Jika mampu menyelamatkan Sungai Citarum, sejatinya kita telah menjaga keutuhan dan ketahanan bangsa ini. Bagaimana tidak, sungai yang mengalir sepanjang 297 kilometer ini mampu mendukung kehidupan lebih dari 27 juta manusia yang tinggal di Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Berdasarkan Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum Ciliwung, luas seluruh DAS Citarum mencapai 721.945,66 hektar. DAS ini menjadi penting, karena menjadi sumber 80 persen kebutuhan air minum penduduk Jakarta. Citarum juga menjadi penyedia air bagi 420 ribu hektar area persawahan, yang membuat lahan irigasi di Cianjur dan Karawang menjadi lumbung pangan warga Jawa Barat sejak zaman dahulu.
Ironinya, saat ini Citarum kritis dan sarat dengan permasalahan. Mulai dari hulu hingga hilir kondisinya memprihatinkan. Timbunan sampah plastik, pencemaran limbah rumah tangga, hingga limbah industri sudah menjadi masalah akut sejak puluhan tahun lalu. Hasil temuan, sedimentasi mencapai 4-7 juta m3 per tahun di Bendung Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
Baca juga: Limbah yang Tak Pernah Henti Meracuni Sungai Ciliwung
Di wilayah Citarum hulu, hilangnya hutan dan kawasan resapan air terjadi secara masif. Akibatnya laju aliran permukaan (run off) terjadi, yang turut menghasilkan sedimentasi tinggi.
Untuk permasalahan sedimentasi, PT Pembangkit Jawa-Bali menyebut biaya yang dikeluarkan untuk mengeruk dan menyelesaikan sedimentasi Waduk Cirata selama tiga dekade sudah mencapai 7 triliun, -lebih mahal dari biaya membuat sebuah waduk baru. Turunnya debit air juga memicu percepatan korosi, memperpendek usia waduk dan tak efisiennya kerja mesin PLTA.
Rusak dan tercemarnya Citarum oleh limbah berbahaya sudah menjadi hal nyata.
Ikan dari Waduk Cirata dan Saguling dilaporkan tercemar berat. Mengkonsumsi ikan dalam waktu lama dari waduk ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Dari empat unsur logam berat yang diuji di air Waduk Cirata, tiga diantaranya melebihi ambang batas dalam Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 82/2001.
Untuk timbal (Pb), kandungan di air adalah 0,036 part per million (ppm) dari ambang batasnya 0,03 ppm. Krom (Cr) 0,045 ppm dari ambang batas 0,05 ppm. Kadmium (Cd) 0,032 ppm dari ambang batas 0,01 ppm. Merkuri (Hg) 0,011 ppm dari ambang batas 0,001 ppm. Hal serupa juga terjadi di Waduk Saguling. Air, endapan danau, dan ikan di waduk itu tercemar logam berat jenis Pb, Cd, Cr, dan Hg (Kompas, 29 Juni 2018).
Strategi Penataan Citarum
Berbagai proyek dan program untuk membenahi masalah Sungai Citarum telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemprov Jawa Barat sejak tahun 2001. Terakhir, sejak tahun 2014 Pemprov Jabar kembali membuat program yang diberi nama Citarum Bestari.
Sejauh ini, keberhasilan program tersebut perlu dikaji secara obyektif. Namun yang jelas, sudah hampir 16 tahun program pemulihan berjalan, permasalahan di sungai sampai saat ini masih saja belum terurai.
Permasalahan utama yang sulit ditindak adalah permasalahan pembuangan limbah oleh sejumlah pabrik nakal yang beroperasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS).
Data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyebut, terdapat sekitar 2.800 pabrik yang bangunannya berada di area sempadan sungai Citarum. Buruknya pengelolaan ditambah minimnya kontrol, membuat 280 ribu ton cemaran limbah cair per harinya masuk ke aliran sungai. Belum ditambah 1.500 ton sampah domestik rumah tangga per hari yang menambah beban Citarum.
Pada akhir tahun 2017, Pangdam III Siliwangi (waktu itu) Mayjen Doni Monardo menginisiasi program Citarum Harum, yang tujuannya ingin mengembalikan fungsi sungai dan menyelesaikan masalah Citarum dari hulu sampai hilir.
Apa yang diinisiasi Doni Monardo lalu mendapat dukungan penuh Presiden Joko Widodo lewat terbitnya Perpres Nomor 15/2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum. Disaat kunjungannya terakhir ke Cisanti, -di hulu Citarum, Jokowi menargetkan pemulihan Citarum harus bisa dituntaskan dalam waktu tujuh tahun.
Strategi yang dilakukan oleh Panglima Doni adalah melakukan “perang” terhadap kerusakan Citarum. Aliran Citarum dibagi menjadi 22 sektor, dengan setiap sektor koordinasinya dipimpin oleh perwira berpangkat kolonel. Komunikasi dibangun dengan berbagai pihak; termasuk lembaga/kementerian, akademisi, mahasiswa, komunitas, ulama, budayawan, media dan aktivis.
Dalam implementasinya, setiap Komandan Sektor (Dansektor) diinstruksikan untuk melakukan pemetaan permasalahan, melakukan aksi dan melaporkan perkembangan yang dilakukan. Tak berlama-lama, prajurit langsung turun ke lapangan, mengecek instalasi pembuangan limbah milik perusahaan dan pabrik. Perusahaan nakal pun diperingatkan, -bahkan hingga dicor semen (blokade) pembuangan limbahnya, untuk yang masih membandel.
Di kawasan hulu, Dansektor memetakan kepemilikan lahan dan permasalahan yang ada. Beberapa aksi pun dilakukan dari pemindahan beberapa lokasi usaha yang tidak tepat hingga pengembangan pembibitan dan melakukan penanaman tanaman keras di lokasi hulu.
Namun Doni menyebut strategi terpenting penyelamatan Citarum adalah pada budaya di tingkat masyarakatnya.
“Membersihkan sungai ini penting, tapi yang lebih penting lagi adalah membersihkan hati masyarakat yang masih belum peduli terhadap lingkungan. Kebersihan sungai dan lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah,” sebutnya kepada penulis.
Meski saat ini menjabat sebagai Sekjen Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) dan sudah naik pangkat menjadi Letjen, Doni Monardo menyebut mengawal pemulihan Citarum masih menjadi komitmennya.
Kompleksnya permasalahan di Ciitarum membutuhkan pendekatan, pola dan strategi baru dalam penyelesaian permasalahan. Pengalaman hampir dua dekade menjadi bukti bahwa pendekatan sektoral tak akan dapat berhasil. Sekarang, Presiden sendiri turun tangan di Citarum lewat Perpres yang dibuat.
Pencemaran dan limbah di Citarum sudah dalam taraf membahayakan bagi kesehatan manusia Indonesia dalam jangka panjang. Hal ini akan menimbulkan kerugian finansial, bencana kemanusiaan, bahkan bisa mengancam ketahanan bangsa.
Model keterlibatan perwira tinggi TNI dan para prajuritnya bersama masyarakat yang tinggal di aliran sungai Citarum akan membuat sejarah baru jika nantinya Citarum berhasil diselamatkan. Bukan hal mustahil jika revitalisasi atau penyelamatan Citarum sukses, hal ini dapat direplikasi di DAS kritis lainnya di Indonesia.
Foto utama: Tampak udara dari limbah dan sampah yang ada di Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
* Een Irawan Putra, Direktur Eksekutif Rekam Nusantara-Indonesia Nature Film Society. Tulisan ini juga diterbitkan sebagai bagian dari Buku Harumkan Citarum – BPDASHL Citarum Ciliwung.