Mongabay.co.id

Burung-burung yang Mulai Tergusur dari Bandung

Ahli geologi asal Belanda R.W. van Bemmelen (1949) dalam buku Geologi Cekungan Bandung  menyebut, pada masa lampau, dataran Bandung merupakan sisa danau yang terbentuk akibat pembendungan Sungai Citarum purba oleh material letusan Gunung Tangkuban Perahu.

Sisa-sisa itu masih ada. Setidaknya terlihat hingga 1970-an. Ketika Bandung kota dan sekitarnya masih memiliki ranca (rawa-rawa) dan sawah yang membentang luas. Kawasan lahan basah yang senantiasa digenangi air, yang tidak hanya penting bagi pertanian, tetapi juga tempat hidupnya ikan dan areal burung mencari pakan.

Blekok sawah (Ardeola speciose), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), dan koak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax) adalah burung yang setia singgah di lahan basah.

Jejen, petani asal Rancabayawak, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, saat ditemui beberpa waktu lalu, menyatakan pernah merasakan kondisi asrinya lingkungan waktu itu. Pria 64 tahun tersebut, kerap memejamkan mata ketika diminta mengingat jenis burung yang pernah singgah di sawahnya.

“Sudah lupa. Saya senang sekali kalau mengenang waktu itu,” ujarnya.

Baca: Ruang Terbuka Hijau, Penting untuk Manusia dan Kehidupan Burung

 

Burung liar juga bisa tergusur hidupnya akibat habitat yang ditempatinya beralih fungsi menjadi perumahan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan burung memang penting untuk ekosistem sawah. Mereka memakan serangga dan ulat yang rentan merusak tanaman padi. Yang lebih penting, burung menjadi tolok ukur lingkungan yang baik, terutama kualitas air.

Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran, Johan Iskandar, yang telah mengamati burung liar pada 1980 hingga 2005 mencatat, ada 232 jenis burung dari 45 famili di wilayah Bandung dan sekitar.

Akan tetapi, kurang dari satu dekade terakhir, seperempat dari total jenis burung tersebut tidak terpantau lagi. Kondisi akibat desakan pembangunan. “(Sudah) banyak burung yang keberadaannya tidak terlacak,” katanya.

Fotografer birdwatcher, Ade Mamad, mengungkapkan hal senada. Kondisi demikian terjadi akibat perubahan lingkungan, terutama alih fungsi lahan dan perburuan.

“Padahal burung merupakan indikator alami baik buruknya lingkungan. Di pinggiran Bandung, dulu masih ditemukan gelatik (Pada oryzivora), bondol haji (Lonchura maja), dan pecuk-padi hitam (Phalacrocorax sulcirostris),” jelasnya.

Kini, Bandung mulai sepi celoteh burung. “Jenis burung sawah seperti bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), yang habitatnya di kawasan sawah Cekungan Bandung sudah menghilang.”

Di Bandung Utara, dari catatan Johan pernah ditemukan jenis-jenis burung seperti kepudang kuduk-hitam (Oriolus chinensis), gagak hutan (Corvus enca), gaok/gagak kampung (Corvus macrorhynchos) dan perenjak jawa/pacikrak (Prinia famliaris). Kini, pertumbuhan kota terus merangsek ke utara, menyebabkan area resapan air berkurang.

Di Bandung Timur, kondisi tidak jauh berbeda. Kawasan terendah dari Cekungan Bandung ini sedang dikembangkan sebagai pusat kota baru. Diperkirakan alih fungsi kawasan akan terus melebar sejalan dengan rencana proyek jalan tol baru.

Baca: Menjaga Kehidupan Burung Berarti Menyelamatkan Lingkungan, Menurut Anda?

 

Menjaga kehidupan burung berarti kita menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hilangnya keseimbangan kota

Lihat Bandung kini. Kota yang semula didesain oleh Thomas Karsten, arsitek Belanda, hanya untuk menampung 750.000 penduduk, sekarang harus menampung tiga kali lipatnya atau 2,4 juta jiwa (BPS;2009).

Dampaknya mudah diketahui. Jalanan macet, sampah menjadi masalah yang tak teratasi. Ruang terbuka hijau menyempit. Udara tak lagi sejuk.

“Perubahan suhu, berkurangnya faktor pendukung lingkungan mulai terjadi dan efeknya sudah dirasakan,” tambah Ade.

Korelasi burung dengan lingkungan, kata Ade, hanyalah salah satu analogi tentang kesatuan ekosistem. Apabila satu komponen hilang dapat menimbulkan ketidakseimbangan. Bahkan bisa saja memicu terjadinya bencana. “Sebab bencana bukan hanya diakibatkan oleh alam itu sendiri, akan tetapi manusia merupakan faktor pendukung terjadinya beragam bencana.”

 

Kota Bandung yang kian pesat pembangunannya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Johan pun gusar dengan permasalah ekologis di pekotaan ini. Menurutnya, pemerintah harus merespons pertumbuhan kota. Hal yang harus diperhatikan juga adalah sejauh mana perhatian pemerintah terhadap perubahan.

Dia berpendapat, para pembuat kebijakan mesti menerapkan paradigma pembangunan berkelanjutan sejalan dengan program SDGs (Sustainable Develoment Goals). Kebijakan ini menjamin keberlangsungan hidup manusia dalam jangka panjang dengan syarat: lingkungan hidup tetap memiliki daya dukung.

“SDGs penting dilaksanakan, namun jauh lebih substansial perubahan perilaku masyarakat menuju sustainable behaviour. Membangun kesadaran masyarakat,” jelasnya.

 

Kondisi salah satu bagian Sungai Citarum di Jawa Barat yang penuh dengan sampah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Ekspedisi Anjer-Panaroekan – Laporan Jurnalistik Kompas, rencana tata ruang Bandung pertama kali dibuat tahun 1825. Plan der Nagorij Bandung atau tata ruang itu selesai 15 tahun. Sejak Daendels memerintahkan pemindahan Kota Bandung ke utara sejauh 11 kilometer, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung, sejak saat itu Kota Bandung mulai dikembangkan.

Kemudian Thomas Karsten membangun Bandung dengan konsep “Kota Taman” (Garden City). Konsep ini menyesuaikan Bandung tempo dulu yang hanya sebuah desa, kemudian menjelma sebuah kota metropolitan.

Apakah Kota Bandung yang meninjak usia ke-208 tahun tetap tumbuh sebagaimana kalimat puitis M.A.W Brouwer: Bandung Diciptakan Tuhan Ketika Sedang Tersenyum?

 

 

Exit mobile version