Mongabay.co.id

Inilah Sejumlah Komitmen OOC 2018 untuk Menyelamatkan Lautan

Greenpeace mendokumentasikan keragaman hayati dan lingkungan di Papua yang terancam dan menanti aksi segera agar terlindungi. Foto: Paul Hilton/ Greenpeace

Dua hari pelaksanaan (29-30/10/2018) Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, menghasilkan setidaknya 287 komitmen senilai USD10,7 miliar untuk menjawab tantangan pengelolaan lautan. Konferensi yang ditutup pada Selasa (30/10/2018) itu juga menghasilkan kawasan konservasi perairan (marine protected area/MPA) seluas 14 juta km persegi.

Dalam sambutan penutupan OOC 2018, Menteri Koordinator Maritim Luhut Pandjaitan menekankan pentingnya upaya penyelamatan laut. “Kita tahu bahwa daratan adalah raja, tetapi lautan adalah ratu. Dan, kita semua tahu bahwa dalam permainan catur, ratu adalah yang terkuat,” katanya.

Sejumlah negara menyampaikan komitmennya dalam penyelamatan lingkungan selama OOC 2018. Mikronesia misalnya berkomitmen untuk mewujudkan transparansi 100% dalam bisnis perikanan tuna. Mereka juga mengajak negara-negara Pasifik lainnya untuk melakukan hal serupa.

Presiden Mikronesia Peter Christian mengatakan negaranya menargetkan akan mencapai komitmen itu pada 2023 melalui kombinasi pemantauan secara elektronik dan manual pada kapal penangkap ikan skala besar yang beroperasi di wilayah perairan mereka. “Komitmen terhadap transparansi dan keberlanjutan dalam perikanan itu diharapkan bisa mengembalikan ketersediaan tuna sekaligus mengurangi penangkapan ikan jenis lain (bycatch), seperti hiu dan penyu, sehingga ekosistem laut di Kepulauan Pasifik tetap terjaga,” katanya.

Komitmen Mikronesia mendapat dukungan LSM global The Nature Conservancy (TNC), dengan pendanaan sebesar USD250.000 untuk mendorong para pihak termasuk industri, lembaga filantropi, dan organisasi multilateral lain melakukan hal serupa.

baca :  Menakar Komitmen Global Penyelamatan Samudera Dunia pada OOC 2018

 

Seorang peserta OOC 2018 di Bali, Selasa (30/10/2018) melewati papan pemantauan perkembangan komitmen dari OOC sebelumnya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Perusahaan

Selain komitmen pemerintah, sejumlah perusahaan global juga menyampaikan komitmen mereka dalam penyelamatan lautan. Coca-cola, yang oleh Aliansi Break Free From Plastic (BFFP) disebut sebagai salah satu dari tiga produsen sampah plastik terbesar di dunia, turut memberikan komitmen tersebut.

Coca-cola meluncurkan komitmen global bernama World Without Waste, dengan target 50% kemasan produknya menggunakan bahan daur ulang pada 2025. Pada 2030, targetnya 100% kemasannya yang bisa didaur ulang. Komitmen ini akan dilakukan secara global di seluruh negara di mana Coca-cola berada, termasuk di Indonesia.

“Ini komitmen global dan jangka panjang yang tidak bisa selesai dalam setahun dua tahun. Perlu 5-7 tahun untuk mencapainya,” kata Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Coca-cola Indonesia, Triyono Prijosoesilo.

baca :  Jokowi: Jangan Terlambat Berbuat untuk Laut Kita

 

Coca-Cola menyampaikan komitmen World Without Waste saat berbicara di OOC 2018, di Bali, Selasa (30/10/2018). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pendanaan Abadi

OOC yang diadakan pertama kali pada 2014 memang sebuah konferensi yang bersifat sukarela bagi parapihak yang ikut. Tidak ada kesepakatan formal yang mengikat (binding agreement) bagi mereka untuk memenuhi komitmen tersebut.

Namun, menurut Wakil Presiden Conservation Internasional (CI) Indonesia Ketut Sarjana Putra, komitmen tersebut tetap penting. CI Indonesia, misalnya, membuat komitmen pada OOC 2016 lalu untuk mewujudkan Blue Abadi Fund sebagai pendanaan berkelanjutan bagi konservasi kelautan. Sarjana mengklaim komitmen itu sudah tercapai dan dikelola oleh Yayasan Kehati.

Dalam OOC 2018, CI Indonesia membuat komitmen lain bernama Blue Hello S, insentif dari industri perikanan untuk memberikan pendanaan bagi wilayah konservasi di zona inti konservasi yang dikelilingi wilayah perikanan.

“Seperti donat, lubang di dalamnya adalah kawasan konservasi. Di bagian luar adalah hello-nya, yaitu wilayah tangkap ikan. Kita ingin perikanan dari wilayah situ bisa menyumbangkan kembali hasilnya untuk berinvestasi di konservasi laut,” kata Sarjana tentang konsep komitmen mereka.

Dengan begitu, lanjut Sarjana, masyarakat yang mengelola wilayah konservasi di dalamnya bisa mendapatkan manfaat ekonomi. Contohnya di Raja Ampat, warga bisa membentuk Badan Layanan Umum Derah (BLUD) yang dibiayai dari hasil perikanan dan pariwisata.

“Bisnis perikanan dan pariwisata membutuhkan lingkungan yang baik, kondisi laut bagus, dan biodiversity yang kaya sehingga mereka harus terlibat dalam pendanaan konservasi,” katanya. Sarjana optimis komitmen CI Indonesia untuk mewujudkan Blue Hello S itu bisa diwujudkan dalam lima tahun ke depan.

Sarjana menilai ada kemajuan dibanding konferensi sebelumnya. Misalya isu polusi laut yang baru muncul. “Banyak institusi mulai melihat ini sebagai masalah besar yang harus kita hadapi,” katanya.

baca juga :  Laut adalah Warisan Kita. Masa Warisan Dikotori?

 

Kondisi terumbu karang di Raja Ampat, Papua Barat, Indonesia. Foto : Conservation International/Mongabay Indonesia

 

Catatan Kritis

Arifsyah M. Nasution, Pemimpin Kampanye Kelautan Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia, juga memberikan tanggapan positif terhadap OOC 2018. Pertama, mulai ada mekanisme pemantauan terhadap komitmen parapihak (commitment tracking) untuk melihat sejauh mana kemajuan komitmen tersebut. Kedua, Indonesia telah memimpin proses keterbukaan data ikan melalui vessel monitoring system (VMS) untuk mengecek lokasi kapal pada waktu tertentu. Tahun ini, Peru mulai mengikuti Indonesia.

baca : Our Ocean Conference 2018 Jadi Ajang Pelacakan Komitmen Isu Laut

“Kami berharap makin banyak akan ikut serta untuk mewujudkan transparansi dalam industri perikanan ini, termasuk stok ikan masing-masing negara dan perlindungan di laut lepas,” kata Arif.

Namun, Arif juga memberikan catatan kritis terhadap OOC 2018. Menurut Arif, narasi pemerintah Indonesia di konferensi ini belum seragam. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai co-host konferensi bersama Kementerian Luar Negeri sudah bagus dan menjadi sektor pemimpin di isu konservasi kelautan.

Padahal, menurut Arif, seharusnya itu wilayah Kemenko Maritim atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Mungkin karena konservasi memang memang terkait erat dengan kelautan dan perikanan,” katanya.

Ketidakseragaman suara pemerintah itu juga terlihat dalam isu perubahan iklim dalam konservasi kelautan. Pemerintah Indonesia tidak memiliki mekanisme untuk memastikan mangrove tidak beralih karena ekspansi tambak dan kelapa sawit. Padahal, mangrove dan padang lamun menjadi penyimpan karbon terbesar di kawasan pesisir.

Toh, keberadaan mangrove justru mendapatkan ancaman perluasan tambak dan kebun kelapa sawit. Saat ini bahkan ditambah lagi dengan pembangunan di pesisir, seperti reklamasi. “Tidak jelas siapa yang harus memimpin untuk memastikan penyelamatan mangrove ini dalam konteks perubahan iklim. Masih tumpang tindih,” ujarnya.

 

Raja Fajar Azansyah mengecek kondisi pertumbuhan mangrove yang sudah ditanam sebelumnya sebagai bagian dari upaya perawatan secara berkesinambungan. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Catatan kritis lain, menurut Arif, adalah masih banyaknya komitmen palsu, seperti isu polusi laut. Negara-negara yang berkomitmen belum menunjukkan perubahan dari model bisnisnya. Contohnya komitmen mengarusutamakan produksi dan konsumsi berkelanjutan, tetapi, nyatanya mereka masih fokus didaur ulang, bukan menghentikan.

“Padahal, untuk daur ulang tetap memerlukan energi dan sumber daya yang bisa mencemari lautan. Kalau sudah menjadi sampah, itu cenderung gagal,” katanya.

Untuk itu, solusi terbaik dalam mengatasi masalah sampah plastik di lautan adalah dengan berhenti memproduksi maupun menggunakannya.

Baca : Daur Ulang Sampah Tidak Cukup Melindungi Laut dari Pencemaran Plastik

Bagi kalangan industri, tuntutan itu dianggap tidak masuk akal. Menurut Triyono dari Coca-Cola, plastik merupakan material sangat berguna bagi kita. Kemasan plastik berguna menjaga kualitas produk agar bisa dikonsumsi masyarakat banyak.

“Kami lebih melihat pada bagaimana pengelolaan setelah pemakaian. Plastik itu bahan yang bisa digunakan terus menerus. Karena itu fokus kami pada ekonomi melingkar karena sampah plastik juga juga bisa meningkatkan ekonomi,” kata Triyono.

“Hal lebih penting adalah mencegah agar sampah plastik ini tidak mencemari laut. Kami melihat bagaimana kita bekerja sama menuju arah sana. Yang penting tujuan kita sama, bagaimana menjaga lingkungan untuk anak cucu kita,” lanjutnya.

***

Keterangan foto utama : Greenpeace mendokumentasikan keragaman hayati dan lingkungan di Papua yang terancam dan menanti aksi segera agar terlindungi. Foto: Paul Hilton/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version