Mongabay.co.id

Kekeringan Landa Jogja dan Jateng, Pangan Terancam?

Untuk dapat air bersih kala itu, warga bergantian dapat giliran. Kerja cepat Kepala Desa Mangin membuat warga sudah mengakses air bersih secara langsung di rumah mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Seminggu lalu, Muji harus menjual kambing ke Pasar Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Bukan lantaran tak punya uang tetapi kesulitan mencari rumput untuk pakan ternak.

Sehektar sawah garapan pun kering. Tanah retak, irigasi kering. Biasanya, bulan lalu sudah masuk musim tanam, namun ketidakpastian cuaca membuat semua berantakan. Bahkan tetangganya, gagal panen karena kemarau panjang.

“Sekarang jadi buruh bangunan, semoga segera hujan, biar bisa bertani lagi,” katanya, kepada Mongabay, (22/10/18).

Kejadian ini juga dialami ribuan petani di Kulon Progo, mengalami kekeringan. Air sumur ikut kering. Kini Kulon Progo, sebagai status tanggap darurat kekeringan. Bahkan diperpanjang untuk ketiga kali.

Sejak 25 Juli-30 September, merupakan tanggap daruat pertama. Awal Oktober 2018 diperpanjang.

“Jika masih ada permintaan droping air bersih, tak ada hujan hingga akhir Oktober, status darurat kekeringan diperpanjang,” kata Ariadi, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kulon Progo.

Hujan belum turun sampai pekan ketika Oktober. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kata Ariadi, memprediksi hujan turun di pekan kedua November. Di saat itu, kemungkinan sumber air belum bisa mengeluarkan air, karena sebagian besar mengering. Masyarakat kesulitan mengakses air bersih.

BPBD Kulon Progo, katanya, telah menyalurkan bantuan air sekitar 1.400 tanki pertanggal 19 Oktober. Masih ada 440 tanki, diprediksi cukup hingga musim hujan datang.

Tak hanya di Kulon Progo, Bantul dan Gunung Kidul juga mengalami kelangkaan air bersih. Edy Basuki, Kepala Pelaksana BPBD Gunung Kidul mengatakan, lima kecamatan masuk kategori zona merah. Ada 14 kecamatan di kabupaten itu alami kekeringan ekstrem akibat musim kemarau panjang.

BPBD Gunungkidul sampai saat ini terus droping air bersih ke masyarakat. Selama kekeringan, bantuan air yang sudah tersalur 4.930 kali. Jumlah itu, katanya, total dari droping air dari APBD Gunungkidul dan sejumlah bantuan pihak lain. Tiap tanki 5.000-6.000 liter.

“Dampak kekeringan yang kian meluas, BNPB akan mempertimbangkan penetapan status tanggap darurat kekeringan di Gunungkidul.”

Bertambahnya wilayah terdampak kekeringan diikuti peningkatan warga terdampak. Sebelumnya, 96.523 orang di Gunungkidul terdampak kekeringan, saat ini jumlah kian bertambah jadi 122.104 jiwa.

“Dalam waktu dekat kami akan rapat koordinasi membahas apakah status tanggap darurat diterapkan,” kata Edy.

Di Bantul, lima kecamatan rawan kekeringan. Data rilis BMKG Yogyakarta akhir dua lalu menyebutkan, Kecamatan Imogiri selama 180 hari tak hujan, Kasihan (177 hari), Kretek (151 hari). Di Bantul, catatan BPBD lima kecamatan sudah lama tak hujan. Lima kecamatan itu Dlingo, Imogiri, Kasihan, Piyungan, dan Pundong. Di Jawa Tengah, kekeringan melanda 828 desa, sejak akhir September lalu. Dipastikan jumlah makin meluas.

Sarwa Pramana, Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BPBD Jateng, mengatakan, desa itu tersebar di hampir semua kabupaten dan kota di Jateng.

 

Kali di Pantura kering akibat kemarau panjang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng, terakhir, kekeringan di 233 kecamatan dan 850 desa di Jateng yang kekurangan air bersih. Sejauh ini, total 13.242 tangki air bersih dikirimkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga setempat.

Daerah lain dilanda kekeringan lainnya menurut data BPBD Jateng, antara lain Kabupaten Blora, dengan 10 kecamatan dan 86 desa terdampak, Kebumen 11 kecamatan dan 49 desa, serta Banyumas 12 kecamatan dan 42 desa. Masing-masing daerah itu telah menerima sekitar 1.000 lebih tangki berisikan air bersih.

Arfian Nevi, mengatakan, kekurangan air musim kemarau harus diwaspadai. Karena masa kesulitan air dan banyak debu beterbangan khawatir membawa virus maupun kuman penyakit.

“Meski musim kering namun masyarakat tetap menjaga kebersihan dengan rutin mencuci tangan setelah beraktivitas, terutama saat sebelum makan. Bila keadaan darurat, bisa pakai cairan pembersih tangan khusus,” katanya.

Apabila menyentuh makanan tanpa cuci tangan, katanya, virus atau kuman lebih mudah masuk ke tubuh manusia. Banyaknya debu juga bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut. Solusinya, masyarakat diminta mengenakan masker saat di luar ruangan, terutama saat mengendarai sepeda motor.

 

Lahan pertanian kering, ancam pasokan pangan?

Kekeringan tak hanya berdampak pada air bersih langka juga mengancam hasil pertanian. Prediksinya, hujan baru turun di sejumlah wilayah bulan ini. Lampung, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, merupakan wilayah paling parah kekeringan.

Kemarau tahun ini, katanya, diprediksi lebih panjang 20 sampai 30 hari jika dibandingkan periode 2015-2017.

Ahmad Heri Firdaus, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, kemarau panjang tahun ini bisa mengancam kedaulatan pangan.

Saat ini, katanya, banyak wilayah pertanian di Pulau Jawa, mengalami puso (gagal panen). Padahal, Jawa, merupakan sentra pangan yang menyumbang sekitar 60% dari luas lahan pertanian Indonesia.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bencana kekeringan melanda 11 provinsi, 111 kabupaten dan kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa.

Sebagian besar sentra beras dan jagung, seperti Jawa Timur, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lain.

Berdasarkan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko kekeringan di Indonesia mencapai 11,77 juta hektar tiap tahun. Bencana kekeringan berpotensi menimpa 28 provinsi di nusantara.

Andi Syahid Muttaqin, akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, mengatakan, kemarau tahun ini sangat unik. Bagian utara Khatulistiwa tak mengalami musim kemarau berkepanjangan. Bahkan saat ini sudah musim hujan.

Daerah selatan Indonesia, katanya, justru kemarau dengan parah dan lama. Kemarau berkepanjangan ini, katanya, tak terlepas dari fenomena alam Monsun India.

“Indeks Monsun India tahun ini lebih kuat. Normal 10 m/s, tahun ini 15 m/s, bahkan ada sampai 17 m/s,” kata Andi.

Dia perkirakan kemarau panjang dampak Munson India ini bisa berakhir pada 10 hari pertama November. Masalahnya, saat sama muncul siklus panas El-Nino yang akan mengurangi intensitas curah hujan.

 

Lahan kekeringan di persawahan dekat PLTU Cilacap. Tak hanya dampak kemarau, debu PLTU juga menyebabkan hasil panen menurun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

El-Nino, katanya, akan terjadi sepanjang November 2018-Maret 2019, periode masa tanam hingga panen raya pertama untuk padi.

Kemarau panjang, katanya, telah membuat paceklik di banyak tempat di Pulau Jawa. Salah satu pulau utama penyumbang 60% lahan pertanian di Indonesia.

Studi Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menyebutkan, 39,6% dari 14 kabupaten sentra padi mengalami penurunan produksi 39,3% karena kemarau panjang. Kalau basah, katanya, biasa produksi padi naik.

“Jika kering, biasa produksi padi menurun,” kata Dwi Andreas, Ketua AB2TI.

Penurunan produksi musim kemarau, katanya, bukan hanya terjadi 2018. Setidaknya berlangsung selama delapan tahun terakhir. Kalaukemarau panjang terjadi, kata Andreas, musim tanam padi mundur dibandingkan waktu normal. Biasa, siklus tanam musim hujan mulai Oktober hingga Desember.

Kondisi ini, katanya, akan membuat panen padi terlambat dibandingkan waktu normal. Akhirnya, setok beras nasional berkurang untuk menutupi produksi telat. Kalau musim tanam mundur satu bulan, katanya, berarti setok terkuras 2,5 juta ton.

Catur Wahyudi, Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng mengatakan, hingga awal Oktober 2018, kekeringan terjadi pada lahan padi seluas 1.801,8 hektar, 115,2 hektar puso.

“Untuk jagung, hanya  sedikit kekeringan, tiga hektar. Begitu pula  kedelai  luas  141 hektar,”

Kekeringan terjadi di sebagian wilayah Jateng sejak pertengahan tahun ini tak  sampai mengubah jadwal tanam. Meskipun begitu, beberapa langkah mereka lakukan guna mengantisipasi masa kekeringan  panjang dengan pemompaan air. Selain itu, kata Catur, curah hujan  tinggi mulai Desember 2018 hingga Februari 2019. Untuk beberapa daerah, sudah mengalami beberapa kali hujan pada  Oktober.

“Sebagian daerah sudah melaporkan hujan dan mulai berawan.”

Pada  puncak kekeringan Agustus lalu, lahan padi  terdampak kekeringan di Jateng  sekitar 4.201,5 hektar termasuk 130,5 hektar  puso. Kekeringan lahan jagung  32 hektar dan 16 hektar  puso. Untuk kedelai, luas lahan  terdampak  594 hektar.

 

Yenni Puspita menunjukkan lokasi Sendang Sumur yang dulu dijadikan tempat pengambilan air ketika musim kemarau. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Faktor perubahan iklim

Kemarau dan kekeringan air dan lahan pertanian di berbagai wilayah di Indonesia tak luput dalam bahasan Konferensi Internasional Manajamen Sumber Daya Lingkungan Global di University Club Universitas Gajah Mada, 22-23 Oktober lalu.

Konferensi diikuti ratusan tim peneliti dari Taiwan, Belanda, Singapura dan dari beberapa negara Eropa ini menyampaikan pengelolaan sumber daya di lingkungan yang mengalami penurunan kualitas karena proses konversi lahan, pertambahan penduduk dan aktivitas manusia dalam mengelola alam yang tak mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan.

Sudarmadji, peneliti Hidrologi Fakultas Geografi UGM, mengatakan, meski sumber saya air terbarukan bukan berarti hal itu tak terbatas. Dia membagi tiga persoalan sumber daya air, yakni kelangkaan air apabila jumlah sedikit, terlalu banyak air menyebabkan bencana banjir atau kondisi air sangat kotor karena pembuangan sampah (limbah) sembarangan.

“Kelangkaan air karena pertambahan penduduk, lalu konversi lahan menyebabkan air tanah turun, juga aktivitas manusia sektor pertanian, industri dan pariwisata,” katanya.

Sumber daya air berubah, katanya, karena faktor seperti perubahan iklim global yang menyebabkan durasi musim hujan dan kekeringan tak menentu.

Perubahan iklim, katanya, menyebabkan perubahan sumber daya air. Penduduk dunia, katanya, berhadapan pada persoalan kelangkaan air bersih, kekeringan dan bencana banjir. Untuk itu, strategi mengelola sumber daya air sangat penting. Dia contohkan, seperti kearifan lokal masyarakat pedesaan yang masih menjaga sumber mata air.

“Di pedesaan masih banyak yang menjaga mata air, bahkan ada yang jadikan mata air sebagai tempat keramat. Itu kearifan lokal.”

Dia bilang, solusi menjaga sumber mata air, salah satu dengan mempertahankan sumber agar tetap ada dan memenuhi keperluan masyarakat.

Sementara itu, Tsung Yu Lee , peneliti dari National Taiwan Normal University, Taiwan, memaparkan, soal perubahan iklim yang menyebabkan air hujan berlimpah berbuntut longsor atau angin topan seperti di Taiwan.

Dalam dua tahun, katanya, terjadi peningkatan intensitas kadar curah air hujan hingga 20% dengan rata-rata 3.000 mm per tahun. “Dengan curah hujan 600 mm saja bisa longsor apalagi 3.000 mm sering menyebabkan angin topan,” kata Lee.

Dengan curah hujan tinggi, katanya, sudah saatnya negara bisa mengembangkan infrastruktur mengelola air hujan sebagai sumber keperluan air. Ia bisa teralir melalui keran di setiap rumah-rumah penduduk.

 

Keterangan foto utama:   Untuk dapat air bersih kala itu, warga bergantian dapat giliran. Kerja cepat Kepala Desa Mangin membuat warga sudah mengakses air bersih secara langsung di rumah mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version