Mongabay.co.id

Mitigasi Bencana, Jangan Lagi Dipandang Sebelah Mata

Citra satelit yang memperlihatkan lumpur pekat di Teluk Palu, Sulteng pada Senin (1/10/2018) karena likuifaksi pasca gempa. Foto : twitter DigitalGlobe/Mongabay Indonesia

 

Runtutan gempa yang terjadi di Indonesia belakangan ini, mulai Lombok, Palu, Donggala, Sigi, juga Situbondo, kian menegaskan betapa pentingnya penanganan bencana sejak dini. Langkah preventif dibutuhkan segera. Mengingat, kebijakan terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) dalam pembangunan selama ini, cenderung absen memasukan risiko bencana.

Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, berpandangan, mitigasi bencana paling baik adalah jangan tinggal di lokasi bencana. Dia mengatakan, sudah semestinya ada rujukan implementasi program mitigasi baik secara nasional maupun daerah. “Untuk kasus Palu, misalnya, kawasan tersebut tepat menempati wilayah di atas Sesar Palu – Poro yang membetang sejauh 60 kilometer,” jelasnya.

Informasi mengenai hal itu, imbuh dia, sebetulnya sudah pernah diungkap melalui hasil penelitian. Sejak tahun 2000-an, para ahli geologi memberikan kesimpulan bahwa Palu tidak layak untuk dikembangkan menjadi sebuah kota.

Heri menjelaskan, pada konteks kebencanaan, potensi, lokasi, hingga risiko bencana- sudah bisa diprediksi berdasarkan hasil penelitian, permodelan dan kajian. Akan tetapi, tidak dengan waktunya. “Kalau kata orang Jepang untuk memprediksi waktu harus ada data,” kata Heri ditemui pada acara Bincang Santai Ala Geodesi di ITB, Bandung, Jawa Barat, baru-baru ini.

Namun, untuk berkiblat pada Jepang mengenai model mitigasi bencana, menurut Heri, perlu waktu 10 tahun. “Indonesia butuh waktu satu dekade untuk bisa menyamai negara matahari terbit itu,” jelasnya.

Baca: Gempa dan Tsunami Palu: Data Seputar Sesar Palu Koro Minim

 

Tanah yang runtuh pasca-gempa di Donggala Kodi, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/9/2018). Foto: Rosmini Rivai/Mongabay Indonesia

 

Hal yang mendasarinya adalah costly atau biaya yang tinggi. Sementara, anggaran mitigasi nasional saat ini terbilang kecil. “Alokasinya hanya satu persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), kalau tidak salah demikian,” ucapnya. Alhasil mitigasi bencana atau upaya mengurangi risiko bencana kurang dilirik dan diabaikan.

“Kendala pertama itu. Belum lagi, perihal data-data penunjang yang tidak memadai. Ini seharusnya jadi perhatian bersama”.

Data yang dimaksud adalah data spasial untuk serangkaian bahan Sistem Informasi Geografis (SIG). Dalam penelitian dan analisis, SIG dapat dimanfaatkan untuk mengetahui daerah rawan bencana. SIG juga dapat membantu menentukan wilayahnya. Selain SIG, data spasial dari teknologi lain yang dibutuhkan adalah Penginderaan Jauh (PJ) dan Global Positioning System (GPS) yang tentunya sangat berguna sebagai acuan mitigasi.

“(Tetapi) hal-hal yang menyangkut kebencanaan ini masih banyak yang belum bisa dicerna. Ditambah permodelan tentang mitigasi bencana acapkali dinilai mahal. Padahal upaya mitigasi lebih murah dari upaya pemulihan,” katanya.

Baca: Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, Ratusan Orang Tewas, Infrastruktur Rusak Parah

 

Citra satelit yang memperlihatkan lumpur pekat di Teluk Palu, Sulteng pada Senin (1/10/2018) karena likuifaksi setelah gempa. Foto: twitter DigitalGlobe

 

Permodelan dan sulitnya aktualisasi

Tiga permodelan itu, kata Heri, dapat mengidentifikasi risiko yang ditimbulkan dalam suatu area yang diikuti oleh identifikasi kerentanan. Kerentanan dan potensi bencana sangat tinggi bisa ditinjau dari beberapa aspek: geologis, klimatologis, geografis, dan sosial demografis.

“Melalui pelbagai model kebencanaan, semua bencana bisa dipredikisi tetapi tidak untuk peramalan waktunya,” tuturnya.

Sementara itu, dari informasi yang dihimpun, Jurnal Scientific Reports mempublikasikan bahwa gempa bumi yang sangat besar tidak hanya berdampak pada gempa lain di sekitarnya, tetapi juga di wilayah lain dalam jarak jauh sekalipun.

Penelitian ini dilakukan ilmuwan di Oregon State University (OSU), Amerika Serikat, yang mengamati data seismik selama 44 tahun. Pada rentan waktu 1973 sampai 2016, mereka menemukan bukti bahwa gempa berkekuatan di atas 6,5 SR dapat mengaktifkan gempa lain berkekuatan 5,0 SR atau lebih besar dalam rentan waktu yang tidak lama.

“Pemahaman tentang mekanisme bagaimana gempa dapat memicu tempat lainnya yang terpisah jauh dalam jarak dan waktu memang masih spekulatif,” kata penulis studi, Robert O’Malley, peneliti di OSU College of Agricultural. “Tapi terlepas dari mekanika yang spesifik, bukti menunjukkan bahwa gempa yang terjadi memicu terjadi di tempat lain, diikuti periode ketenangan dan mengisi daya,” jelasnya sebagaimana dilansir dari EurekAlert.

Sebagian besar peristiwa seismik disebabkan oleh patahan lempeng Bumi yang bergerak. Dan Indonesia berada dalam wilayah perbenturan tiga lempeng kerak Bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng India Australia yang membawa dampak kerawanan Indonesia terhadap berbagai aktivitas seismik yang kuat dan intensif.

Baca: Foto: Begini Kerusakan Dampak Gempa dan Tsunami di Kota Palu

 

Sejarah gempa dan tsunami dari Sesar Palu-Koro. Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

 

Peneliti gempa sekaligus dosen dari Kelompok Keahlian Geodesi ITB, Irwan Meilano berpendapat, bencana yang tergolong luar biasa itu, dari kacama sainstis dapat dimanfaatkan sebagai bahan penelitian lanjutan. Penemuan baru tentang runtutan efek gempa besar ini bisa dibilang langkah penting dalam meningkatkan prediksi gempa dan evaluasi risikonya.

“(Bencana) ini merupakan tragedi luar biasa. Harusnya, menjadi peluang pembelajaran semisal melengkapi data-data. Contoh kasus Lombok, ketika gempa Bumi bermagnitudo 6,7 SR, 6 jam kemudian terjadi gempa bekekuatan 7,7 SR. Adapun prediksi kita gempa susulan bisa lebih kecil ternyata justru lebih besar,” ungkap Irwan.

Lebih lanjut Irwan mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi catatan. Pertama menguji seberapa baik pengetahuan mengahadapi potensi bencana. Kedua, tantangan dalam konteks peringatan dini. Ketiga adalah tantangan terkait kesiapsiagaan menghadapi bencana.

“Ada beberapa hal yang diperbaiki,” ujar dia.

Kini rekonstruksi dan rehabiltasi merupakan langkah selanjutnya pasca-bencana. Akan tetapi, menurut Heri, diperlukan kajian menyeluruh sebagai pertimbangan untuk tahap pemulihan. Pasalnya, dari sisi geologi, merekomendasikan bekas likuifaksi seharunya di relokasi.

Pendekatan rekonstruksi mungkin bisa saja dilakukan, namun hal itu tergantung finansial dari pemerintah. “Rekonstruksi akan lebih memakan biaya, semisal mampukah pemerintah membangun struktur bangunan tahan gempa atau maukah masyarakat mengikuti bangunan yang standar. Alternatif lain adalah relokasi. Tapi ini juga tidak sederhana. Dibutuhkan kebijakan yang komperhensif memikirkan langkah tepat,” ucap Heri.

Baca juga: Dapatkah Satwa Memprediksi Terjadinya Gempa?

 

Peta Indeks Risiko Bencana Gempa Bumi di Indonesia. Sumber: BNPB

 

Sementara itu, peneliti Geodesi Irwan Gumilar mengimbau, konsep pembangunan secara umum semestinya melibatkan unsur kebencanaan dan diimbangi pemahaman. Bahwa, keberhasilan sistem peringatan dini tidak akan berhasil jika hanya yang dibangun sistemnya saja atau teknologi.

“Ada hal mendasar yaitu membangun manusia yang memiliki budaya baik terhadap kewaspadaan bencana. Jadi konsep harus ditambah sedikit saja, konsep kebencanaan harus ada dalam setiap tata ruang di semua tingkatan.”

Sebagai informasi, sebelum bencana yang terjadi dalam waktu berdekatan ini, pemerintah sudah mengkaji program tata ruang berbasis bencana sesuai Peraturan Pemerintah Pemerintah No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Yang patut dinanti adalah konsistensi pemerintah mangaktualisasikan program mitigasi bencana, selain tentunya membuat data primer secara nasional untuk dijadikan satu peta yang dapat diikuti daerah sesuai RTRW.

 

 

Exit mobile version