Mongabay.co.id

Aliansi Global “Break Free From Plastic” Merilis Audit Merek Sampah

Puluhan relawan membuat human banner bertuliskan Break Free From Plastic di Pantai Sanur, Denpasar, Bali pada Minggu (28/10/2018) sehari sebelum dimulai Our Ocean Conference di Nusa Dua.

Sebelumnya mereka melakukan pembersihan pantai bersama relawan murid sekolah dan aktivis-aktivis lingkungan global yang sedang berkumpul di Bali untuk mengikuti konferensi internasional yang salah satu fokusnya untuk mengurangi pencemaran di laut, terutama sampah plastik.

Usai pembuatan kampanye dengan drone ini, aliansi Break Free From Plastic (BFFP) yang terdiri dari lebih dari 1300 anggota jaringan ini mendiskusikan hasil audit merek (brand audit) dari sampah laut yang dikumpulkan tahun ini di 42 negara, 6 benua dari 239 kegiatan bersih-bersih pesisir laut dan darat. Lebih dari 187 ribu unit sampah plastik ini dipilah-pilah sesuai merek-nya.

Nasib sampah plastik kemasan di sekitar kita saat ini adalah dibakar, menggunung di TPA, atau berada di permukaan laut sampai melapuk. Bagaimana mendorong produsen untuk turut bertanggungjawab menanganinya?

baca :  Ternyata Sampah Plastik Laut Berasal dari Industri Pesisir Pantai. Benarkah?

 

Relawan dan aktivis koalisi koalisi Break Free From Plastics membawa banner bertuliskan Cleanup Your Act! ” dengan sebelas merek Fast Moving Consumer Goods (FMCG) terbesar di pantai Werdhapura, Sanur, Bali, Minggu (28/10/2018). Mereka mendesak perusahaan-perusahaan FMCG untuk berhenti memproduksi kemasan plastik sekali pakai. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jane Patton, koordinator audit merek gerakan dan alinasi #breakfreefromplastic ini memaparkan laporan hasil audit.

Sejumlah merk terbanyak yang ditemukan adalah Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Danone, Mondelez International, Procter & Gamble, Unilever, Perfetti van Melle, Mars Incorporated, dan Colgate-Palmolive. Tiga teratas (Coca-Cola, PepsiCo, dan Nestlé) menyumbang 14% dari sampah plastik bermerek ditemukan di seluruh dunia.

Coca-Cola ditemukan di 40 dari 42 negara yang berpartisipasi. Lebih dari 75% dari semua 239 pembersihan yang berpartisipasi melaporkan menemukan produk bermerek Coca-Cola di sepanjang pantai mereka, jalan, dan lainnya.

Laporan ini mengutip produksi plastik global telah mencapai 320 juta metrik ton per tahun, jutaan ton polusi plastik masuk dan menyumbat sungai, lautan, dan tempat pembuangan sampah. Diperkirakan 8,3 miliar metrik ton plastik telah diproduksi secara total sejak tahun 1950-an, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa hanya 9% yang memilikinya telah benar-benar didaur ulang, 12% telah dibakar, dan sisanya sekitar 80% sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah, di lautan, atau sekitar kita.

baca juga :  Mengapa Indonesia Masuk Salah Satu Daftar Pembuang Sampah Plastik Terbanyak ke Laut?

 

Foto drone menunjukkan relawan dan aktivis koalisi koalisi Break Free From Plastics membawa banner bertuliskan Cleanup Your Act! ” dengan sebelas merek Fast Moving Consumer Goods (FMCG) terbesar di pantai Werdhapura, Sanur, Bali, Minggu (28/10/2018). Mereka mendesak perusahaan-perusahaan FMCG untuk berhenti memproduksi kemasan plastik sekali pakai. Foto : Mokhammad Ikhsan Fariz/Greenpeace/Mongabay Indonesia

Pada 2018, anggota BFFP di seluruh dunia menyebarkan metodologi yang diperbarui untuk mengelompokkan sampah. Sebelum komunitas dan lembaga mengajak warga melakukan pembersihan di negaranya, mereka dilatih menggunakan formulir perangkat audit yang juga bisa diunduh di website BFFP.

Perangkat audit ini menunjukkan area pembersihan, jumlah semua sampah yang ditemukan di daerah, menghitung, merekam merek, produsen induk, jenis produk (makanan, perawatan pribadi, atau produk rumah tangga). Juga jenis kemasan (HDPE, PET, PVC, PP, PS, plastik multi-layer, plastik single-layer, dan lainnya) dari setiap bagian sampah dikumpulkan. Disediakan panduan visual untuk membantu sukarelawan mengenali jenis produk dan kemasannya.

Selain merek-merek yang paling banyak ditemukan, banyak kemasan tanpa merek. Menurut Jane laporan ini memberi indikasi merek yang paling umum ditemukan di pembersihan. Tantangannya, banyak sekali merek berbeda walau perusahaan induknya sama. Walau tidak menunjukkan sampel yang representatif dari seluruh sampah atau kemasan plastik yang diproduksi di dunia ini menurutnya produsen harus menunjukkan tanggungjawabnya.

Von Hernandez, Koordinator Global #breakfreefromplastic heran belum ada perusahaan yang menerapkan sistem pengurangan plastik sekali pakai dan bertanggungjawab secara serius pada sampahnya sampai mencemari laut. “Kami akan tetap malakukan gerakan ini agar para perusahaan punya keberanian untuk bertanggungjawab dan kita bisa menunjukkan buktinya,” seru pria dari Philipina ini. Ia memastikan perusahaan punya sumberdaya untuk melakukannya jika mau.

Gerakan ini sudah dimulai 2015 dengan mencatat, mengelompokkan, dan menganalisis jenis sampah serta bagaimana rantai pasokan penggunaan plastik oleh perusahaan yang merk-nya banyak dibuang sembarangan. Salah satu survei tahun ini dilakukan di Bali.

baca :  Sejumlah Pihak Berkomitmen Mengurangi Sampah Plastik di Lautan. Seperti Apa?

 

Anak sekolah mengumpulkan sampah plastik di pantai Werdhapura, Sanur, Bali pada Minggu (28/10/2018). Relawan dan aktivis dari koalisi Break Free From Plastics mendesak Fast Moving Consumer Goods (FMCG) atau perusahaan untuk berhenti memproduksi kemasan plastik sekali pakai. Foto : Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Ahmad Ashov, Juru Kampanye Greenpeace memaparkan laporannya bahwa empat perusahaan yang melaporkan penjualan tertinggi produk plastik sekali pakai (Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé dan Danone) juga merupakan empat merek teratas yang diidentifikasi dalam laporan audit merek ini. Greenpeace melakukan survei ke perusahaan yang diidentifikasi sebagai fast moving consumer goods (FMCG) dan kemasan sekali pakai yang terjual pada 2017 saja mulai dari 500 ribu sampai 3 juta metrik ton. “Ada kemungkinan peningkatan dalam penggunaan plastik sekali pakai,” kata pria yang mengurusi urusan polusi plastik ini.

Menurutnya dari hasil survei, perusahaan belum menunjukkan komitmennya untuk mengurangi kemasan sekali pakai. Ia juga berharap transparansi data dalam penggunaan jenis plastik dan pertumbuhannya di masa depan. Misalnya bagaimana perubahan plastik saat di-recycle, penjualannya, dan apakah ada monitoring dampak sampah kemasan tersebut.

 

Strategi Penanganan

Aliansi BFFP ini termsuk lembaga-lembaga dan komunitas jaringannya di Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyampaikan rekomendasi agar produsen atau perusahaan melakukan langkah nyata. Sejumlah cara di antaranya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan rencana aksi dan tenggat waktu yang jelas serta pelaporan secara transparan terkait penggunaan plastik produk mereka.

Kedua, berinvestasi dalam model pejualan dan distribusi, mendisain ulang untuk pengurangan plastik sekali pakai, kemasan sekali pakai, agar bisa digunakan kembali atau pengisian ulang.

Ketiga, mendesain ulang produk yang menimbulkan mikroplastik, termasuk microbeads, microfiber, dan lainnya yang sulit dikumpulkan saat jadi limbah. Keempat kerjasama dengan pengecer, pemerintah, dan lembaga masyarakat untuk solusi yang lebih berkelanjutan, misalnya aturan pengurangan plastik dan penggunaan berlebih.

Kelima, menolak solusi yang salah seperti pembakaran sampah dengan insinerator limbah, skema plastik ke bahan bakar, daur ulang bahan kimia, dan lainnya yang menimbulkan masalah baru. Lainnya, mencegah penggunaan bioplastik yang masih menggunakan bahan kimia dan berbahaya bagi lingkungan.

baca juga :  Daur Ulang Sampah Tidak Cukup Melindungi Laut dari Pencemaran Plastik

 

Partisipan World Clean Up Day bersama relawan Greenpeace mengumpulkan sampah plastik di Pantai Pandansari, Bantul, Yogyakarta, pada Jumat (15/9/2018). Sampah itu kemudian dipilah dan diteliti mereknya. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari World Economic Forum, 12 juta ton plastik kebanyakan sekali pakai masuk ke laut dari darat setiap tahun. Dengan produksi plastik diperkirakan akan meningkat sebesar 40% dalam satu dekade berikutnya, sehingga hampir tidak mungkin bagi pengelolaan limbah dan skema daur ulang bisa mengatasinya.

Yuyun Ismawati, dari BaliFokus, salah satu jaringan AZWI menyebut perusahaan pengguna plastik sekali pakai terbanyak ini tak bisa angkat tangan dari semua masalah yang dialami warga dan kosumennya. Misalnya hanya melakukan kampanye bersih pantai tapi tapi tidak melakukan aksi pengurangan kemasan sekali pakai dan penanganannya saat jadi limbah.

 

Langkah Serius

Komisi Eropa akan mengurangi polusi dari barang-barang plastik sekali pakai. Parlemen melarang beberapa produk sampingan yang paling bermasalah, seperti wadah makanan polystyrene untuk memastikan produsen bertanggung jawab atas biaya polusi plastik sekali pakai. Skema Extended Producer Responsibilty (EPR) ini juga mencakup biaya pembersihan dan tindakan peningkatan kesadaran.

Secara nasional, Indonesia juga memiliki Undang-Undang No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Demikian juga sejumlah pemerintah provinsi dan daerah. Pasal 15 UU No.18/2008 ini menyebutkan, produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Dalam pasal 20 disebutkan, pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam.

Tanggungjawab perusahaan ini kini ditagih untuk memastikan nasib sampah produk mereka yang tiap hari membanjiri pasar, toko, sampai warung di puncak gunung.

 

Exit mobile version