Mongabay.co.id

Amankan Hutan Desa Pemandang dari Perambahan, Petugas Dihadang Massa

Alat berat yang disita petugas dari hutan desa yang terambah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Hutan Desa Pemandang, Riau, terambah. LPHD lapor ke Menteri Siti. Tim Penegakan Hukum turun dan mengamankan lima orang yang bersama-sama lakukan perambahan di hutan desa itu. DI tengah perjalanan, tim penegakan hukum sempat dihadang massa, walaupun mereka akhirnya bisa digalau.

 

Jelang tengah hari, 20 Oktober lalu, lima mobil tim satuan polisi kehutanan reaksi cepat (SPORC) meluncur di Desa Pemandang, Kecamatan Rokan IV Koto, Rokan Hulu, Riau.

Tim berjumlah 25 orang dibantu anggota Korem, langsung berpencar di dua titik yang jadi target operasi. Mereka mengamankan satu eksavator kala sedang beroperasi dan satu lagi sedang dijaga.

Jarak antara kedua alat itu sekitar satu kilometer. Dekat alat yang dijaga ada pondok. Alat berat jenis Hitachi warna oren itu langsung dinaikkan ke trado.

Yusuf Widayanto, Ketua Tim Operasi, mengatakan, sekitar empat jam memindahkan eksavatof ke kendaraan angkut. “Selain kondisi berbukit juga hujan saat itu.”

Tim juga mengamankan seorang operator alat bersama pembantu dan dua penjaga alat. Mereka dan alat yang belum diketahui pemiliknya itu, langsung dibawa ke markas Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah II Sumatera. Tak ada perlawanan pada tim.

Sekitar pukul 17.30, saat berada di Simpang TB Kecamatan Tandun, kendaraan tim yang beriring-iringan dihadang sekelompok massa. Sekitar 30 orang berkendara roda empat dan satu truk. Beberapa dari mereka memakai baju loreng oren kombinasi hitam dan cokelat.

Perjalanan tim benar-benar terhenti setelah sebuah Fortuner melintang di hadapan trado. Sopir disuruh turun dan kunci trado dipreteli.

Seketika lepas satu kali tembakan ke udara. Massa yang membawa senjata tajam itu langsung lari meninggalkan lokasi. Satu orang berhasil ditangkap berikut mobil yang menghalang karena tak sempat larikan diri.

Setelah itu, perjalanan tim berlangsung mulus sampai tiba di belakang Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau, markas BPPHLHK.

Selama tiga hari, empat orang itu diperiksa. Zulbahri, penyidik BPPHLHK mengatakan, dua orang jaga alat adalah juru masak. “Kebetulan operator alat dijaga dua orang itu tak ada di lokasi.” Keempatnya, sudah bekerja sekitar sebulan di lahan.

Selain empat orang tadi, inisial H ditangkap saat menghalang perjalanan tim juga diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka. Dia kini ‘nginap’ di Rumah Tahanan Sialang Bungkuk.

Zulbahri mengatakan, selama H diperiksa, bosnya dari Rokan Hulu beberapa kali menjenguk. “Si H mengaku diperintah ketua pimpinan anak cabang Tandun saat menghadang tim.”

Penyidik tengah mencari pemilik alat dan lahan yang dibersihkan oleh operator. Dari keempat orang yang diperiksa tadi, pemilik lahan berinisial HI.

Zulbahri hanya menyebut inisial dari semua nama yang diperiksa dan yang sedang dicari. “Biar orangnya tak lari.”

 

Mobil massa yang berhasil diamankan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Warga lapor menteri

Sebelum tim SPORC melakukan operasi lapangan, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Pemandang berkirim surat pada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Mereka melaporkan pembukaan hutan dalam hutan desa yang mereka kelola. Dalam sejumlah keterangan media, Eduard Hutapea, Kasi BPPHLHK Wilayah II Sumatera, menyebut, Siti langsung perintahkan tim cek lokasi. Kebenaran itu terungkap satu minggu sebelum tim mengamankan alat berat dan orang-orangnya.

“Kami verifikasi terlebih dahulu. Tim juga masih di lokasi ketika kami meluncur. Informasi dan titik lokasi sudah benar-benar akurat.”

Apidian, Kasi Perlindungan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Rokan, membenarkan, penyitaan oleh tim Gakum Oktober lalu. KPH Rokan juga terima tembusan surat yang dikirim Ketua LPHD Pemandang dan berkoordinasi dengan Tim Gakum. Sebelumnya, mereka meninjau lokasi yang dilaporkan namun tak melihat alat berat bekerja, hanya ada bekas pembukaan hutan.

“Perambahan itu oleh orang luar bukan masyarakat yang mengelola hutan desa,” kata Apidian.

Sebenarnya, Ajira Ketua LPHD Pemandang, sudah beberapa kali memperingatkan pada pihak yang menebang hutan.

Puncaknya, Ajira lapor ke Gakum KLHK.

“Bagaimanapun hutan desa yang mereka kelola di bawah naungan menteri langsung. Mereka sesuka hati bawa masuk alat berat tanpa sepengetahuan kami. Padahal, hutan desa itu sudah disahkan menteri,” katanya.

Asal muasal pemberian hak kelola hutan desa pada masyarakat Pemandang mulai 2010. Sejak itu, pejabat kecamatan dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indragiri Rokan sosialisasi perhutanan sosial.

Masyarakat didamping dan difasilitasi ketika menyerahkan usulan pada bupati hingga kementerian.

Yosrizal, penyuluh di KPH Rokan, mengatakan, setelah usulan pada 2014 baru penetapan areal kerja oleh kementerian. Pada 2017, KLHK menerbitkan surat keputusan sekaligus mengesahkan LPHD Pemandang. Yos, saat itu Kabid Perhutanan Sosial pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Rokan Hulu.

Luas hak kelola hutan desa yang diberi pada masyarakat Pemandang sekitar 8.000 hektar lebih dari 10.000 yang diusulkan. Rencana Pengelolaan Hutan Desa (RPHD) yang disusun oleh LPHD telah disahkan oleh penyuluh setempat.

“Benar, RPHD Pemandang sudah disahkan, kami belum terima berkas administrasi,” kata Apidian.

KPH Rokan mulai operasional awal tahun lalu alias lebih dahulu SK Hutan Desa Pemandang dikeluarkan menteri.

Kata Ajira, mereka telah kerjasama dengan pihak ketiga untuk mengembangkan potensi dalam hutan desa dengan model bagi hasil.

LPHD dan mitra itu juga mendatangkan ahli meninjau lokasi untuk melihat kultur tanah yang cocok untuk tanaman.

Masyarakat hendak tanam pinang, aren, petai, jernang dan durian. Buah dengan kulit berduri ini memang jadi andalan di Pemandang. Masyarakat juga berencana memanfaatkan masa panen durian sebagai penghasilan baru dengan model jasa lingkungan atau jadi ekowisata.

Sekarang, di lapangan mereka tinggal menatabatas untuk menentukan zona-zona yang akan dikembangkan.

Persoalannya, akses menuju lokasi terutama pada musim hujan. Selain jauh dari pusat kabupaten, jalan berbukit-bukit dan masih tanah jadi sulit ditempuh.

Sebenarnya, kata Yosrizal, sekitar 20% hutan desa itu sudah ditanam sawit oleh masyarakat. Sebagian dari mereka sudah diajak berunding. Mereka paham dan ikhlas, dalam waktu tertentu sawit harus berganti tanaman hutan.

Namun, katanya, persoalan makin bertambah, dengan kepimilikan lahan secara pribadi sampai ratusan hektar.

“Mereka kalau dipanggil kucing-kucingan tak mau bertemu. Tahu areal itu sudah ditetapkan hutan desa malah mereka jual pada orang lain. Bertambah lagi persoalannya,” kata Yosrizal.

 

Keterangan foto utama:   Alat berat yang disita petugas dari hutan desa yang terambah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version