Mongabay.co.id

Konservasi Laut Lebih Efektif dengan Keterlibatan Warga Lokal

Salah satu pesisir di pulau yang termasuk dalam kawasan konservasi laut Taman Nasional Perairan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Foto pusluh.kkp

Dengan melibatkan masyarakat lokal, pengelolaan laut melalui konsep kawasan konservasi laut atau marine protected area (MPA) akan lebih efektif. Secara sosial budaya, sebagian besar warga lokal sudah memiliki kearifan untuk menjaga lingkungan. Ketika bertemu konsep konservasi lingkungan modern, kearifan lokal itu akan mendukung pula secara ekonomi.

Abraham Goram, pemimpin masyarakat adat suku Maya Raja Ampat Papua Barat menyampaikan pendapatnya tersebut pada hari pertama Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Senin (29/10). Abraham menjadi salah satu pembicara sesi pleno yang menghadirkan narasumber seperti Presiden Kaledonia Baru Philippe Germain dan mantan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull.

John Kerry, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan penggagas OOC, memandu diskusi dengan hadirin sekitar 300 peserta dari sektor bisnis, organisasi non pemerintah, lembaga penelitian, dan pemerintah.

baca :  Jokowi: Jangan Terlambat Berbuat untuk Laut Kita

 

(kiri ke kanan) Mantan Menlu Amerika John Kerry, Dr. Jane Lubchenco dari Universitas Oregon, Wakil Presiden Republik Panama Isabel De Saint Malo de Alvaro, menjadi narasumber dalam sidang Plenari Kawasan Konservasi Laut pada Our Ocean Conference (OOC) 2018, di Nusa Dua, Bali, Senin (29/10/2018). Foto : ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Idhad Zakaria/Mongabay Indonesia

 

Menurut Abraham, dalam kepercayaan suku Maya tanah adalah ibu dan laut adalah ayah. Keduanya menyediakan kehidupan sehingga harus dijaga dengan baik. Karena mereka yang memberi makan. “Dengan pemahaman seperti itu, maka kami menjaga tanah dan laut, seperti kami menjaga orang tua kami sendiri,” katanya.

Untuk menjaga wilayah tertentu, masyarakat adat juga memiliki kawasan keramat, disebut zona mon, lokasi tertentu yang tak boleh diganggu, termasuk untuk menangkap ikan. Warga percaya, jika zona itu diganggu, warga bisa sakit sampai mati.

Selain itu, warga juga memiliki tradisi sasi, hukum adat yang melarang warga adat mengambil sesuatu di lokasi tertentu. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut.

Abraham mengatakan kepercayaan dan tradisi lokal kemudian bertemu dengan konsep konservasi modern yang dibawa lembaga konservasi, termasuk Conservation International Indonesia dan The Nature Conservacy (TNC), ketika Kabupaten Raja Ampat baru terbentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Sorong, Papua Barat.

Sebagai kabupaten baru, Raja Ampat sempat mengalami dilema. Apakah akan mengandalkan pendapatan dari pertambangan yang cepat menghasilkan, tetapi berdampak pada kerusakan lingkungan atau pada pariwisata yang lebih berkelanjutan, tetapi hasilnya lebih lama untuk bisa dinikmati.

baca juga :  Sasi, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal Di Raja Ampat

 

Abraham Goram (kiri) saat selesai menjadi pembicara dalam sidang Plenari Kawasan Konservasi Laut pada Our Ocean Conference (OOC) 2018, di Nusa Dua, Bali, Senin (29/10/2018). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Deklarasi Tomolol

Berdasarkan masukan dari organisasi lingkungan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Raja Ampat sepakat mengutamakan pariwisata dan kelautan daripada pertambangan. Lahirlah Deklarasi Tomolol pada Desember 2013 sebagai panduan pembangunan di Raja Ampat. Dalam deklarasi itu hadir pula masyarakat adat, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah.

“Prosesnya bisa cepat karena sudah ada kearifan lokal ala kampung kemudian bertemu konservasi ala kampus. Jadilah satu kesatuan sesuai pola hidup masyarakat,” katanya.

Berbekal Deklarasi Tomolol itu, warga adat bersama organisasi non-pemerintah lalu memetakan wilayah-wilayah laut adat sebagai wilayah konservasi laut. Sebelumnya, wilayah mereka relatif terbuka sehingga terjadi praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, seperti pengeboman, pukat harimau, penggunaan potasium, dan lain-lain.

Setelah ada peta wilayah konservasi laut, warga adat pun terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian. “Manfaatnya, penangkapan ikan sekarang menggunakan cara-cara berkelanjutan. Nelayan besar tidak bisa masuk wilayah adat tertentu secara sembarangan,” kata Abraham.

 

Yefta Mjam dan istri, warga Kampung Folley, Rajat Ampat, Papua Barat, merasa bersyukur dengan adanya pendampingan TNC terkait konservasi dan pengelolaan sasi di kampungnya. Hasil sasi yang bagus sangat membantu perekonomian masyarakat. Sasi diibaratkan sebagai tabungan bagi warga. Foto : Nugroho Arif Prabowo/TNC/ Mongabay Indonesia

 

Secara ekonomi, menurut Abraham, warga kini bisa memanfaatkan wilayahnya sebagai daerah tujuan pariwisata. Dengan konsep sasi, mereka bisa panen teripang yang nilai jualnya sekitar Rp1 juta/kg.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Abraham mengatakan, penting untuk melibatkan masyarakat adat sehingga mereka juga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dan ekologi. Masyarakat yang dulu terlibat pengrusakan, sekarang berkurang. Masyarakat yang dulu memanfaatkan untuk makan saja, sekarang bisa untuk ekonomi.

“Masyarakat adat bisa terlibat dalam konservasi. Di satu sisi memanfaatkan lingkungan, tetapi di sisi lain juga melestarikannya,” ujarnya.

 

Terbesar di Dunia

Dalam sesi yang sama, Malcolm Turnbull juga mengatakan pentingnya keterlibatan komunitas lokal dalam konservasi wilayah laut. Salah satu wilayah perairan yang mendapatkan perhatian Australia adalah Great Barrier Reef atau yang biasa cukup disebut The Reef.

The Reef merupakan kawasan taman laut seluas 344.400 km persegi. Kawasan di sisi utara Australia ini menjadi rumah bagi 1.625 jenis ikan dan 3.000 terumbu karang. The Reef menciptakan 64.000 pekerjaan dan menghasilkan 6,4 miliar dolar Australia tiap tahun.

Namun, The Reef makin tertekan terutama dari kenaikan suhu laut akibat perubahan iklim dan sampah plastik. “Kondisi ini memerlukan perhatian tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dukungan lembaga lain, termasuk lembaga filantropi, perusahaan bisnis, dan investasi non-profit,” katanya.

Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah Australia bekerja sama dengan masyarakat lokal, termasuk warga adat, petani, dan komunitas. Dengan petani, misalnya, mereka bekerja untuk memastikan agar petani tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia dan mencegah agar tidak membuat erosi yang merusak laut.

Pemerintah lokal juga bekerja sama dengan komunitas setempat dan Blue Foundation untuk membersihkan pantai dari sampah plastik dan peningkatan kesadaran untuk mencegah agar sampah laut tidak sampai di The Reef.

 

Head of Delegation Australia Malcolm Turnbull, menjadi narasumber dalam sidang Plenari Kawasan Konservasi Laut pada Our Ocean Conference (OOC) 2018, di Nusa Dua, Bali, Senin (29/10/2018). ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Idhad Zakaria/Mongabay Indonesia

 

Secara nasional, Australia telah meningkatkan kawasan konservasi lautnya secara signifikan. Pada Juli 2018 Australia membuat rencana jaringan MPA lima tahun mencakup 2,3 juta km persegi wilayah perairan dengan alokasi 56 juta dolar Australia. Hal itu membuat saat ini Australia memiliki enam wilayah MPA dengan luas terbesar di dunia mencakup sepertiga luas wilayah perairannya.

“Saat ini hampir 70 persen wilayah taman laut Australia mendapat pengamanan tingkat tinggi dan pada saat yang sama memberikan manfaat melalui perikanan berkelanjutan, pariwisata, dan kegiatan ekonomi berkelanjutan lainnya. Tentu dengan memastikan kesehatan laut tetap terjaga,” kata Turnbull.

 

Seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea) kembali ke laut setelah bertelur di kawasan Taman Pesisir Jeen Womom, Tambrauw, Papua Barat. Jeen Womom ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) berbentuk Taman Pesisir untuk wilayah konservasi utama bagi 6 jenis penyu yang ada di Indonesia. Foto : WWF-Indonesia / Mongabay Indonesia

 

Kompleks dan Besar

Pembicara lain Jane Lubchenco, ahli ekologi kelautan Oregon State University, mengatakan MPA adalah penyembuh utama saat kondisi laut kian dalam ancaman, seperti penurunan kualitas dan kerusakan ekosistem laut.

“Masalah laut yang belum kita antisipasi sangat kompleks dan besar. Namun, ada harapan muncul pula di dunia melalui MPA,” katanya.

Menurut Jane, ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa MPA menyediakan perlindungan secara lingkungan, ekonomi, dan sejarah satu kawasan.

Konferensi semacam OOC, menurutnya, bisa memberikan panduan lebih jelas tentang MPA itu. Jane dan mahasiswanya sudah melihat sejauh mana komitmen terkait MPA dalam empat kali OOC sebelumnya telah dilaksanakan. Separuh komitmen diantaranya, telah dilaksanakan.

“Saya menyarankan kepada Anda, inilah waktu tepat untuk melaksanakan (komitmen) apa yang telah diumumkan, perjelas dan buatlah lebih transaparan tentang MPA. Ikuti panduan yang sudah dibuat. Kita perlu investasi lebih banyak di MPA,” tegasnya.

***

Keterangan foto utama : Salah satu pesisir di pulau yang termasuk dalam kawasan konservasi laut Taman Nasional Perairan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Foto pusluh.kkp/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version