Mongabay.co.id

Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

Hutan adat Komunitas Adat Laman Kinipan, masuk konsesi perusahaan perkebunan sawit. Mereka tak dapat berbuat apa-apa kala alat berat membabat hutan sampai pohon buah-buahan mereka. Kirim surat ke perusahaan, tak digubris. Akhirnya mereka aksi ke DPRD Lamandau, dan menyerahkan mandau ke pimpinan daerah sebagai simbol minta perlindungan. Mereka menyebut setidaknya, tujuh pelanggaran adat dilakukan PT Sawit Mandiri Lestari saat membuka lahan untuk lahan yang dianggap masuk wilayah adat mereka.

 

Perempuan paruh baya itu membawa sebilah mandau, maju ke depan meja kepala daerah yang sedang memimpin pertemuan di Gedung DPRD Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ada ketua dan pimpinan DPRD Lamandau, asisten I sekretariat daerah mewakili bupati, dan wakapolres.

Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Perempuan itu menyerahkan sebilah mandau kepada Bupati Lamandau yang diwakili asisten I itu. Penyerahan mandau ini merupakan simbol kepasrahan diri meminta perlindungan mewakili Komunitas Adat Laman (Desa) Kinipan. Komunitas ini berupaya mempertahankan wilayah dan hutan adat yang mulai terbabat perusahaan perkebunan sawit.

Hari itu, mereka berunjuk rasa, memohon perlindungan wilayah adat dari invasi sawit. Bagi mereka, bila pemerintah tak sanggup memenuhi permohonan itu, mereka memasrahkan diri untuk ditikam dengan mandau sekalipun.

“Kami menyerahkan satu bilah mandau sebagai lambang penyerahan diri. Di mana sebelum hutan rimba kami dijarah perusahaan, kami sebagai petani dilarang berladang (membakar) dengan ancaman hukuman penjara satu tahun, dengan uang Rp10 miliar. Sebaliknya, kenapa perusahaan mendapat izin? Jadi kami serahkan, terserah kami mau diapakan,” kata Kartinus, tetua adat Komunitas Kinipan, yang mengiringi penyerahan mandau itu di Gedung DPRD Lamandau, di Nanga Bulik, Kalimantan Tengah, Senin (8/10/18) siang.

“Intinya itu menyerahkan diri. Daripada berladang enggak bisa, mau berusaha enggak bisa. Jadi terserah pemerintah. Itu maksudnya, penyerahan diri warga. Sudah pasrah,” kata Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, pada Mongabay.

 

Kampung Kinipan. Foto: Mongabay Indonesia

 

Entah bagaimana perasaan para pimpinan daerah Lamandau saat menghadapi momen penyerahan mandau itu. Atie Dieni, Asisten I Sekretariat Daerah yang mewakili Bupati Lamandau, Hendra Lesmana, hanya mengucapkan menerima penyerahan mandau, lalu bilang akan menyerahkan pada bupati.

Baca juga: Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar

Sesaat kemudian, seperti acara seremonial pemerintahan, ada sedikit tepuk tangan, diawali Ketua DPRD Lamandau, Tommy Hermal Ibrahim. Agak janggal, tepuk tangan untuk mereka yang tak berdaya dan menyerahkan diri.

Ketika hendak mulai menanggapi argumentasi dan tuntutan para pengunjuk rasa, Tommy tampak berusaha menahan tangis. Sebelum berbicara dia memejamkan mata, sambil menggosokkan kedua tangan. Lalu dia mengepalkan kedua tangan dan menundukkan wajah sesaat. Melepas kacamata sembari mengambil tisu.

Politikus Partai Golkar ini mulai bicara. “Mohon maaf…,” katanya, sambil tangan kanan mengelus dada sejenak.

“Terima kasih saudara-saudaraku yang telah menyampaikan, tidak sekadar aspirasi, tapi keluh kesah,” katanya.

Hening sejenak. “Berdasarkan penuturan tadi, kami menyimak seksama, saya dan teman-teman. “Maaf.. semua menyimak dengan baik, apa yang saudara-saudara sampaikan…”

“ Walaupun tidak semua, ini sudah mewakili. Termasuk bukan hanya (pengunjuk rasa) yang di luar sana, juga masyarakat Kinipan. Saya pikir seluruh komunitas masyarakat adat,” kata pria yang biasa disapa Tomel ini.

Tommy, politisi dari Laman Mengkalang, hulu Laman Kinipan, daerah aliran Sungai Batang Kawa juga. Dia tak bisa menahan kesedihan kala mendengar keluhan warga Kinipan. Dia bilang, masalah serupa Kinipan, banyak menimpa masyarakat adat di pedalaman. Padahal, katanya, masyarakat adat sudah turun menurun hidup di wilayah itu, bahkan sebelum Indonesia ada.

 

Aksi protes masyarakat adat Laman Kinipan, atas masuknya investasi dan membuka hutan adat mereka. Foto: Mongabay Indonesia

 

Sebelum penyerahan mandau itu, sekitar 200-an warga Kinipan, mendatangi Gedung DPRD Lamandau di Nanga Bulik. Mereka aksi menentang pembukaan kebun sawit milik PT Sawit Mandiri Lestari (SML), yang dianggap memasuki hutan adat mereka.

Jarak yang jauh, lebih 100 kilometer, di tepi Sungai Batang Kawa, Hulu Kabupaten Lamandau, tak menyurutkan langkah mereka. Jalan sekitar tujuh kilometer, antara lain melintasi tanjakan belum beraspal hingga licin karena hujan deras. Meskipun begitu mereka tetap bersemangat, sekitar 200-an warga ikut aksi, sebagaimana pemberitahuan mereka pada polisi.

Baca juga: Menguak Aksi Kerajaan Kecil Sawit di Kalimantan

Kinipan merupakan desa berpenduduk 661 jiwa, menurut buku Batang Kawa Dalam Angka 2018 terbitan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lamandau.

“Kita itu terbatas alat transportasi. Jika tidak, lebih dari itu (massa hadir-red). Banyak masih mau ikut. Ikat kepala merah yang kami sediakan sebagai tanda peserta aksi tak cukup,” kata Buhing.

Mereka datang dengan mobil dan pikap. Tua-muda, laki-laki dan perempuan. Sebagian mengenakan topi khas Suku Dayak Tomun. Sejumlah orang juga datang dengan mulut tampak merah sambil mengunyah pinang dan daun sirih.

Alunan musik Dayak dari gendang, garantung, lonang menyertai aksi dengan beragam tulisan tuntutan. Mereka juga merapal mantera, sembari memotong seekor ayam dalam ritual khusus kala demonstrasi itu.

Tuntutan warga antara lain menolak SML yang menggusur lahan adat mereka, menuntut pencabutan izin perusahaan sawit di wilayah hutan adat Kinipan. Mereka juga menyerukan pemerintah daerah memberikan surat penetapan wilayah adat bagi Kinipan, pembuatan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Lamandau, hingga desakan pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Para orator unjuk rasa menyampaikan kecaman atas kerusakan hutan di wilayah adat mereka. “Ini SML sudah keterlaluan. Bukan cuma rimba, bukan cuma ulin. Masyarakat ambil ulin ditangkap polisi. Mereka, coba lihat, ribuan kubik! Kami punya dokumentasinya. Kami cari kayu saja ditangkap sama polisi. Di sana ulin, Pak! Ribuan kubik ke mana larinya?”

 

Masyarakat adat Laman Kinipan menyampaikan keluhan ke DPRD Lamandau, sekaligus dihadiri perwakilan Bupati Lamandau. Warga menyerahkan sebilah mandau, sebagai simbol minta perlindungan pemimpin daerah agar wilayah dan hutan adat mereka tak diganggu. Foto: Mongabay Indonesia

 

Minta KPK turun tangan

Mereka menyerukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka mata ke Lamandau. “Bukan hanya rimba, juga babas (eks ladang),” kata Buhing.

Mereka mengecam perusahaan karena begitu saja membuka hutan mereka. “Mereka tidak ada pamit. Membuka pintu saja harus diketuk, ini menggusur, tak ada pamit dengan kami! Kami dengan tekad bulat, dengan pikiran sama, mempertahankan wilayah adat. Kami tidak main-main. Tidak ada unsur politik (praktis). Ini suara murni rakyat, dari hati nurani kami masyarakat Kinipan,” kata Emban, orator lain.

 

Kala pepohonan di hutan rimba Laman Kinipan, bertumbangan…Foto: dokumen Laman Kinipan, diambil 9 Mei 2018

 

Sejak lama tolak sawit

Sekitar setengah jam berunjuk rasa di halaman DPRD, sebanyak 25 perwakilan pengunjuk rasa dipersilakan masuk menyampaikan persoalan lebih rinci. Effendi Buhing dan Emban sebagai juru bicara dari Kinipan, membeberkan perjuangan mereka menolak sawit dan usaha mendapatkan legalitas pemerintah sebagai wilayah adat. Langkah mereka terganggu karena perusahaan sawit membuka lahan hingga ke wilayah mereka.

Menurut Buhing, penolakan Kinipan terhadap investasi sawit bukan baru muncul dalam beberapa tahun terakhir. Kinipan, katanya, sudah lama bersepakat menolak investasi sawit bersama desa-desa lain, yang saat itu masih bagian Kecamatan Delang.

“Pada 2005, itu semua tokoh, kepala desa, kepala adat bertanda tangan. Waktu itu masih (jadi satu dengan) Kecamatan Delang, menolak perkebunan sawit masuk sana,” kata Buhing.

Dia menyebut pertama kali SML akan masuk Kinipan pada 2012. Berdasarkan musyawarah desa pada 28 Maret 2012, rencana investasi sawit itu ditolak. “Terakhir 2016, tiga kepala desa, Kinipan, Benakitan, dan Ginih juga menolak. Jadi penolakan warga terhadap perkebunan sawit ini sudah lama.”

Dia bilang, pilihan ingin jadikan Kinipan sebagai wilayah adat yang memperoleh legalitas karena terancam kehadiran investasi besar perkebunan. Pada 2015, atas keputusan Kepala Desa Kinipan waktu itu dijabat Emban, mereka mulai pemetaan partisipatif wilayah adat. Secara kultural, kata Buhing, masyarakat Kinipan dan sekitar sudah mengerti batas-batas alam itu.

Pada 30 April 2016, Kinipan menggelar lokakarya dan deklarasi wilayah adat. “Hadir pula seluruh (kepala) desa yang berbatasan,” katanya.

 

Sungai Batang Kawa yang melintasi Kinipan. Air sungai lancar karena hutan hulu terjaga, Foto: Mongabay Indonesia

 

Pada 2017, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), memverifikasi dan menerbitkan sertifikat bahwa Kinipan layak mendapat pengakuan sebagai wilayah adat. Permintaan Komunitas Kinipan kepada Bupati Lamandau untuk menerbitkan surat keputusan wilayah adat, tidak dipenuhi. “Zaman Pak Marukan, beliau hanya memberikan rekomendasi. Itu tidak ada gunanya. Dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red), itu dikembalikan lagi ke sini,” ucap Buhing.

Hingga awal 2018, mereka kaget dengan pembukaan lahan SML.

Buhing bilang, setidaknya lahan 1.242 hektar wilayah Kinipan terbabat. Mereka gelisah, terlebih upaya mempertanyakan masalah ini ke SML, buntu.

“Seharusnya perusahaan jangan gusur dulu. Supaya kita bisa bernapas dan bermusyawarah. SML sudah kita surati. Pemerintahan desa sendiri yang menyurati, memohon berhenti. Kita sampaikan ke kantornya di hutan sana. Mohon berhenti, kita musyawarah dahulu,” katanya.

Emban mengatakan, SML awalnya tak mau datang ketika ada permintaan melalui surat untuk berembuk dengan Komunitas Adat Laman Kinipan. Mereka mempersoalkan legalitas komunitas adat itu. Komunitas adat melalui desa menyurati, perusahaan juga tidak merespon.

Merasa tak digubris, mereka mengadukan masalah ini langsung ke Jakarta. Delapan orang berangkat dari Kinipan, mengadu ke KLHK, Kantor Staf Presiden, dan Komnas HAM akhir Mei 2018.

Lagi-lagi, meskipun sudah ke pusat, tak ada perkembangan berarti. Sampai akhirnya mereka menerima kabar SML terus menggarap lahan.

“Ada yang berburu, melapor ke kepala desa bahwa mereka sudah sampai ke babas (hutan sekunder tempat kebun buah, dan eks ladang) masyarakat. Lalu kami cek delapan orang, bersama Pak Effendi Buhing, domang, mantir adat. Sampai di sana, memang betul,” kata Emban.

Mereka melihat traktor tengah bekerja, menghantam durian, rotan, dan kebun sirih mereka. “Saksi hidup, Pak Domang sampai nangis karena melihat peninggalan dari ompai-nya (ayah) habis tak ada lagi.”

 

Hutan ramba Laman Kinipan kini…Foto: dokumen Laman Kininan, diambil 10 Mei 2018

 

Tujuh pelanggaran dan denda

Atas pembukaan lahan yang dianggap sepihak itu, Kinipan menganggap SML telah melanggar tujuh peraturan adat di sana. Pelanggaran adat pertama disebut holu labuh dudi bepadah, artinya bekerja (membuka lahan lebih dahulu) tanpa permisi. Kemudian, dianggap pemaksaan, masuk kategori pelanggaran dagang posa boli robut. Secara harafiah, istilah ini bisa diterjemahkan ‘dagang memaksa, beli merebut.’

Kemudian, pelanggaran adat yang disebut mucatan omas, rampa babahan. “Ini pelecehan. Pelecehan terhadap mantir-mantir, tokoh-tokoh, tetua-tetua. Sudah tidak pamit, tidak ngomong. Itu pelecehan!”kata Buhing.

Pelanggaran berikutnya, merusak lingkungan hidup atau disebut barintah tanah bakoruh arai. Pelanggaran ini berkaitan juga dengan pelanggaran panobakan kampung, palamain buah (merugikan tanam tumbuh). “Banyak yang ditebang, digusur, rotan, durian. Itu enggak bisa dihitung (kerugiannya). Karena terlalu banyak pohon, baik ditanam atau tumbuh alami,” katanya.

Lalu pelanggaran tuba robak, kara pampuh (harapan panen hasil alam sirna). “Kita punya pohon sedang berbuah, yang akan panen. Ternyata digusur orang. Hilang. Sekarang padahal musim bunga.”

Terakhir, pelanggaran notaai insang, hingap nyawa porut. Pelanggaran itu karena pembukaan lahan perusahaan mengakibatkan hutan berburu, berladang, dan mencari ikan rusak. “Warga jadi kehilangan akses usaha kehidupan, seperti mencari kayu, meramu, semua hilang,” kata Buhing.

Dari tujuh pelanggaran itu, warga Kinipan mematok denda atau kamuh, Rp5 miliar, sebagai salah satu dari lima tuntutan dalam unjuk rasa. Tuntutan lain, meminta bupati dan DPRD Lamandau, menerbitkan SK hutan adat dan peraturan daerah tentang perlindungan dan pengakuan hutan wilayah adat.

Mereka juga meminta SML menghentikan pembukaan lahan. Terhadap lahan yang terlanjur dibuka, mereka meminta kebun yang bakal dibuat dikelola kemitraan, dengan hak milik lahan tetap pada masyarakat adat Kinipan.

Tommy Hermal Ibrahim, memastikan permintaan pembuatan peraturan daerah tentang perlindungan masyarakat adat menjadi atensi dan prioritas mereka. “Mudah-mudahan pada 2019 bisa kita tindak lanjuti,” katanya.

Soal denda, DPRD Lamandau mengusulkan perincian nilai. DPRD Lamandau juga meminta Laman Kinipan melengkapi dokumen-dokumen pendukung soal tata batas, dalam pertemuan selanjutnya.

DPRD Lamandau juga akan memohon Bupati Lamandau menghentikan operasi SML di wilayah sengketa dengan Kinipan sampai ada penyelesaian.

Adapun langkah yang akan ditempuh, DPRD Lamandau akan menggelar pertemuan para pihak untuk menyelesaikan sengketa ini. “Kami segera mengundang para pihak, SML, pemerintah daerah dalam hal ini bupati, dan masyarakat Kinipan, secepatnya.”

 

Perwakilan masyarakat adat Laman Kinipan, menyampaikan keluhan dan kekhawatiran mereka di DPRD Lamandau, awal Oktober lalu. Foto: Mongabay Indonesia

 

 

Gugatan sembilan desa?

Yang mengagetkan bagi Komunitas Laman Kinipan, dalam pertemuan itu, DPRD Lamandau juga mengabarkan ada surat keberatan dari sembilan desa terhadap klaim lahan Komunitas Adat Lamana Kinipan. Kesembilan desa itu, wilayahnya juga masuk dalam rencana perkebunan SML.

Inti isi surat dari sembilan desa itu menyatakan keberatan atas klaim lahan di Kinipan yang mereka sebut dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dikoordinatori Efffendi Buhing.

“Hal ini mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan kebun plasma sawit yang telah kami sepakati dengan surat perjanjian kerja sama melalui koperasi dengan PT Sawit Mandiri Lestari,” demikian petikan surat yang dibacakan oleh Tommy, dengan mengambil contoh surat dari Desa Kawa, Kecamatan Lamandau, Kabupaten Lamandau.

Buhing dan Emban meragukan kemunculan surat-surat itu murni inisiatif sembilan desa itu. Mereka menilai, itu cara mengadu domba masyarakat.

Kepada Mongabay, Rabu (10/10/18), dia sudah menyelidiki salah satu desa yang disebut bagian dari sembilan desa yang mengirimkan surat itu. Menurut dia, kepala desa mengaku tak tahu-menahu perihal surat itu.

Budi Rahmat, Wakil Ketua DPRD Lamandau, mengatakan, saat pertemuan dengan para pengunjuk rasa, pentingnya musyawarah antara masyarakat desa.

“Jadi persoalan karena obyek sama, sementara beberapa pihak merasa itu wilayah mereka. Hak-hak masyarakat adat tak boleh hilang. Mesti dipertahankan. Di sanalah kita menggantungkan harapan hidup kita. Saya memahami itu. Jadi supaya ini dibicarakan, didiskusikan,” kata dia.

Baik Budi Rahmat dan Atie Dieni bilang, SML sudah mengantongi hak guna usaha (HGU). “Ada HGU. Pemda pasti tahu, sudah keluar. Cuma masuk desa apanya saya enggak tahu.”

“HGU itu kan produk pemerintah. Pemerintah pasti tahu. Saya tahu itu 2017, luasan kurang lebih 9.400 hektar. Kalau desa-desanya saya kurang tahu. Yang jelas itu di tiga kecamatan, Delang, Lamandau, Batang Kawa.”

Mongabay berulang kali berusaha melakukan upaya konfirmasi kepada SML perihal masalah ini tetapi tak mendapatkan tanggapan. Mongabay pernah datang langsung ke kantor SML di Pangkalan Bun, Kalteng untuk mewawancarai direktur utama, tak berhasil. Saat itu, Mongabay diminta mengajukan permohonan wawancara tertulis melalui email. Setelah email dikirimkan pun tak kunjung muncul jawaban.

Soal tak kunjung usai masalah lahan, saham SML dijual sempat muncul di media. Seperti dikutip dari Beritasatu, pemilik sebelumnya PT Sawit Sumber Mas Sarana (SSMS) Tbk, menjual SML Rp289,5 miliar kepada PT Agro Jaya Gemilang dan PT Metro Jaya Lestari.

SSMS Tbk bagian dari Citra Borneo Indah (CBI) Group, milik pengusaha asal Pangkalan Bun, Abdul Rasyid. Namun, masyarakat Kinipan memahami SML masih bagian CBI Group.Upaya konfirmasi Mongabay kepada CBI Group juga tak berhasil.

Rimbun Situmorang, Direktur Utama CBI Group, tak membalas permintaan wawancara yang disampaikan via pesan Whatsapp.

Mongabay coba lagi mengkonfirmasi SML dan CBI pada 22 Oktober 2018 baik melalui email, telepon maupun Whatsapp, tetap tak mendapat jawaban.

Kantor Staf Presiden (KSP) memfasilitasi berbagai pihak bertemu. Ada dari perusahaan, Bupati Lamandau dan AMAN. Kala itu, dari masyarakat adat Laman Kinipan, belum ada perwakilan.

Dalam pertemuan di KSP antara SML, Bupati Lamandau, dan PB AMAN, Rabu (10/10/18) terungkap SML telah mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) seluas 9.432,214 hektar berdasarkan SK Bupati Lamandau 27 April 2017. Bupati Lamandau kala itu Marukan. HGU diperoleh berdasarkan SK Menteri ATR/BPN pada 19 Agustus 2017 seluas 19.091,59 hektar.

Dari website aman.or.id, Bupati Lamandau Hendra Lesmana yang hadir dalam pertemuan di KSP, itu menyebutkan, klaim tanah Kinipan yang dipimpin Effendi Buhing di Desa Karang Taba– berbatasan dengan Kinipan– bersifat politis, dan tak mempunyai dasar hukum kuat.

Menurut dia, peta partisipatif wilayah adat dari BRWA yang dimiliki Kinipan bukan bukti kepemilikan tanah.

“Ditambah lagi kepengurusan komunitas adat Laman Kinipan belum terdaftar resmi di Kesbanglinmas Kabupaten Lamandau,” katanya.

Emban, juga mantan Kepala desa Kinipan kepada Mongabay, mengatakan, berita acara tata batas antara Kinipan dan Karang Taba, belum selesai. Saat deklarasi Kinipan sebagai wilayah adat, Karang Taba, hadir. “Waktu deklarasi mereka hadir dan bertanda tangan. Yang sudah dipetakan, itu warisan leluhur kami. Sampai kapanpun akan tetap kami pertahankan,” katanya.

Abetnego Tarigan, dari KSP meminta, Pemerintah Lamandau adakan pertemuan dengan masyarakat adat Laman Kinipan dengan SML pada November mendatang, dengan mengundang KSP dan PB AMAN.

 

Keterangan foto utama:    Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Kampung KInipan, dengan latar belakang pegunungan nan hijau. Foto: Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version