alat penjernih air gambut ini merupakan pilot project Universitas Tanjungpura Pontianak. Untuk membuatnya, dibutuhkan biaya sekitar Rp20 juta Rupiah. Alat ini nantinya digunakan untuk 11 desa di sekitar Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang dikelola Universitas Tanjungpura. Statusnya hutan produksi dengan luasan 19.662 hektar. Letaknya meliputi tiga kabupaten yaitu Landak, Mempawah, dan Kubu Raya.

Baca: Pengelolaan Berbasis Masyarakat, Konsep Jitu Perlindungan Gambut

 

Hutan sebagai sumber kehidupan manusia jangan sembarang ditebang. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

September lalu, Gusti Hardiansyah, Dekat Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak, menunjukkan cara kerja alat tersebut di kediaman Candra. Ada beberapa tahapan. Proses koagulasi untuk memisahkan partikel logam yang terkandung di air awal langkahnya. Selanjutnya, digunakan pasir silika untuk menyerap racun yang kemungkinan ada di air. Kemudian, difilter menggunakan karbon aktif untuk menghilangkan bau sekaligus memurnikan air.

“Bisa untuk minum,” lanjutnya. Warga yang tinggal di kawasan gambut sering kesulitan mendapatkan air bersih. Air gambut asam, jika digunakan untuk mencuci, lama kelamaan meninggalkan noda di baju.

Gusti pun memperlihatkan alat pemadam kebakaran digital, bernama Nyapar, yang dikembangkannya selama dua tahun. “Permasalahan kebakaran di gambut, api membakar sampai dalam tanah,” katanya. Hal ini menjadikan kebakaran sulit ditangani.

Semprotan airnya bisa diatur. Alat ini bisa berputar 180 derajat untuk memadamkan api. “Bisa disimpan di titik rawan kebakaran. Atau dibawa ke tempat yang sulit dijangkau kendaraan,” tambahnya.

 

Potensi gambut di Kalimantan Tengah yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Biaya perakitannya Rp20 juta per unit. Nyapar sudah dilengkapi selang, dan tiga nozzle yang punya fungsi berbeda. Ada yang ditusukkan ke dalam tanah untuk memadamkan api dan noozle berputar. “Masih diriset agar nozzle mencari titik panas sendiri,” tambahnya. Universitas Tanjungpura telah mematenkan Nyapar dan sebagai tahap awal, enam unit akan diserahkan ke 11 desa.

Kedepannya, Universitas Tanjungpura akan meminta komitmen pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mendukung perlindungan gambut di hutan penelitian. Tujuannya, mencegah deforestasi dan degradasi hutan serta kebarakan. “Selain penjernihan air dan Nyapar, Untan juga akan membentuk masyarakat pedulli api sebanyak 50 orang,” jelasnya.

“Dalam program ini, ICCTF bertindak sebagai penyalur dana untuk membiayai kegiatan berkaitan perubahan iklim. Donor berasal dari USAID dan UK AID,” tambah Angga Arstia, Manager Komunikasi ICCTF. Di seluruh Kalimantan, proyek yang ditangani ICCTF telah membuat 180 sekat kanal, 640 buah sumur bor, serta 240 embung dan delapan tower pemantau api. Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) merupakan lembaga bentukan Kementerian PPN/Bappenas sebagai alternatif mekanisme pembiayaan perubahan iklim.

 

Inilah Nyapar, alat pemadam kebakaran digital, yang dikembangkannya selama dua tahun oleh Universtas Tanjungpura Pontianak. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Hutan penelitian

Hutan penelitian ini ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Keputusan (SK) No 656 tahun 2016, 26 Agustus 2016. Ada vegetasi hutan rawa, hutan gambut, hutan hujan tropis, hingga hutan kerangas di sini. Sekitar 60 persen luasannya merupakan gambut.

“Hutan ini tengah dikaji untuk lokasi pelepasliaran. Terlebih ada temuan populasi orangutan di dalamnya,” lanjut Gusti.

Hutan ini diharapkan bisa menjadi sarana pengembangan ilmu pengetahuan secara komperehensif dan kompetitif. Bisa dimanfaatkan untuk pendidikan, pelatihan, hingga penelitian mahasiswa, dosen, atau pemangku kepentingan. “Akan dikembangkan kegiatan ekowisata juga. Madu hutan, tengkawang, dan rotan adalah sumber unggulan lainnya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version