Mongabay.co.id

Ekowisata, Jawaban Persoalan Deforestasi Papua Barat?

 

Di Pegunungan Arfak, udara terasa dingin. Ketinggiannya mencapai 2.955 meter diatas permukaan laut. Dua danau kembar dataran tinggi tersaji. Namanya Anggi Gigi dan Anggi Gita (sebutan lainnya Anggi Giji dan Anggi Gida). Bagi suku besar Arfak, mereka percaya danau ini memiliki jenis kelamin: Anggi Gigi adalah danau laki-laki dan Anggi Gita danau perempuan.

Sore itu, 9 Oktober 2018, selepas hujan. Mobil Hilux 4×4 melaju di atas jalanan berbatu belum diaspal. Kabut mulai menutupi pandangan saya saat menuju danau kembar yang ditempuh sekitar 4-5 jam dari Manokwari. Mama-mama tampak menutupi tubuh mereka dengan sarung. Mereka berkumpul di depan halaman rumah masing-masing.

Pegunungan Arfak merupakan kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Manokwari pada 25 Oktober 2012. Pegunungan Arfak merupakan titik tertinggi di Provinsi Papua Barat, yang letaknya di sisi barat laut semenanjung kepala burung.

Masyarakat yang mendiami dataran tinggi ini disebut suku besar Arfak. Terdiri empat sub suku, yakni Hatam, Moile, Sough, dan Meyah.

Sebagai kabupaten baru, pemerintah daerah menjadikan alamnya yang sebagian besar hutan sebagai ekowisata. Salah satunya, danau kembar ini yang diharapkan bisa menjadi magnet wisatawan. Namun cerita Danau Anggi bukan hal baru. Dunia penjelajahan alam sudah mengenal Pegunungan Arfak sejak lama.

Baca: Kepungan Konsesi dalam Semangat Konservasi di Tanah Papua

 

Hutan di Papua Barat. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Dalam Buku Ekologi Papua (2007), disebutkan seorang naturalis legendaris asal Inggris, Alfred Russel Wallace, telah mengunjungi daerah Kepala Burung dan Kepulauan Raja Ampat pada 1840-an serta Odoardi Beccari dan Luigi d’Albertis yang mengunjungi Pegunungan Arfak pada 1870-an.

Penemuan danau kembar merupakan prestasi terbaru setelah 1900. Pada April 1904, A. van Oosterzee, pejabat pemerintah di Manokwari dan juga penjelajah dengan penuh semangat mengirimkan tumbuhan hidup ke Bogor yang berasal dari danau-danau ini. Ia adalah orang Eropa pertama yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan di sana.

Tahun 1906-1907, pakar zoologi dari Amerika, Thomas Barbour, mengoleksi amfibi dan reptil di sekitar Danau Anggi dan di Pulau Waigeo. Kemudian pada Desember 1913, peneliti independen L.S.Gibbs, yang juga seorang penjelajah dan ilmuwan wanita pertama yang tertarik dengan ekologi dan vegetasi pegunungan tropis di Nugini, memperoleh lebih dari 330 jenis tumbuhan di Danau Anggi.

Bupati Kabupaten Pegunungan Arfak, Yosias Saroy, mengungkapkan buruknya infrastruktur menjadi kendala pemerintahannya yang sedang mengembangkan program ekowisata. Akibatnya, banyak kampung di wilyah ini masuk kategori terisolir.

“Banyak wisatawan dari luar negeri yang datang ke Pegunungan Arfak karena ingin menikmati keindahan alamnya, satwa endemik, dan budaya masyarakat,” ujarnya.

Baca: Melestarikan Papua Barat, Awali dengan Pengakuan Hak Tanah Adat

 

Jalur menuju Kabupaten Pegunungan Arfak yang terjal. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Ekowisata

Luas Cagar Alam Pegunungan Arfak 68.325 hektar. Namun, pengelolaan kawasan ini ada pada Seksi Konservasi Wilayah III Teluk Bintuni. Dalam buku berjudul The Colours of Biodiversity In West Papua (2018), disebutkan bahwa kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak menjadi tempat koleksi biologi pertama di Papua yang dikembangkan oleh peneliti Eropa: Beccari dan Albertis pada 1824-1827 dan 1872-1875.

Buku yang disusun BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam) Papua Barat itu, menjelaskan kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak merupakan ekosistem yang dihuni hidupan liar dilindungi. Ada berbagai jenis kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera spp), yang menjadi buruan kolektor internasional.

Di dalam kawasan terdapat 110 spesies mamalia dengan 44 spesies yang sudah tercatat, 320 spesies aves yang diantaranya endemik seperti cendrawasih arfak (Astrapia nigra), parotia barat (Parotia sefilata), dan namdur polos (Amblyornis inornatus).

Salah satu pelaku ekowisata di Kabupaten Pegunungan Arfak yang sudah dikenal banyak orang adalah Hans Mandacan. “Potensi ekowisata di Kabupaten Pegunungan Arfak ada tiga, yaitu flora, fauna, dan budaya,” ungkap Hans.

Ekowsiata yang dikembangkan Hans adalah pengamatan burung. Dengan bantuan Dinas Pariwisata setempat, mereka membangun homestay bagi wisatawan dengan minat khusus tersebut.

Selain cendrawasih, burung favorit yang ditawarkan Hans kepada pengunjung namdur polos, atau burung pintar. “Jenis ini membangun sarangnya yang indah di permukaan tanah dengan mengumpulkan dedaunan, rumput kering, dan benda-benda kecil lainn,” ujarnya.

Baca juga: ICBE 2018: Semangat Papua Barat Sebagai Provinsi Konservasi

 

Pemandangan Danau Anggi yang merupakan danau dataran tinggi dan dipercaya memiliki jenis kelamin, di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Hans juga mengenalkan budaya masak Suku Arfak dalam kulit kayu ke wisatawan. Kekayaan kuliner tersebut dipadukan dengan kesenian tradisional, seperti tari ular mengunakan pakaian adat. “Ada juga rumah kaki seribu Ig Kojei yang tak kalah menarik. Ekowisata ini berdampak pada ekonomi masyarakat, ada yang menjadi guide, porter, sewa guesthouse, serta hasil lokal yang dijual.”

Berdasarkan data Hans, sejak 2009 hingga 2018, sudah 1.300 wisatawan mancanegara yang datang ke Pegunungan Arfak. Ia juga berharap Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Pegunungan Arfak serta dinas-dinas terkait, memperhatikan kendala-kendala yand dihadapi.

“Transportasi dan homestay masih kurang,” ucapnya.

“Persoalan terbesar kami adalah akses jalan dan listrik. Kami juga berupaya membangun homestay di setiap kampung,” jelas Bupati Kabupaten Pegunungan Arfak, Yosias Saroy, di rumah dinasnya di Distrik Anggi.

“Potensi kami sangat besar untuk ekowisata. Selain danau kembar, ada hutan konservasi, yaitu Cagar Alam Pegunungan Arfak,” Yosias menegaskan.

 

Orang Asli Papua (OAP), yang senantiasa tersisihkan dari pembangunan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Konservasi Kabupaten Tambrauw

Selain Kabupaten Pegunungan Arfak, tetangganya Kabupaten Tambrauw, yang lebih awal mendaulat diri sebagai Kabupaten Konservasi, juga mengembangkan ekowisata.

Di wilayah ini terdapat 216 kampung di 29 distrik, yang sebagian besar di kawasan hutan. Luas wilayahnya adalah 11.592,182 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 32.454 jiwa. Luas hutan lindung dan konservasinya mencapai 80 persen dari total luas hutan.

Ada lima suku besar di Tambrauw dan beberapa komunitas adat orang asli Papua lainnya. Daerah ini merupakan salah satu pusat biodiversity, habitat aves, mamalia, herpet, insek, dan ekosistem hutan lainnya. Tambrauw juga terkenal sebagai tempat khusus bertelurnya penyu belimbing di wilayah Pasifik Barat.

Bupati Kabupaten Tambrauw, Gabriel Asem, ketika memaparkan materi pada panel diskusi International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE 2018) di Manokwari, menjelaskan proses yang dilakukan sejak 2014.

Ada peraturan daerah tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat, pemetaan indikatif wilayah adat, infrastruktur penunjang pariwisata, juga pemetaan partisipatif areal khusus konservasi.

“Proses lainnya adalah review tata ruang, usulan mempertahankan kawasan lindung dan pembangunan asas keseimbangan serta komitmen No Sawit, No Mining ,” ungkap Gabriel.

 

Hutan dataran rendah yang ada di Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw juga telah membuat target prioritas yang termuat dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2017-2022. Sebut saja penetapan legal hak-hak masyarakat adat yang selanjutnya didorong ke akses ruang pengelolaan lestari. “Perlindungan tumbuhan dan satwa guna mendukung pariwisata Tambrauw sebagai leading sector melalui kerjasama dengan BBKSDA, Balai Gakum, dan TNI-Polri diprioritaskan juga.”

Gabriel juga mengungkapkan tantangan mendorong kabupaten konservasi dan proteksi terhadap hak-hak masyarakat adat. Misalkan revisi RTRW, bagaimana mewujudkan rasionalisasi fungsi hutan menjamin tata layanan masyarakat adat yang hidup di kawasan lindung, tetapi tetap menjaga kearifan lokal.

“Wilayah yang luas, topografi yang berat membutuhkan upaya yang besar untuk pembangunan masyarakat adat,” jelasnya.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KSDAE KLHK), Wiratno, menjelaskan apa yang dilakukan dua daerah tersebut merupakan kebijakan bagus yang harus didukung. Mereka menunjukan, hutan menghasilkan ekonomi nyata yang tidak selalu dari tambang dan kayu.

Di Papua, tempat populer dalam hal perencanaan ekowisata berbasis konservasi adalah Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Menurut Wiratno, Pemerintah melalui KLHK, akan menganggarkan miliaran Rupiah untuk membangun pusat penelitian hiu puas “Whale Shark Center”.

“Pemerintah bekerja sama dengan swasta, NGO, dan masyarakat sebagai pelaku utama. Masyarakat akan mendapatkan manfaat dari kegiatan ini,” ungkapnya saat diskusi ICBE 2018 di Manokwari.

 

Rumah kaki seribu yang dihuni masyarakat adat dari Suku Arfak. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Belajar dari Costa Rica

Kondisi Papua mirip dengan apa Costa Rica yang juga memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Hanya saja, Costa Rica sejak 1980-an telah ditunjuk oleh badan dunia PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai proyek percontohan ekowisata.

Di negara tersebut, ekowisata melibatkan berbagai pihak, yaitu: pemerintah, swasta, masyarakat dan badan lingkungan hidup internasional. Proyek ini kemudian dinilai berhasil dan menjadi contoh bagi pelaksanaan ekowisata di seluruh dunia.

Costa Rica adalah tujuan paling populer di dunia untuk ekowisata hutan hujan karena keanekaragaman hayati yang spektakuler. Aksesnya mudah, keamanan terjamin, serta banyak tempat wisata alam. Pada 2007, hampir 2 juta wisatawan datang dan menghasilkan pendapatan hampir 2 miliar (uang setempat), melebih hasil gabungan perkebunan seperti pisang dan kopi.

Sama halnya dengan Papua, Costa Rica juga menjadi sasaran perluasan perkebunan sawit. Namun, sawit tidak menjadi kegiatan penggunaan lahan yang paling menguntungkan. David Lando Ramirez, pemilik tanah di Sarapiqui, timur laut Costa Rica, adalah contoh sosok yang telah mengubah lahan sawit menjadi pusat bisnis ekowisata.

 

Kanguru pohon, satwa endemik di Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Paviliun alam, semacam homestay, milik David Lando Ramirez menawarkan jalur alam kegiatan konservasi seperti penanaman pohon, dan fasilitas melihat burung, katak panah beracun, dan satwa liar lainnya. Pengunjung dapat melihat berbagai macam spesies burung dalam satu hari perjalanan. Ada 230 jenis burung di lokasi tersebut, hampir seperempat jumlah total di Amerika Serikat.

Keliopas Krey, akademisi Universitas Papua, yang juga Ketua 2 Tim Kerja ICBE 2018, berharap di Papua dibangun museum sejarah alam dan kebun raya demi menunjang konservasi dan menampung koleksi penelitian. Juga, meningkatkan apresiasi keanekaragaman hayati dan budaya Papua demi terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang dikumandangkan Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua.

“Papua memiliki 50 persen keanekaragaman hayati Indonesia,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version