Mongabay.co.id

Bulbophyllum irianae, Spesies Anggrek Baru di Papua

 

Indonesia bukan tanah asing bagi Eduard de Vogel. Lelaki 76 tahun berkebangsaan Belanda ini menghabiskan waktunya mulai dari 1971 hingga 1975 di Kebun Raya dan Herbarium, Bogor, Jawa Barat. Ketika itu, ia studi PhD tentang morfologi bibit pohon.

Pada 1986, Eduard mendirikan jurnal ilmiah khusus anggrek bernama Orchid Monographs. Studi dan inventarisasi anggrek di New Guinea, daratan Papua pun ia lakukan pada 1993, untuk memperdalam pengetahuannya.

Di tahun itu pula Eduard untuk pertama kali mengenal tanah Papua di semenanjung kepala burung. Dia menekuni anggrek, yang di saat bersamaan juga menjadi mentor mahasiswa, baik Belanda dan Indonesia, untuk meneliti tanaman berkelopak indah tersebut.

Eduard meyakini flora dan fauna di Tanah Papua menyimpan misteri. Diperkirakan, banyak spesies baru yang belum ditemukan. Pulau New Guinea (Papua dan PNG) diyakini memiliki keragaman jenis anggrek di dunia setelah Pegunungan Andes, Amerika Selatan.

Jika di Pegunungan Andes ada sekitar 7.000 spesies anggrek, Papua diperkirakan memiliki 2.000- 3.000 spesies dari sekitar 30.000 jenis anggrek dunia. New Guinea sendiri memiliki endemisitas anggrek hingga 90 persen yang artinya tidak ditemukan di tempat lain.

Eduard memang tercatat sebagai ilmuwan di Naturalis Biodiversity Center dan Hortus Botanicus. Keduanya beralamat di Kota Leiden, Belanda. Namun, kecintaannya pada Indonesia, khususnya Papua, membuatnya bersama Daawia Suhartawan, dosen Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Cendrawasih, “mengabdi” di Yayasan Pendidikan Alam Papua (Yadikap). Nama Eduard de Vogel didaulat sebagai dewan penasehat yayasan.

Baca: Ekowisata, Jawaban Persoalan Deforestasi Papua Barat?

 

Bulbophyllum irianae yang merupakan jenis anggrek baru di Papua. Sumber foto: Orchideenjournal Volume 6, 5 Oktober 2018/Daawia Suhartawan

 

Jenis baru

“Belum lama ini, kami menemukan spesies anggrek baru dan endemik. Lokasinya di perbatasan Kabupaten Kerom, Provinsi Papua,” kata Eduard kepada Mongabay Indonesia, Minggu, 7 Oktober 2018, di Manokwari.

Eduard menceritakan temuannya itu sebelum pembukaan International Confrence on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE) 2018 di Manokwari, Papua Barat. Ini adalah pertemuan kedua saya dengan Eduard.

“Namanya Bulbophyllum irianae,” ungkapnya.

Eduard tidak sendiri. Temuan anggrek di Distrik Senggi, pada ketinggian 300 meter dari permukaan laut itu, bersama koleganya. Ada Daawia Suhartawan, Charlie Heatubun (akademisi dari Universitas Papua dan juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat), serta Eline Hoogendjik (Naturalis Biodiversity Center dan Hortus Botanicus, Leiden University).

Bulbophyllum irianae adalah nama istri Presiden Joko Widodo, Iriana, yang disematkan di belakang genus Bulbophyllum.

Menurut Eduard, pemberian nama irianae merupakan penghargaan kepada ibu negara yang ikut mendorong dan mendukung pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Temuan ini dipublikasikan pada jurnal ilmiah Orchideenjournal Volume 6, tertanggal 5 Oktober 2018.

Dalam jurnal dideskripsikan, Bulbophyllum irianae atau Anggrek Iriana memiliki mahkota epifit (hidup menumpang pohon lain) pada kanopi hutan hujan diketinggian 45 meter. Berbunga pada Februari.

Baca: Kepungan Konsesi dalam Semangat Konservasi di Tanah Papua

 

Bulbophyllum irianae atau Anggrek Iriana yang digambarkan dalam lukisan. Sumber: Orchideenjournal Volume 6, 5 Oktober 2018/Eline Hoogendjik

 

Menariknya, dalam jurnal tersebut dituliskan juga anggrek jenis baru bernama Bulbophyllum adolinae. Spesies ini ditemukan 2014 oleh tim peneliti Universitas Papua dan Kew Botanical Garden dari United Kingdom, di Danau Anggi Gidi (sebutan lainnya Anggi Giji), Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat.

Nama anggrek ini ditujukan untuk Juliana Adolina Kiriweno, istri Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan. Tujuannya, bentuk penghargaan untuk Adolina yang dikenal sebagai penggerak pelestarian alam Papua Barat.

Bulbophyllum adolinae merupakan tumbuhan epifit dan endemik Pegunungan Arfak. Ia menumpang hidup pada batang pohon tertutup lumut diketinggian 1.970 meter dari permukaan laut. Bunganya mekar pada Juli.

 

Bulbophyllum adolinae, anggrek yang ditemukan 2014 lalu. Sumber foto: Orchideenjournal Volume 6, 5 Oktober 2018/Andre Suiteman

 

“Kami sudah menyiapkan bingkai anggrek Bulbophyllum irianae yang akan diberikan kepada Ibu Iriana, tapi ibu negara tidak hadir di ICBE, Manokwari,” kata Daawia Suhartawan, yang mendampingi Eduard.

Daawia Suhartawan juga dikenal sebagai dosen yang melakukan konservasi kupu-kupu di laboratorium Universitas Cendrawasih. Dia menjelaskan, pihaknya tengah merancang kerja sama dengan Kantor Pos, membuat prangko anggrek Bulbophyllum irianae, sebagai upaya memperkenalkan ke masyarakat luas.

“Kami tetap ingin berjumpa Ibu Iriana. Kami sudah berbicang dengan Asisten 2 Gubernur Papua, untuk diagendakan pertemuan di Jakarta,” ungkap Daawia melalui pesan singkatnya Minggu, 28 Oktober 2018.

Baca juga: ICBE 2018: Semangat Papua Barat Sebagai Provinsi Konservasi

 

Hutan dataran rendah di Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pembangunan museum

Untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi keanekaragaman hayati, alam, dan budaya, para akademisi pun mengusulkan membuat museum sejarah alam dan kebun raya di Papua. Tujuannya, menunjang konservasi, menampung koleksi, serta tempat penelitian. Ide ini digaungkan pada sesi terakhir ICBE 2018, sebagai wujud deklarasi “Pembangunan Berkelanjutan” yang dikumandangkan Papua dan Papua Barat.

Museum dapat menjadi bank informasi dan sarana edukasi. Setiap kebijakan mengacu kajian-kajian ilmiah dan data yang tersebar bisa dihimpun. “Siswa TK sampai Perguruan Tinggi, bisa mengakses pengetahuan dan budaya Papua yang masih minim penelitian,” terang Keliopas Krey, akademisi dari Universitas Papua.

 

 

Exit mobile version