Mongabay.co.id

Mengapa Kedaulatan Pangan Nelayan Masih Sulit Terwujud?

Ikan merupakan sumber pendapatan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Kampanye kedaulatan pangan yang digaungkan Pemerintah terus menerus dilakukan sepanjang tahun sejak lama. Berbagai upaya terus dilakukan agar tujuan itu bisa tercepat dengan segera dan memakmurkan masyarakat. Namun, hingga saat ini kedaulatan pangan masih belum juga terwujud dan itu dirasakan oleh nelayan di seluruh Nusantara.

Di antara masyarakat yang merasakan sulitnya untuk mewujudkan kedaulatan pangan itu, salah satunya adalah nelayan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Para nelayan, dinilai masih kesulitan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, bahkan hanya sekedar di atas meja makan di tempat tinggal masing-masing.

Demikian analisa Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, pekan ini. Menurut dia, nasib nelayan yang hingga saat ini masih belum bisa mewujudkan kedaulatan pangan, berkaitan erat dengan kesejahteraan mereka. Hal itu, bisa dilihat di sejumlah daerah yang masih rendah tingkat kesejahteraan nelayan.

“Kasus utama bisa jadi contoh di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Di sana, kedaulatan pangan belum terwujud, selain karena kesejahteraan nelayan, juga akibat kebijakan politik yang kerap tidak sejalan, bahkan kontra produktif dengan realitas di lapangan,” ungkapnya.

baca :  Empat Tahun Kepemimpinan Joko Widodo, Bagaimana Capaian Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Nelayan dengan kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT akan  membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Susan mengatakan, dari catatan KIARA, kebijakan politik agraria dan kedaulatan pangan masyarakat pesisir memang menjadi tantangan besar bagi Negara dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan itu, terutama berkaitan dengan kebijakan politik nasional dan pertumbuhan ekonomi yang mendapat dukungan penuh dari tingkat konsumsi, namun tidak mendukung konsumen.

Berdasarkan fakta tersebut, Susan kemudian menyebutkan bahwa saat ini ada banyak catatan yang harus dihadapi masyarakat jika ingin mewujudkan kedaulatan pangan di masyarakat pesisir. Catatan-catatan itu, adalah permasalahan yang sering dihadapi masyarakat dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan di lingkup terkecil, seperti meja makan.

 

Kesejahteraan Nelayan

Catatan lainnya, menurut Susan, adalah pembangunan dan penataan ruang yang merugikan nelayan dan penjual ikan. Permasalahan itu biasanya muncul dan mengakibatkan nelayan tidak bisa mewujudkan kedaulatan pangan di lingkup terkecil. Nelayan yang bernasib seperti itu, contohnya ada di Kelurahan Pasir Panjang Kota Kupang, NTT.

“Mereka harus tergusur akibat dari pembangunan Pasar Ikan Felaleo,” jelasnya.

Selain contoh di atas, KIARA juga menemukan fakta bahwa mayoritas nelayan di kota dan kabupaten Kupang hingga saat ini belum memiliki indentitas kartu nelayan. Padahal, kartu nelayan diketahui memiliki fungsi kuat untuk melindungi dan memberdayakan nelayan.

Di Kota Kupang sendiri, kata Susan, saat ini tercatat ada 5.220 orang yang berprofesi sebagai nelayan. Tetapi, dari jumlah tersebut, yang memiliki kartu nelayan diketahui 1.396 nelayan atau baru mencapai 26,7 persen. Sementara, di Kabupaten Kupang, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, tercatat ada 5.0192 orang yang berprofesi sebagai nelayan.

“Tetapi, baru 1.187 nelayan saja yang sudah memiliki kartu nelayan atau baru mencapai 23 persen saja,” tuturnya.

baca :  Penyaluran Asuransi Nelayan Berjalan Lambat, Kenapa Bisa Terjadi?

 

Nelayan di Kusamba, Klungkung, Bali menunjukkan Kartu Nelayan dan kartu peserta Asuransi Nelayan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, masih rendahnya nelayan yang memiliki kartu nelayan, bisa terjadi karena sosialisasi tentang program tersebut masih sangat rendah. Kondisi itu mengakibatkan pengetahuan nelayan tentang fungsi kartu nelayan juga menjadi rendah dan kemudian mengakibatkan kepedulian nelayan menjadi turun untuk mengajukan pembuatan kartu nelayan.

Padahal, Susan menambahkan, tanpa memiliki kartu nelayan, mereka tidak akan memiliki akses terhadap perlindungan berupa kartu asuransi sesuai mandat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Pada akhirnya, Susan menerangkan, KIARA ingin mengatakan bahwa proyeksi politik Pemerintah terkait mimpi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, dan upaya yang melingkupi pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, belum memiliki pondasi yang kokoh. Tujuan itu dinilai hanya akan menjadi agenda tambal sulam yang tidak memiliki peluang berkelanjutan, dan rentan menjadi sloganistik belaka.

“Pada akhirnya juga tidak memberi dampak signifikan pada penghapusan kemiskinan khususnya pada masyarakat pesisir, yaitu nelayan, baik laki-laki dan perempuan,” pungkasnya.

Salah satu indikator kenaikan kesejahteraan nelayan di Indonesia, hingga saat ini masih merujuk pada data nilai tukar nelayan (NTN) yang secara resmi dirilis oleh BPS. Pada semester 1 2018, NTN disebut mengalami kenaikan sampai 2,26 persen dibandingkan periode yang sama pada 2017. Kenaikan itu, ditegaskan dengan angka 113,32 dari sebelumnya di angka 111,01 saja.

Akan tetapi, menurut Susan, kenaikan itu tidak bisa dijadikan klaim bahwa kesejahteraan nelayan juga sudah mengalami kenaikan. Pasalnya, kenaikan NTN masa sekarang dan beberapa tahun lalu, terutama sebelum kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, dengan masa sekarang sangat jauh berbeda.

“Meski diakui ada pengaruh keberhasilan mengusir para pelaku IUUF (illegal, unreported, and unregulated fishing) dari Indonesia, namun yang paling utama adalah juga karena kemauan dari nelayan untuk memperbaiki nasibnya,” tegasnya.

 

Tolok Ukur

Susan mengungkapkan , kenaikan NTN sebenarnya tidak murni karena keberhasilan nelayan, melainkan ada campur tangan Pemerintah. Dalam hal ini, program subsidi yang diberikan Pemerintah kepada nelayan secara langsung, memberikan dampak signifikan untuk kenaikan NTN. Tanpa subsidi, dia yakin nelayan akan mengalami nasib yang sama.

“Iya, nelayan belum bisa mandiri. Mereka terbantu, karena memang ada program subsidi yang dijalankan Pemerintah. Itu membantu sekali, tetapi tidak bisa selamanya begitu,” katanya.

Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, NTN memang terus naik. Dia melihat, kenaikan itu merupakan dampak dari kebijakan moratorium kapal asing, dihentikannya alih muat (transshipment), dan salah satunya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015.

Akan tetapi, Susan melanjutkan, seperti disebutkan di atas, walau mengalami kenaikan NTN, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah. Di antara PR yang harus diselesaikan itu, adalah menuntaskan proses transisi alat tangkap, dan juga harus bisa menjamin fasilitas negara yang sudah diberikan kepada nelayan, bisa dimanfaatkan dengan benar.

“Saya baru dari Lombok (NTB), di sana banyak juga kapal bantuan mangkrak,” ungkapnya.

Dengan kondisi demikian, Susan berani menyebut bahwa kenaikan NTN tidak berbanding lurus dengan kenaikan kesejahteraan nelayan. Faktanya, hingga saat ini masih ada 10.666 desa pesisir miskin yang menyebar luas di seluruh provinsi. Kenaikan NTN, bagi dia, menjadi momen bagus, tetapi tidak bisa dinilai sebagai keberhasilan yang utuh.

Agar kenaikan NTN bisa berlanjut ke tahap kenaikan kesejahteraan, Susan meminta Pemerintah Indonesia untuk fokus memberikan pendampingan untuk menumbuhkan jiwa kemandirian pada masing-masing nelayan. Dengan kemandirian, dia yakin nelayan bisa tumbuh sendiri tanpa harus dibantu dengan subsidi dari Negara.

“Secara makro memang bisa diukur dari NTN. Kesejahteraan umumnya membaik memang, inflasi juga rendah. Tapi itu karena subsidi Pemerintah besar untuk rakyat,” tegasnya.

baca :  Kenaikan Nilai Tukar Nelayan Sejahterakan Nelayan Indonesia?

 

Sumber : Laporan Kinerja 4 Tahun Pemerintah Jokowi -Jk Sektor Kelautan dan Perikanan 2018

 

Ketua Departemen Advokasi dan Riset KNTI Henri Pratama mengatakan, nasib nelayan kecil hingga saat ini semakin terpuruk karena ada campur tangan dari para pelaku usaha. Di mana, para pemilik kepentingan berusaha keras untuk membuat semua pelaku perikanan skala kecil terjebak dalam ikatan dengan pihak swasta.

“Hal itu, bisa dilihat dari pengaturan kuota jumlah tangkapan ikan yang menjadi hak dari individu atau swasta dan bisa dipindahtangankan,” jelasnya.

***

Keterangan foto utama : Ikan merupakan sumber pendapatan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version