Mongabay.co.id

Mitigasi Bencana di Sesar Lembang Harus Ada

 

Sirine tiba-tiba berbunyi, saat Hafisah (15), siswa kelas IX, SMP Juara, Panyileukan, Kota Bandung, Jawa Barat, berada di kelas, Rabu (17/10/2018). Saat itu jam menunjukkan pukul 10.20 pagi yang berarti belum saatnya istirahat. Tanpa aba-aba, temannya bernama M. Adjie, berlari ke luar kelas dan berteriak. “Barusan terjadi gempa. Kalian semua tenang dan patuhi perintah saya. Semua menunduk di bawah meja. Sekarang,” ucapnya.

Hafisah mengikuti apa yang diperintah Adjie. “Dengarkan saya, jangan panik. Lindungi kepala kalian dengan barang apapun yang ada di sekeliling,” kata Adjie meyakinkan.

Sirine makin keras, suasana tak terkendali. “Tetap tenang, jangan panik. Usahakan fokus,” kata Ajie kembali. Hafsiah dan teman-temannya pun berjalan tertib menuju lapangan sekolah, tempat titik kumpul evakuasi.

Suasana berubah, yang tadinya mencekam, kini kembali ceria. Riuh tepuk tangan diiringi gelak tawa menggema. “Bagus! Kalian berhasil melakukan simulasi mitigasi bencana. Ini baru awal tetapi kalian tanggap mencerna pembelajaran yang mungkin jarang dilakukan ini,” kata Djoko Ardi, Ketua Relawan Indonesia Peduli Kemanusiana yang diminta memberikan pemahaman mitigasi bencana.

Baca: Mitigasi Bencana, Jangan Lagi Dipandang Sebelah Mata

 

Sejumlah anak melakukan simulasi mitigasi bencana gempa bumi di SMP Juara Kota Bandung, belum lama ini. Hal ini sebagai upaya meminimalisir risiko bencana. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, mitigasi bencana harus diterapkan sejak bangku sekolah. Mitigasi adalah kebutuhan bagi siapa saja yang tinggal di wilayah bencana. Namun, seringkali dianggap bukan sesuatu yang penting.

“Sudah saatnya kita tidak abai terhadap potensi bencana. Berkaca dari runtutan bencana alam di Lombok dan sekitar Palu, seyogyanya jadi pelajaran bijak. Kita hidup di negara yang rawan bencana. Begitu juga di wilayah Jawa Barat, segala macam bencana ada,” jelas Djoko yang pernah belajar mitigasi di Yokohama, Jepang.

Wakil Kepala Sekolah SMP Juara, Nunung Nurohmah mengaku gusar dengan bencana yang terjadi beberapa waktu lalu. Untuk itu, pihaknya menganggap perlu ada pembelajaran atau setidaknya pemahaman terkait potensi bencana.

“Ini baru pertama kali dilakukan di sekolah. Kami berpandangan, murid harus mengetahui tentang kebencanaan di luar pendidikan formal,” papar dia. Langkah ini diharapkan mendidik murid agar bisa menyebarluaskan ilmu yang mereka dapatkan kepada orang tua dan lingkungan terdekat mereka.

 

 

Siswa kelas IX, SMP Juara, Panyileukan, Kota Bandung, Jawa Barat, melakukan simulasi gempa bumi. Keberadaan Sesar Lembang harus diwaspadai. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Bayang-bayang gempa

Masyarakat di Cekungan Bandung patut waspada. Kejadian gempa bumi di Palu bisa menjadi bahan refeksi. Pasalnya, kedua kota ini miliki kesamaan. Sama-sama berada di atas sesar. Artinya, kemungkinan potensi bencana yang sama juga bisa terjadi. Sebab, kehadiran sesar di sebuah kawasan bisa berpotensi gempa.

Pemahaman masyarakat tentang Sesar Lembang kini lebih baik ketimbang tujuh tahun lalu. Berjarak 20 kilometer ke utara, Yayat Darajat (57), warga desa Mekarwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, kini menyadari hal itu. Perasaan waswas acapkali menggelayut di pikirannya. Dia kerap memejamkan mata, tatkala diminta mengingat kapan terakhir merasakan gempa.

“Pernah merasakan lini (gempa). Seingat saya getarannya tidak terlalu besar. Dulu tidak khawatir karena di sini banyak huma (perkebunan). Sekarang agak risau, banyak permukiman, hotel dan kawasan rekreasi,” imbuhnya.

Sesar Lembang melintang sepanjang 29 kilometer. Titik awal sesar berada di sebelah barat memanjang ke timur. Dari ujung barat di sekitar Lembang, hingga berakhir di timur Cilengkrang (Kabupaten Bandung). Membelah kawasan Bandung utara dan selatan.

 

Mitigasi bencana harus diterapkan sejak bangku sekolah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Tirto, Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pernah menerbitkan laporan tentang kekuatan gempa yang bergerak di kawasan Bandung Utara yaitu 3,3 skala Richter pada 2011. Berdasarkan skala Mercalli, getaran gempa ini masih tergolong II – III. Ini menandakan bahwa gempa masih tergolong ringan dan sebatas dirasakan beberapa orang saja.

2017, BMKG pun merilis hasil kajian dan menunjukkan laju pergeseran sesar Lembang sekitar 3,0- 5,5 mm/tahun. Angka ini bertambah dari prediksi tahun 2011 yang menyebut laju pergeserannya sekitar 2,0 – 4,0 mm/tahun. Sebagai catatan, pergerakan sesar dipengaruhi oleh aktivitas tektonik.

Sejauh ini, riset belum sampai pada kajian karakteristik sesar, apakah bisa bergerak serentak sepanjang 29 kilometer atau per bagian. Karena memang belum ada catatan gempa bumi besar yang berpusat di sepanjang Sesar Lembang. Terbaru, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengidentifikasi potensi gempa dapat berkekuatan 6,5-7 Magnitudo.

Masih dikutip dari Tirto, dari hasil riset dan pemetaan melalui citra profil morfologi dengan resolusi tinggi lewat penggunaan LIDAR (Light Detection and Ranging) dan menurut hitung-hitungan formula ahli paleoseismologi, diperolehlah data empiris soal potensi energi seismik yang dihasilkan saat sesar Lembang aktif. Paleoseismologi adalah studi batuan kuno dan sedimen untuk bukti peristiwa seismik, seperti gempa bumi dan tsunami, dari zaman sebelum catatan disimpan.

 

Seorang warga mengamati peta rawan bencana yang di keluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Gelogi, Kota Bandung. PVMBG sudah memberikan peta rujukan bencana ke kabupaten/kota sebagai rujukan terhadap tata ruang berbasis bencana. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Selain ancaman gempa besar dari pergerakan Sesar Lembang, muncul pertanyaan apakah akan terjadi likuifaksi? Dosen Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas berpendapat bahwa gempa di Sesar Lembang seharunya tidak memicu likuifaksi [pembuburan tanah].

“Mungkin terjadi amplifikasi (penguatan gelombang gempa) iya, tetapi likuifaksi tidak,” jelas Heri. Menurutnya, berdasarkan Bandung Plan, karakteristik tanah di Cekungan Bandung didominasi lapisan tanah lengkung. Kondisi ini bisa menambah kekuatan guncangan gempa.

 

Peta Indeks Risiko Bencana Gempa Bumi di Indonesia. Sumber: BNPB

 

Dia memaparkan, harus ada skenario bencana yang sudah dibuat melalui permodelan kebencanaan. Dari sana, bisa diketahui data mengenai risiko bencana hingga lokasi gempa. Tetapi tidak untuk peramalan waktunya.

Langkah ini dinilai penting guna mendukung konsistensi pemerintah dalam memitigasi bencana. “Bila terjadi gempa di salah satu sesar aktif, ini akan merembet dan memicu gempa di wilayah lain,” ujar Heri.

Sementara Yayat, mengaku tak paham perihal tindakan antisipasi yang harus dilakukan seandainya gempa terjadi. “Harus seperti apa, saya kurang tahu juga,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version