Mongabay.co.id

Ketika Perusahaan Pemasok Tembakau Berkonflik Lahan dengan Warga Lombok (Bagian 2)

Tim gabungan yang di dalamnya KSPN NTB juga ikut turun saat pengecekan batas hutan, hutan produksi di Padak Guar. Hasil pengukuran, titik koordinat dan batas yang disebutkan di dalam izin HTI-CE PT Sadhana Arifnusa melenceng. Foto: KSPN NTB/Mongabay Indonesia

 

Tembakau tak hanya mengancam lingkungan dan hutan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia juga memicu konflik lahan dengan warga sekitar. Salah satu konflik dipicu perusahaan tembakau yang membeli daun kering dari petani, PT Sadhana Arifnusa. Perusahaan berpusat di Surabaya dan memiliki kantor sekaligus gudang di Kecamatan Sikur, aktif mencari bahan bakar untuk para petani mitra mereka.

Konflik berkepanjangan, warga (petani) hidup dalam was-was, mereka ada yang mendekam di penjara. Bahkan, satu petani perempuan tewas ketika terjerat hukum dengan tudingan menjarah kawasan hutan.

 

 

***

Fathin Mahlal, sudah lama mendengar kabar angin kalau dia jadi target penangkapan aparat. Dia adalah Sekretaris Gapoktan Kelompok Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Kecamatan Sambelia.

Posisi itu menyebabkan pria kelahiran 1980 ini dianggap biang kerok dari masalah lahan di kawasan yang membentang dari ujung selatan hinggga utara Kecamatan Sambelia, Desa Senang Galih, Lombok, Nusa Tenggara Barat ini.

Baca juga: Ketika Tembakau Picu Kerusakan Lingkungan di Lombok (Bagian 1)

Tamat sekolah menengah kejuruan (SMK), pernah jadi buruh migran di Malaysia, dan karyawan perusahaan asing, Fathin pun jadi juru bicara para petani di desanya. Sebagian besar petani anggota KPHP hanya menamatkan sampai sekolah dasar. Ada juga tak pernah sekolah formal.

Dalam setiap rapat kelompok petani, Fathin memimpin. Ketua Gapoktan Ainun alias Amaq Herman, lebih sebagai simbol yang dituakan.

Ainun, generasi pertama program transmigrasi lokal ke Sambelia pada 1970-an. Dia masih kecil kala itu.

Beberapa kali petani yang menetap di daerah yang disebut Lendang Tengak, mengingatkan Fathin agar tetap di Lendang Tengak. Dia diminta tak sering pulang ke rumah di desa. Desas-desus sudah santer terdengar soal pencarian dia.

Petani sering menjumpai orang asing, bukan penggarap lahan di Lendang Tengak. Dari penampilan mereka, petani curiga itu aparat.

Malam itu, 11 Maret 2016, Fathin turun dan bermalam di rumahnya. Dia kangen anak dan istri. Badan letih karena mengolah lahan sekaligus memikirkan nasib petani yang mulai mendapat teror sejak 2011. Tahun itu, mereka dapat kabar lahan yang mereka tanami jadi milik perusahaan tembakau.

Beberapa kali ketegangan muncul. Masyarakat terlalu sering melihat aparat keamanan, sampai ada yang membawa senjata lengkap masuk ke ladang mereka. Utusan perusahaan juga kerap wara wiri, para pegawai pemerintah yang ditandai dengan baju PNS juga beberapa kali datang. Bagi petani, itu tanda tak baik.

Baca juga: Mengerikan, Demi Tembakau Anak-anak Ini Terpapar Nikotin dan Racun

Sejak itulah, para petani mengetatkan ronda di ladang mereka. Pertemuan intens sering digelar.

Kala tertidur pulas bersama istri, tiba-tiba pintu rumah Fathin didobrak. Macam ada suatu yang roboh. Sontak suara itu membangunkan Fathin, istri, dan anaknya.

Belum pulih kesadaran Fathin, senter menyorot matanya. Beberapa lelaki bertopeng, sebagian membawa senjata langsung meringkus. Istri dan anak Fathin histeris. Fathin sadar, desas-desus penangkapannya terbukti malam itu.

“Kayak penangkapan teroris,’’ katanya mengenang kembali masa itu.

 

Batas hutan lindung dengan hutan produksi di Sambelia terlihat gundul. Penebangan pohon diduga tak hanya dilakukan masyarakat, juga perusahaan yang berkepentingan menyediakan bahan bakar untuk pengovenan tembakau. Foto: Yazid Sururi/Mongabay Indonesia

 

Malam itu, dia langsung dibawa Polres Selong, sekitar dua jam perjalanan. Tak lama datang orang Dinas Kehutanan. Dia diperiksa penyidik kehutanan dengan tuduhan pembalakan liar kawasan hutan. Pasal-pasal lain juga menjerat Fathin, sebagai provokator, orang yang menjual lahan hutan kepada petani.

Di kampung halaman, berita penangkapan Fathin di tengah malam membuat was-was para petani, terutama yang berladang di Lendang Tengak. Fathin, juru bicara mereka, yang memiliki hubungan dengan para aktivis agraria dan yang bisa baca tulis, tertangkap.

Petani resah. Beberapa pentolan Gapoktan menyusul ditangkap. Para petani yang menggarap ladang di Lendang Tengak seperti anak ayam kehilangan induk.

Baca juga: Kala Petani Temanggung Beralih Tanam dari Tembakau ke Kopi dan Sayur (Bagian 1)

Puncaknya, 12 Mei 2016, aparat gabungan bersenjata lengkap masuk ke Lendang Tengak. Para petani yang menggarap lahan bertahun-tahun itu terusir.

Mereka tak berani melawan.

Pansus DPRD NTB, Dinas Kehutanan NTB yang pernah turun ke lokasi dan memediasi, tak berkutik di bawah kaki perusahaan.

Kesepakatan agar rumah, gubuk warga tak dirusak, juga tergusur alat berat. Pada 30 Juni 2016, ladang tempat seratusan petani bergantung hidup itu rata dengan tanah. Alat berat perusahaan dengan pengawalan aparat bersenjata tak mampu dihalangi petani.

“Kalau dulu Belanda menjajah nenek moyang kita pakai senjata, sekarang penjajah pakai ujung pulpen,’’ kata Fathin menganalogikan aksi perusahaan didukung aparat yang menggusur petani.

Proses persidangan Fathin dan petani lain, seperti Amaq Herman, Hamsu, berlangsung cukup lama. Fathin menghitung hampir tujuh bulan dia mengikuti persidangan.

Baca juga: Tembakau Temanggung, Andalan Daerah Tetapi sebagian Tanam di Hutan Lindung

Sekali sidang, perusahaan dan pemerintah membawa 12 saksi. Tak ada satu pun dikenal Fathin. Fathin, Amaq Herman, Hamsu pasrah.

Mereka harus merasakan lantai dingin penjara kena vonis satu tahun tujuh bulan.

Di tengah kondisi mereka berduka terguncang gempa, rumah rusak, mereka masih wajib lapor. Mereka belum tenang. Mereka kehilangan mata pencaharian, Amaq Herman lebih parah.

Rumah sederhananya, tinggal menungu roboh karena gempa.

 

 

***

Pada 2008, merupakan tahun ketika gejolak petani tembakau berebut bahan bakar minyak tanah subsidi di Lombok. Salah satu distributor minyak tanah subsidi di Jalan Sriwijaya, PT Migas Mitra Tani (MMT) saat itu tak pernah sepi ketika menjelang panen tembakau.

Seratusan petani mendatangi perusahaan, berharap mendapat jatah minyak tanah subdisi. Sudah tak terhitung berapa kali aksi petani, dan aktivis yang mendampingi. Semua bermuara pada pasokan minyak tanah susidi untuk pengovenan tak mencukupi kebutuhan.

Setiap tahun areal tanam tembakau virginia bertambah. Setiap tahun oven bertambah.

Saat genting itu, PT Sadhana Arifnusa, membaca gejolak itu sebagai ancaman bisnis. Pada 16 Februari 2009, Sadhana mengajukan surat permohonan pembangunan hutan tanaman industri cadangan energi (HTI-CE).

Selang dua bulan, turun Surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan Nomor S.95 tertanggal 17 April 2009. Surat itu ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan NTB tentang pertimbangan teknis pembangunan HTI atas nama Sadhana Arifnusa.

Dalam surat tujuh lembar itu tertulis panjang lebar titik-titik pengajuan Sadhana sebagai rencana HTI-CE.

Pada 30 April 2009, keluar surat dari Bupati Lombok Timur, HM Sukiman Azmy yang menyetujui usulan Sadhana. Keluar lagi Surat Dinas Kehutanan tertanggal 27 Mei 2009.

Di dalam surat yang ditujukan kepada Gubernur NTB ini, Dinas Kehutanan membuat telaah rencana HTI-CE Sadhana. Di sana disebutkan ada tiga kabupaten rencana lokasi HTI-CE.

Pertama, Kabupaten Lombok Utara. Tahun 2009, Lombok Utara masih dipimpin penjabat bupati, karena baru saja mekar dari Lombok Barat. Luas lahan diajukan perusahaan 1.407 hektar. Lahan tersebar di Desa Sukadana, Desa Bayan, Desa Loloan, Desa Sambik Elen. Empat desa ini masuk dalam Kecamatan Bayan.

Dalam laporan Dinas Kehutanan NTB, vegetasi hutan ini sonokeling,mahoni, gamelina, dan akasia. Lokasi juga merupakan lahan proyek gerhan 2004 seluas 125 hektar dan 2005 seluas 50 hektar.

Kedua, Kabupaten Lombok Tengah dengan luas lahan 829 hektar. Di Lombok Tengah, Sadhana mengkavling lahan di Desa Pelambik, Desa Montong Sapah, dan Desa Kabul. Ketiganya ada di Kecamatan Praya Barat Daya.

Desa lain, Desa Mangkung dan Desa Pandan Indah, Kecamatan Praya Barat. Dalam surat Dinas Kehutanan NTB itu disebutkan vegetasi yang ada jati, sonokeling, mahoni, gamelina, dan trembesi. Dinas Kehutanan juga memberikan catatan, lahan Sadhana itu sebagian sudah digarap masyarakat sebagai ladang.

Lokasi berikutnya, di Kabupaten Lombok Timur, Kecamatan Sambelia, total lahan 1.794 hektar. Dalam dokumen surat itu HTI-CE meliputi Desa Labuan Pandan, Desa Sambelia, Desa Sugian, Desa Belanting.

Belakangan di zaman Bupati HM Sukiman Azmy, gencar pemekaran desa, hingga desa-desa cakupan HTI-CE itu meliputi juga Desa Senang Galih, Desa Padak Guar, Desa Dara Kunci, Desa Obel-Obel.

Dalam pantauan Dinas Kehutanan NTB, di Sambelia itu, ada tanaman hutan, semak belukar, dan tanaman perkebunan. Pohon yang tumbuh, kesambik, ajan, ketimus, kukin, kedondong hutan, dan asam.

Lahan juga jadi garapan tanaman semusim seperti padi, jagung, tembakau, serikaya. Secara tak langsung Dinas Kehutanan NTB melaporkan bahwa lahan usulan HTI-CE itu sebagian sudah tergarap petani.

Pada 2009, Dinas Kehutanan NTB membuat catatan agar Sadhana tidak melakukan penebangan atau memproduksi kayu yang sudah ada. Perusahaan hanya boleh menebang kayu hasil tanaman HTI-CE.

Tak berselang lama, turun rekomendasi Gubernur NTB tertanggal 9 Juni 2009 tentang IUPHHK-HTI seluas 4.028 hektar, tersebar di Lombok Timur 1.794 hektar, Lombok Tengah 829 hektar, dan Lombok Utara 1.407 hektar.

Petani mengetahui rencana usulan HTI-CE ketika tahun itu banyak petugas Dinas Kehutanan masuk mengukur lahan. Desas-desus di kalangan petani, mereka akan jadi mitra perusahaan. Artinya, masyarakat tetap di ladang, tetapi beberapa kayu untuk kebutuhan bahan bakar harus ditanam petani. Kayu itu akan dibeli perusahaan.

Kayu yang disepakati saat itu adalah turi. Para petani menanam turi. Begitu turi sudah besar, perusahaan tak mau membeli.

Perusahaan beralasan pembelian kayu turi sudah tutup. Pada tahun itu, di setiap oven tembakau petani mulai bertumpuk kayu, untuk menambah minyak tanah.

Kayu turi adalah satu contoh. Tahun itu juga, pemerintah mengkampanyekan menanam turi untuk bahan bakar pengovenan.

Pada April 2011, Sadhana membawa eksavator untuk membuka jalan. Rupanya, sebelum izin turun, Sadhana sudah yakin akan mendapat izin dari Menteri Kehutanan. Saat membuka jalan itu, aparat TNI, Brimob, Polmas, hingga Babhinsa, mengawal.

Saat inilah mulai terjadi ketegangan dengan petani. Benar saja, sebulan berselang, pada Mei 2011, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan izin HTI untuk Sadhana.

“Kalau kita baca izinnya, ini gila, mana ada upaya pelestarian hutan dengan memberikan izin ke perusahaan yang membutuhkan kayu bakar untuk pengovenan. Ini namanya gila,’’ kata Lalu Iswan Muliadi, Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) NTB.

Organisasi ini, salah satu organisasi yang aktif mendampingi petani khusus di Desa Sambelia dan Desa Padak Guar.

Sejak kedatangan perusahaan ke Sambelia, konflik petani dengan petugas, perusahaan terus terjadi. Pada 22 Oktober 2011, eksavator Sadhana, terbakar malam hari. Padahal, ada penjagaan ketat aparat keamanan dan sekuriti perusahaan. Pasca eksavator terbakar beredar isu di masyarakat, aparat keamanan dan perusahaan akan mencari pelaku dari petani.

Petani ketakutan masuk lahan. Saat itu, ada jaminan dari Bupati Lombok Timur HM Sukiman Azmy bahwa masyarakat bisa masuk ke lahan. Barulah masyarakat kembali masuk garapan mereka.

 

Amaq Herman saat ditemui di tenda pengungsian. Setelah harta bendanya habis untuk mengurus perkara atas tuduhan merusak hutan, kini dia kehilangan rumah yang rusak berat akibat gempa. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

***

Perusahaan menawarkan pola kemitraan. Petani tetap garap lahan tetapi menanam tanaman perusahaan. Perusahaan juga menawarkan petani jadi karyawan. Ada juga dengan beri kambing.

Kambing dipelihara petani dari pakan dedaunan lahan HTI. Kayu jadi sebagai bahan bakar pengovenan. Konsep ini tampak ideal sebagai janji perusahaan. Dalam beberapa sosialisasi pemerintah juga mewacanakan serupa.

“Yang mengambil kambing warga yang tak mengelola lahan,’’ kata Amaq Herman, Ketua Gapoktan di Senang Galih.

Amaq Herman alias Ainun sendiri menolak tawaran perusahaan. Bagi dia, hasil mengelola lahan jauh lebih besar dibandingkan tawaran perusahaan.

Bagi dia, tawaran jadi mitra, perusahaan ingin jadikan petani buruh dan ingin mendapat nama di tengah masyarakat. Hanya beberapa petani bersedia ikut.

“Sekarang ada kubu warga pro dan kontra, yang pro perusahaan dapat kambing. Kalau yang menggarap lahan tetap memilih berladang,’’ katanya.

Di ladang, Ainun menanam seperti kacang, padi, dan jagung. Dia juga menanam mete dan serikaya, bibit dari pemerintah. Sekali panen serikaya, dari dua hektar lahan, hasilkan Rp7 juta. Dari panen jambu mete Rp12-Rp14 juta per hektar. Dari jagung, sekitar Rp8 juta.

Sedang kacang, padi, kacang panjang, dan sayur mayur untuk konsumsi pribadi.

Dalam setahun, Ainun bisa mengantongi sekitar Rp50 juta. Tak banyak pengeluaran rumah tangga, lantaran keperluan makan sehari-hari terpenuhi dari lahan yang digarap.

Ainun juga memelihara sapi. Dia pernah punya sembilan sapi.

Dengan penghasilan itu, Herman dan petani di Senang Galih, menolak tawaran perusahaan.

Mereka sadar penolakan itu akan berbuntu panjang. Intimidasi kerap datang.

Istrinya, pernah didatangi enam orang yang menanyakan keberadaan Ainun. Istrinya menjawab Ainun ada di ladang. Orang itu mengancam, jika Ainun tak mau turun bertahan di ladang, istrinya akan diganggu. Ainun tak menghiraukan ancaman itu.

Lalu terjadi penangkapan Fathin. Ainun pun akhirnya ditangkap.

“Suatu saat kami akan balik ke ladang,’’ katanya.

 

Peta Sambelia, warna coklat merupakan hutan produksi. Titik koordinat yang tercantum di peta ini berbeda dengan titik koordinat di dalam izin HTI-CE PT Sadhana Arifnusa.

 

***

Sebelum Soeharto tumbang, Aiunun mengingat pernah menanam di kawasan hutan yang tak jauh dari tempat dia tinggal. Dia tanam sonokeling.

Dalam penanam itu terlibat kepolisian, Dinas Kehutanan, dan ABRI (TNI). Banyak petani ikut gotong royong menanam pepohonan itu. Pohon itu sebagian sebagian dan cukup rimbun.

Di area itu, petani tak pernah masuk. Setahun setelah Soeharto tumbang, kantor cabang Kehutanan di Sambelia, meminta petani menanam jambu mete.

Tanaman buah ini jadi program pemerintah pusat. Selain di Sambelia, juga dominan di Sajang dan Bilok Petung (Kecamatan Sembalun), Lombok Timur. Mete juga banyak di Sambik Elen, Loloan, Sambik Bangkol, Kabupaten Lombok Utara.

Sisa-sisa kejayaan mete masih ada hingga kini di beberapa desa bertanah kering. Ainun dan para petani di Desa Senang Galih–dulu masih berinduk di Desa Sambelia–tanam mete di ladang garapan mereka.

Selama menunggu mete besar, petani tanam padi, kacang panjang, maupun kacang tanah.

Sebelum terusir perusahaan, Ainun berulang kali panen mete.

Pemerintah juga menyosialisasikan program gerhan (rehabilitas hutan dan lahan), bibit dari pemerintah dengan pohon buah-buahan seperti serikaya, nangka, mangga, jati, gamelina, mahoni dan imbe.

Kala itu, petugas Dinas Kehutanan datang memantau dan memberikan penjelasan kepada petani kalau mereka bisa menggarap lahan, tak boleh menebang pohon, tetapi bisa mengambil buah-buahan.

Selain itu, petani juga boleh tanam tanaman semusim seperti kacang panjang, dan sayur mayur, tanpa menebang pohon.

“Langsung orang kehutanan yang berikan kita bibit,’’ kata Ainun seraya bilang proyek gerhan sebagian besar tak tumbuh.

Pada 2007, Pemerintah Lombok Timur meresmikan Kelompok Pengelola Hutan Produksi Lendang Tengak, Sambelia dengan status hutan produksi.

Para petani direkrut mengelola dengan delapan blok lahan garapan. Tahun itu pula kembali turun proyek gerhan, dan pelaksana CV Mayalia. Petani kembali diminta menanam, dan sebagai jaminan keberlanjutan hidup mereka dari lahan, pemerintah memberikan bantuan bibit padi, jagung, dan kacang.

Melihat peluang itu, Ainun juga mendaftarkan putranya mengelola lahan.

Setelah konflik mulai terjadi 2011, tiba-tiba banyak yang berbalik arah memusuhi petani.

Orang-orang Dinas Kehutanan yang dulu meminta petani menanam pohon, petugas memberikan bantuan bibit, aparat pemerintah datang memantau hasil pertanian warga tiba-tiba jadi musuh. Ainun tidak mengerti. Orang-orang yang dulu baik, kini berbalik memusuhi petani.

 

Tumpukan kayu sudah dipotong dan siap dijual ke petani tembakau di lahan konsesi HTI-CE PT Sadhana Arifnusa. STN menuding perusahaan juga menebang pohon hasil proyek reboisasi dan gerhan yang ditanam petani dan pemerintah. Foto: STN Lotim/Mongabay Indonesia

 

Ainun tak hanya kehilangan lahan garapan, juga harta benda. Semua sapi dijual, ketika proses hukum. Dulu ada pengacara yang mendampingi untuk biaya jual dua sapi.

Sapi lain untuk biaya hidup keluarga.

Praktis setelah ladang tergusur, dia tak memiliki lagi penghasilan. Sapi, satu-satunya harta berharga, satu persatu hilang.

Kuswanto Setia Budi, Station Manager PT Sadhana Arifnusa menjelaskan soal konflik lahan di Sambelia, termasuk kebijakan penyediaan bahan bakar kayu untuk pengovenan.

Dia bilang, lahan konsesi Sadhana sudah ditanami, baik di Lombok Tengah maupun Lombok Timur. Di Desa Sambelia, Lombok Timur, dalam proses. ” Empat desa yang lain oke.”

Di Lombok Tengah, lebih maju. Pohon tanaman perusahaan sudah panen. Perusahaan mengakui, ada persoalan dengan petani. Beberapa petani belum bisa kompromi dengan skema perusahaan.

Saat ini, katanya, perusahaan berproses menyelesaikan konflik dengan petani.

Lahan di Lombok Utara, katanya, sampai kini masih menunggu petunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kemungkinan kemitraan penuh dengan tanaman perkebunan.

Di Sambelia, para petani menolak kemitraan perusahaan . Menurut mereka, kemitraan itu merugikan.

Para petani memilih mempertahankan lahan garapan. Walaupun belakang petani berhadapan dengan hukum. Dia yakin akan ada jalan keluar atas konflik dengan warga.

Di Sambelia, katanya, perusahaan melakukan pembersihan dengan clear cutting. Lahan kritis dalam proses penanaman. “Semua masih baru hingga proses belajar.”

Dia mengatakan, kala perusahaan masuk kondisi kawasan juga kritis, warga masuk. Dia klaim, ada perusahaan justru bagian menghutankan kembali lahan gundul.

Bagaimana dengan kebijakan perusahaan menyediakan bahan bakar kayu bagi petani tembakau mitra?

Kuswanto bilang, sejak semula perusahaan menegaskan hutan sebagai penyangga. Tanaman utama adalah turi. Ia ditanam di lahan warga masing-masing, baik di pematang sawah, ladang dan kebun.

Dalam tiga tahun, turi bisa panen dan jadi bahan bakar kayu mandiri, tanpa perlu mencari keluar.

Dia bilang, meyakinkan petani menanam dan memanfaatkan turi tak mudah. Petani berasumsi, kayu yang baik untuk pembakaran seperti kayu asam. Akhirnya, petani berburu kayu, selain turi.

“Inilah yang memicu maraknya penebangan pohon keras. Bahkan petani mitra perusahaan pun sulit diyakinkan dengan bahan bakar turi, kualitas pengovenan bagus.”

 

Para buruh perempuan sedang menyortir tembakau yang sudah dikeringkan melalui proses pengovenan. Pengovenan inilah yang memerlukan bahan bakar–andalan kayu—cukup banyak hingga menyasar hutan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Pemerintah lemah?

Ahmad Rifai, Ketua Serikat Tani Nasional (STN) mengatakan, negara justru jadi alat perusahaan menekan petani. Sejak awal perusahaan masuk membuka jalan dan membersihkan lahan, aparat bersenjata selalu menyertai.

Dia menyayangkan, pemerintah tak berkutik di bawah ketiak perusahaan. Pemerintah justru seperti “karyawan” perusahaan yang sewaktu-waktu bisa dipakai menekan petani.

Bukti ketidakberdayaan pemerintah berhadapan dengan perusahaan ketika perusakan rumah warga di ladang Lendang Tengak.

Sebelumnya, ada Pansus DPRD NTB. Hadir Kepala Dinas Kehutanan, hasil rekomendasi menunggu keputusan Pansus NTB. Tak lama berselang setelah pansus turun ke lapangan, perusahaan menggusur semua rumah warga. Perusahaan juga merusak tanaman warga.

“Pascaperusakan rumah warga dan tanaman mereka dirusak perusahaan, banyak petani jatuh miskin,’’ kata Rifai.

 

 

Petani yang tanam, perusahaan panen?

Iswan Muliadi, Ketua KSPN NTB memberikan bukti tambahan. Dia duga kuat, tebangan tanaman keras petani dijual perusahaan ke petani tembakau mitra mereka.

Iswan menunjukkan foto-foto tumpukan kayu di lahan Sadhana. Kayu itu ditumpuk di pinggir jalan, di lahan konsesi. Pada foto lain, Iswan menunjukkan bekas penebangan diduga dilakukan perusahaan.

Iswan juga menunjukkan foto kondisi lahan gundul dan tandus, dulu rimbun oleh mete dan serikaya. Kini gundul, dan perusahaan hanya menanam di beberapa titik.

“Petani yang menanam, perusahaan yang panen,’’ kata Iswan.

Yazid Sururi, alumnus James Cook University, Australia riset di Sambelia. Mahasiswa jurusan Tropical Environmental dan Sustainability Science ini meneliti perubahaan tutupan lahan di Sambelia.

Dia riset di hutan lindung, termasuk HTI yang jadi lahan konsesi Sadhana. Selain data satelit, Yazid memetakan kondisi lahan dengan bantuan drone. Dari foto drone, terlihat lahan konsesi HTI gundul.

“Jangan sampai nanti ketika banjir lagi di Sambelia, yang disalahkan petani HKm yang menggunduli. Padahal, lahan HTI sudah gundul,’’ katanya.

Konflik lahan tak hanya terhadi di Senang Galih juga di Desa Padak Guar. Pada 2017, 36 petani ditangkap, tujuh lanjut proses hukum dan dua perempuan: Baiq Aisyah dan Inaq Rohani.

Inaq Rohani meninggal dalam proses hukum. Sayangnya, kematian petani yang melawan perusahaan itu hilang begitu saja.

Tak ingin hal buruk seperti Padak Guar dan Senang Galih terjadi pada petani lain, KSPN NTB yang mendampingi petani termasuk di Desa Sambelia, mencari cara.

Mereka meminta ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB agar warga dapat hak kelola lahan. Hasilnya, pada 25 Januari 2018, masyarakat mendapat hak pengelolaan lahan 266 hektar.

Rinciannya, 200 hektar masuk KPH Rinjani Timur, dan 66 hektar lahan Sadhana.

Iswan menyadari, pemberian hak kelola lahan bagi petani di Desa Sambelia ini kemenangan kecil. Masih banyak petani di desa lain belum jelas. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:

Tim gabungan yang di dalamnya KSPN NTB juga ikut turun saat pengecekan batas hutan, hutan produksi di Padak Guar. Hasil pengukuran, titik koordinat dan batas yang disebutkan di dalam izin HTI-CE PT Sadhana Arifnusa melenceng. Foto: KSPN NTB/Mongabay Indonesia

 

Para petani di Padak Guar melakukan aksi unjuk rasa menolak kehadiran PT Sadhana Arifnusa. Petani menuding perusahaan adalah perusak hutan yang sebenarnya. Foto: KSPN NTB/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version