Mongabay.co.id

Keindahan Seni Susun Batu di Sungai Code, Ini Foto-fotonya…

Karya-karya rock balancing yang menghiasi Sungai Code Yogyakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Indonesia sejak lama akrab dengan bangunan berbahan batu. Situs megalitikum, misal, bisa dijumpai di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera. Di zaman lebih muda, candi banyak di Sumatera dan Jawa, sebagai peninggalan era kerajaan Hindu Buddha.

Batu yang berlimpah karena kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak gunung berapi, dan berada di pertemuan tiga lempeng bumi. Sungai, bukit, dan pantai menjadi sumber batu yang tak ada habisnya. Hingga kini, masyarakat masih memanfaatkan batu sebagai bahan bangunan, alat pertanian, hingga masak-memasak.

 

Seni susun batu

Ada satu lagi pemanfaatan batu lewat seni susun batu (rock balancing). Seni ini belum banyak dikenal di Indonesia, bahkan di Sungai Cidahu, Sukabumi, Februari lalu dipersepsikan keliru sebagai tindakan musyrik. Sebanyak 99 susunan batu di sungai itu yang dianggap muncul tiba-tiba dan viral di media sosial dihancurkan.

Berbeda dengan di Sukabumi, seni susun batu justru dilombakan di Yogyakarta. Sebanyak 29 tim kebanyakan anak muda antusias ikut lomba susun batu pada pertengahan September lalu di Sungai Code.

Totok Pratopo, tokoh lingkungan dan pegiat Sungai Code juga ketua panitia mengatakan, lomba susun batu baru pertama kali di Yogyakarta. Lomba ini bagian dari gelar potensi wisata Sungai Code bernama Blusukan Kangen Kampung Kali Code.

Soal lomba seni susun batu, Sulaiman, doktor teknik sipil Universitas Gadjah Mada, salah satu juri mengatakan, peserta bebas memilih lokasi membuat karya. Area di sepanjang aliran Sungai Code dekat Jembatan Sarjito, di Kampung Jetisharjo.

“Boleh di pinggir sungai, di gundukan tanah, atau dalam air. Di dalam air akan tinggi nilainya karena lebih sulit,” katanya.

Peserta, katanya, harus bisa menyusun batu yang beraneka bentuk agar tetap stabil. “Mereka bebas merespon lingkungan yang diwujudkan dalam kreativitas karya.”

 

Salah satu karya seni susun batu di Sungai Code. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Unsur yang dinilai juri adalah kreativitas, tingkat kesulitan, pemilihan material, dan komposisi. Tidak ada batasan ketinggian susunan batu, katanya, tiap tim peserta dibatasi waktu pengerjaan selama dua jam.

Teguh, seniman juga juri mengatakan, yang menarik dari lomba ini bagaimana peserta menggunakan material di sungai, yang sebelumnya tak bernilai jadi karya indah.

“Dari sesuatu yang tak ada apa-apanya jadi sesuatu yang menarik. Mungkin ada yang asal memilih batu, ada yang cermat. Oh, batu ini menarik. Itu yang akan membedakan peserta satu dengan yang lain.”

Selain hasil karya, Teguh melihat semangat para peserta menyelesaikan susunan batu juga patut menjadi catatan.

“Bukan melulu hasil karya, tapi semangat mereka. Ini hanya disediakan media (batu), bagaimana mereka berproses dengan media-media itu. Kegembiraan mereka, semangat mereka. Ini penting.”

Maya, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta satu peserta lomba baru kali pertama mengikuti lomba rock balancing. Bersama dua temannya yang lain mereka jadi juara pertama lomba.

“Tidak ada persiapan. Kami mencermati kriteria penilaian. Misal, keharusan respek terhadap alam hingga kami memilih spot di tengah sungai yang arus deras, berdekatan dengan pepohonan yang sejuk.”

Dia punya kesan tersendiri. Menurut dia, saat menyusun batu itu seperti sedang bermeditasi.

“Harus sabar, terampil, dan tidak gugup saat menyusun batu agar batu bisa tersusun dengan baik,” katanya.

 

Beberapa karya rock balancing yang mengubah nuansa Sungai Code jadi lebih indah. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Maya sudah tidak asing dengan lingkungan Sungai Code karena dia pendamping Komunitas Hijau Daun bantaran Kali Code yang bergerak di penghijauan Code.

Muhammad Ilham, peserta lomba lain juga mengatakan, tidak ada persiapan khusus sebelum lomba.

“Paling sebelum mulai menyusun kami mengenali medan, memahami sistem penilaian, dan sedikit menerapkan ilmu fisika yang dipelajari saat SD, SMP dan SMA tentang pusat massa,” kata mahasiswa UGM ini. Ilham sangat terkesan dengan kegiatan seni susun batu.

“Seru banget. Melatih kreatif, memaksimalkan segala kondisi yang ada, yang pasti melatih sabar. Acap kali batu yang sudah disusun susah payah runtuh karena tidak seimbang.”

Maya berharap, Sungai Code lebih dikenal dan kesadaran masyarakat makin meningkat soal potensi wisata sungai. “Jadi Kali Code bisa lebih bersih dan terawat.”

Ilham berharap kelak lomba berjalan lebih meriah, kreatif, dan dikunjungi makin banyak orang.

“Dapat lebih dimeriahkan lagi. Sudah sangat kreatif, namun masyarakat luar Kali Code masih sedikit yang mengunjungi maupun ikut lomba.” Ilham dan dua teman lain dalam satu tim jadi juara ketiga.

Menurut Totok, sungai di Yogyakarta sebagai kota budaya harus sesering mungkin jadi ajang berkreasi. “Dengan begitu warga makin menghargai untuk tak membuang sampah, limbah di sungai.”

Keistimewaan karya-karya rock balancing, katanya, bisa dinikmati siapapun dalam waktu tak terbatas sampai banjir merobohkan.

“Dengan dilombakan, disosialisasikan baik, terbuka, masyarakat tahu bahwa rock balancing itu karya seni yang bisa dinikmati. Bukan karya makhluk halus,” katanya, menghubungkan dengan seni susun batu di Sungai Cidahu, Sukabumi, yang sempat dianggap buatan jin dan muncul misterius.

 

Totok Pratopo, pegiat lingkungan Sungai Code dan ketua panitia. Foto: Nuswantoor/ Mongabay Indonesia

 

Potensi Sungai Code

Sungai Code, salah satu sungai yang melintasi Kota Yogyakarta dan berdekatan dengan Malioboro, Tugu Jogja, dan keraton. Di kanan kiri Code jadi kawasan permukiman padat. Keadaan ini menciptakan tekanan tersendiri terhadap lingkungan sekitar sungai.

Sungai Code, katanya, berpotensi dikembangkan jadi tujuan wisata baru. Syaratnya, pengembangan ini harus paralel dengan upaya pelestarian lingkungan Code.

Sejumlah paket wisata sudah bergulir dan diminati wisatawan baik manca maupun dalam negeri. Paket jelajah Kampung Code, misal, pada 2017, peserta mencapai 2.100-an orang.

“Ada enam kampung yang kita lalui, mulai dari Kewek di sekitar Malioboro berakhir di Jetisharjo. Kalau di hotel ya kami jemput, atau datang sendiri di titik kumpul Kewek,” kata Totok.

 

Peserta lomba susun batu di Sungai Code didominasi anak muda. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Totok berharap ada dukungan fasilitas seperti akses jalan. Dia contohkan, jalan setapak di pinggir sungai bisa tersambung sampai ke Malioboro hingga wisawatan mudah mengakses sungai dan kampung-kampung di sekitar.

Sigit Istiarto, Ketua Forum Komunikasi Kampung Wisata Yogyakarta, mengatakan, kampung wisata bisa jadi andalan baru Jogja, bukan hanya Malioboro atau keraton. Kampung wisata melengkapi apa yang ingin dirasakan wisatawan selama tinggal di Jogja.

“Kita bisa memberikan suasana hati. Supaya mereka betul-betul merasa saat ini berada di Jogja, bukan kota lain. Kalau di jalanan, mereka memperoleh suasana hampir sama di berbagai kota. Kalau masuk kampung mereka akan mendapatkan sesuatu lebih unik.”

Heroe Purwadi, Wakil Wali Kota Yogyakarta yang membuka gelaran potensi wisata Code mengatakan, perlu mengintegrasikan antar kampung wisata. Dia setuju, sekitar Sungai Code ada jalur sepeda.

“Jadi tak hanya jalan setapak seperti yang ada di beberapa kampung pinggir sungai. Wisatawan kelak bisa bersepeda sambil menyusuri pinggiran Sungai Code.

 

Keterangan foto utama:   Karya-karya rock balancing yang menghiasi Sungai Code Yogyakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Dua peserta sedang menyusun batu kali dalam lomba rock balancing di Sungai Code. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version