Mongabay.co.id

Kajian UGM: 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan, 65% Milik Pengusaha, Solusinya?

Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, pada Kamis, (25/10/18) meluncurkan hasil pengolahan data perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan dan ilegal. Temuannya, seluas 2,8 juta hektar kebun sawit berada di kawasan hutan, 35% dikuasai mastarakat, 65% pengusaha. Izin pelepasan dan izin pinjam pakai kawasan hutan pun pada beberapa kasus tak melalui skema perizinan reguler atau ilegal.

Budiadi, Dekan Fakultas Kehutanan UGM kepada Mongabay mengatakan, kebun di kawasan hutan jadi status ilegal. Hasil olahan data mereka mencatat dari jumlah itu, sekitar 35% merupakan kebun masyarakat, sisanya, dikelola perusahaan.

Dia bilang, perkebunan sawit masih jadi isu menarik di tengah masyarakat terlebih kebun sawit banyak menimbulkan persoalan-persoalan lingkungan dari mengancam keragaman hayati, sampai penyebab bencana hidrometrologis.

“Sebagai lahan monokultur sawit dianggap sebagai penyebab banjir di musim hujan dan kekeringan kala kemarau. Sawit juga dianggap penyebab kabakaran hutan dan asap yang meluas hingga mengganggu negara tetangga,” kata Budiadi.

Kebun sawit kawasan hutan menimbulkan berbagai dampak buruk bagi ekosistem hutan alam yang heterogen. Ekspansi kebun sawit di Indonesia, merupakan respon terhadap meningkatnya permintaan produk-produk olahan sawit di pasar global.

“[Kalau sudah ada] sawit memicu kebun-kebun sawit baru di sekitarnya.”

Namun, katanya, ekspansi ini menimbulkan permasalahan kompleks pada negara produsen, terutama karena ada tekanan dari negara-negara yang mempunyai peraturan lingkungan dan kelestarian produk ketat.

Kompleksitas permasalahan sawit ini, katanya, perlu ada pencarian solusi, dengan melibatkan multi sektor dan multi stakeholder alias seluruh aktor yang terlibat dalam rantai produk sawit itu.

Setiap aktor yang terlibat dalam rantai produksi sawit termasuk konsumen global, kata Budiadi, seharusnya turut bertanggung jawab atas dampak lingkungan dan sosial yang muncul dari produksi sawit di Indonesia. Mereka, katanya, juga harus berkontribusi dalam pencarian solusi ini.

Sawit, katanya, jadi bahan perdebatan luas dari akademik sampai polemik di media massa. Perdebatan ini, katanya, berangkat dari kompleksitas permasalahan seputar sawit.

 

Pengangkutan sawit melewati jalur-jalur utama antar provinsi, menyebabkan kemacetan dan merusak jalan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Sawit, katanya, bahan baku berbagai industri baik pangan dan non pangan, hingga permintaan produk sawit dan turunan akan terus meningkat sejalan makin tinggi penduduk dunia.

Selain itu, kata Budiadi, introduksi biofuel sebagai bahan bakar terbarukan rendah karbon akan makin menambah permintaan sawit dan turunan.

Investasi lahan untuk kebun sawit pun, katanya, dianggap paling menguntungkan secara finansial. Kalau dibanding tanaman penghasil minyak nabati lain, katanya, seperti kedelai, rape seed, maupun bunga matahari, sawit paling produktif dengan biaya produksi per liter paling rendah.

Bagi negara-negara produsen sawit seperti Indonesia, komoditas ini penting sebagai penggerak ekonomi nasional, pendorong pembangunan daerah, penyedia lapangan pekerjaan terutama di pedesaan dan pedalaman. Juga salah satu mekanisme pengentasan kemiskinan bagi petani yang terlibat dalam produksi sawit.

Sisi lain, katanya, pembangunan kelapa sawit besar-besaran memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup pada berbagai skala. Konversi lahan hutan jadi kebun sawit monokultur mengubah tutupan atau penggunaan lahan, hutan terfragmentasi dan mempengaruhi keragaman hayati baik flora maupun fauna. Juga merusak habitat satwa liar terutama satwa-satwa besar endemik hutan tropis yang merupakan flagship species seperti orangutan, harimau Sumatera, dan gajah, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan penurunan stok karbon permukaan tanah.

“Perubahan mosaik lanskap juga mempengaruhi fungsi hidrologis hutan yang menyebabkan kemampuan menyimpan air saat hujan berkurang. Saat kemarau terjadi kekeringan lahan dan rawan kebakaran hutan dan lahan,” katanya.

Selain itu, perubahan tutupan lahan dari hutan alam jadi kebun sawit monokultur juga berpotensi sebagai kontributor emisi gas rumah kaca nasional, terutama bila lahan hutan yang dikonversi melibatkan hutan rawa gambut.

Hal ini, kata Budiadi, bisa berpotensi memperlambat capaian target reduksi gas rumah kaca yang sudah ditetapkan dalam target kontribusi nasional (nationally determined contribution/NDC), di mana sektor kehutanan diharapkan jadi penyumbang reduksi emisi terbesar.

 

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Kebun sawit di kawasan hutan, katanya, juga punya efek domino. Saat sudah ada sawit di dalam kawasan hutan, katanya, berpotensi muncul kebun-kebun baru di sekitar, yang akhirnya meningkatkan tekanan sosial terhadap kawasan itu.

Meskipun begitu, kata Budiadi, ketidakjelasan status lahan kebun-kebun sawit baru ini berdampak pada keseriusan investasi yang selanjutnya lebih spekulatif. Buntutnya, produktivitas kebun rendah justru menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru di dalam kawasan hutan.

“Produktivitas kebun sawit rendah mendorong ekspansi kebun di kawasan hutan untuk mencapai skala ekonomi menguntungkan atau ekstensifikasi,” katanya.

Selain berdampak pada ekosistem hutan, ekspansi kebun sawit juga memberikan tekanan terhadap keamanan pangan lokal.

Walaupun keterkaitan ini relatif sulit diprediksi, kata Budiadi, tetapi konversi lahan-lahan pertanian seperti sawah dan pertanian lahan kering jadi kebun-kebun sawit monokultur mengubah pola kehidupan masyarakat. Kalau semula dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil sawah dan ladang, katanya, jadi tergantung suplai bahan makanan dari tempat lain.

Saat harga sawit di pasar global turun, katanya, otomatis daya beli petani sawit berkurang hingga mempengaruhi kemampuan petani memenuhi kebutuhan pokok.

“Berbagai tekanan inilah pada akhirnya mendorong ekspansi lahan pertanian dan kebun-kebun sawit ke kawasan hutan yang dianggap tak bertuan karena. Apalagi masih ada ketidakjelasan tata batas kawasan,” katanya.

Hero Marheanto, Koordinator Tim Peneliti UGM soal sawit di kawasan hutan mengatakan, pada masa lalu ketika eksplotasi hasil hutan berupa kayu masih melimpah, sektor kehutanan jadi penyumbang pendapatan nasional cukup penting.

 

Pasukan TNI bersama Gakkum KLHK melakukan penebangan sawit yang berada di TNGL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kini, ketika hasil hutan kayu jauh berkurang, sektor kehutanan dipandang kurang menguntungkan secara finansial. Industri kayu, katanya, mulai ditinggalkan dan tekanan alih fungsi lahan hutan ke non-hutan jadi makin tinggi.

Dia menyayangkan, karena sumberdaya hutan seharusnya dilihat secara utuh sebagai sumber alam yang mendukung sistem penyangga kehidupan, melindungi eksistensi keragaman hayati, penyedia kenyamanan (amenity values). Hutan juga mendukung ekonomi baik langsung dan tidak dalam skema bioprospekting.

Seharusnya, kata Hero, nilai ekonomi keseluruhan hutan diperhitungkan bukan hanya dari sumbangan finansial tetapi mempertimbangkan manfaat tak berwujud hutan.

“Besarnya tekanan terhadap sumber daya terutama lahan hutan ditunjukkan dengan banyak izin pelepasan dan izin pinjam pakai kawasan hutan. Bahkan pada beberapa kasus tak melalui skema perizinan legal” kata Hero.

Dengan berbagai permasalahan sawit, seperti penyebab deforestasi dan lain-lain, sampai-sampai muncul gagasan jadikan sawit sebagai salah satu tanaman hutan.

“Muncul pertanyaan, apakah dengan hanya mengubah status sawit sebagai komoditas kehutanan kemudian persoalan semua selesai?”

Menangani masalah ini, katanya, tak semudah itu. “Dalam diskusi-diskusi kami ada beberapa macam solusi ditawarkan. Kondisi 2,8 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan fakta. Kondisi ini tak bisa hanya dibiarkan, harus diselesaikan.”

 

 

Tawaran solusi?

Melihat kondisi ini, Fakultas Kehutanan UGM merasa perlu mengambil posisi dan berkontribusi menawarkan solusi.

“Tawaran solusi dari Fakultas Kehutanan UGM hanya membatasi pada 2,8 juta hektar lahan sawit di dalam hutan. Tak seluruh sawit di Indonesia,” katanya.

Fakultas Kehutanan UGM, kata Hero, menawarkan konsep jangka benah. Konsep jangka benah merupakan periode pengaturan tegakan hutan untuk mengembalikan setok seperti tegakan hutan normal.

“Bentukan kebun campuran ini sebagai opsi, yakni peluang diterima masyarakat sangat tinggi, meningkatkan resiliensi pendapatan petani dan masyarakat memiliki hak mengelola lahan dan meningkatkan fungsi ekosistem hutan secara keseluruhan,” katanya.

Usulan ini, sebagai kontribusi Fahutan UGM, dimana selama dua dekade atau 20 tahun terakhir kondisi kehutanan sedang menurun, terutama sejak era reformasi.

“Ini tentu terkait bagaimana interaksi antara manusia dengan hutan atau manusia dengan lingkungan.”

 

 

Budiadi mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit, pada 19 September 2018.

Pada peraturan ini, gubernur dan bupati diperintahkan mengevaluasi kembali izin pelepasan kawasan dan menunda penerbitan izin pembukaan kebun sawit selama tiga tahun. Pada masa moratorium izin kebun sawit, pemerintah fokus pada peningkatan produktivitas sawit rakyat dan memperjelas status kepemilikan lahan hingga memudahkan masyarakat akses modal.  Terkait pelaksanaan moratorium izin sawit ini, pada 19 Oktober lalu, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan dan Kehutanan, mengumumkan bakal mengkaji ulang 2,3 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan.

“Fahutan UGM menyambut baik kebijakan ini. Moratorium izin baru pembukaan kebun sawit sudah seharusnya sejak lama mengingat banyak kasus pelanggaran izin dan dampak lingkungan,” katanya.

Pemerintah, katanya, perlu fokus penyelesaian konflik, dan memberikan perhatian kepada petani sawit kecil yang mengelola sekitar 40% dari kebun di Indonesia.

Upaya membantu penyelesaian konflik kebun sawit kawasan hutan itu, katanya, Fakultas Kehutanan mengusulkan beberapa terobosan dalam tiga aspek penting, pengelolaan atau managemen, kelembagaan, dan kebijakan.

Pada aspek pengelolaan, beberapa langkah dapat dilakukan, yakni penyelesaian tata batas kawasan hutan guna menjamin kelestarian kawasan. Termasuk dukungan data spasial konsisten untuk pengambilan keputusan pengelolaan kawasan hutan terutama penentuan lokasi dan alokasi perizinan maupun pelepasan. Juga kepaduserasian dengan rencana tata ruang wilayah.

“Ini terkait alokasi hutan tetap yang akan dipertahankan dan tak dapat dikonversi untuk penggunaan lain,” ucap Budiadi.

Kuantifikasi dampak lingkungan dan sosial dari kebun kelapa di kawasan hutan pada berbagai level, mulai level tapak, daelah aliran sungai (DAS) dan lansekap guna mendukung pengambilan keputusan pengelolaan berkelanjutan. “Baik aspek biofisik maupun sosial.”

Selain itu, katanya, perlu revitalisasi kebun-kebun sawit dalam kawasan hutan dengan merancang bangun model agroforestri sawit guna peningkatan produktivitas lahan dan menjaga biodiversitas.

“Ini dapat dilakukan dengan menerapkan strategi jangka benah yang berbasis upaya perbaikan pendapatan keluarga petani kecil, aspek sosial dan fungsi ekologi,” kata Budiadi.

 

Kebakaran gambut terjadi di kebun sawit di Dusun Benuang, Desa Teluk Nilap, Kecamatan Kubu Darussalam, Rokan Hilir. Di dusun ini sedikitnya 14 rumah dan sejumlah kendaraan roda dua hangus terbakar pada pekan lalu. Hingga Jumat lalu, api masih berkobar. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Hero menambahkan, konsep jangka benah ini salah satu dokumen yang diacu dalam proses revisi Peraturan Menteri LHK No.83/2016 tentang Perhutanan Sosial.

Hal lain, katanya, dalam pengelolaan ke depan, peningkatan produktivitas lahan, diversifikasi dan hilirisasi produk juga perlu untuk meningkatkan nilai tambah petani.

“Untuk produk sawit, dorong pembangunan pabrik sawit skala kecil yang dikelola masyarakat,” kata Hero.

Berikutnya, kelembagaan. Beberapa langkah tawaran, katanya, mendorong Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) jadi standar pengelolaan kebun sawit berkelanjutan di Indonesia. Kondisi kini, banyak petani sawit belum mampu memenuhi standar itu, pengusaha pun banyak belum punya ISPO. Sebagian besar petani tersangkut legalitas lahan.

Akomodasi pola-pola agroforestri dalam kasus sawit ke dalam kelembagaan perhutanan sosial, katanya, akan menjamin legalitas petani terhadap lahan. Keadaan ini, memungkinkan mereka mendapatkan sertifikasi ISPO.

Selain itu, perlu dorong skema public-private patnership antara perusahaan-perusahaan sawit dengan pemerintah dan masyarakat. Skema kolaborasi multi pihak ini terutama untuk mendukung kegiatan-kegiatan konservasi dan sosial, tak sekadar dana-dana tanggung jawab lingkungan. Harapannya, ia berdampak nyata terhadap lingkungan dan sosial.

Pada aspek kebijakan, tata ruang yang efektif, terutama terkait dengan penentuan lokasi dan alokasi izin, persyaratan, dan kewenangan pemberi izin. Hal ini, katanya, perlu didukung data spasial konsisten, skala akurasi tinggi, dan kerjasama antar sektor dan lembaga.

Saat ini, katanya, data mengenai luasan kebun sawit di luar maupun kawasan hutan masih banyak ketidakpastian.

“Tata ruang efektif juga mengandung konsekuensi penegakan hukum terhadap pelanggaran lokasi dan alokasi perizinan terkait hutan dan lahan,” ucap Hero.

Untuk itu, perlu revisi berbagai kebijakan kehutanan terutama yang masih tumpang tindih satu sama lain. Revisi kebijakan pada seluruh tingkatan perundang-undangan, mulai UU 41/1999 tentang Kehutanan yang masih pakai perspektif hutan sebagai unit spasial terbagi berdasarkan fungsi produksi, lindung, dan konservasi.

Hutan itu, kata Hero, harus dilihat sebagai satu kesatuan ekosistem utuh hingga dalam pengelolaan tak bisa terpisahkan berdasarkan fungsi dalam satu unit spasial.

Revisi juga perlu pada level peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah hingga peraturan menteri dengan tujuan penguatan ISPO, perhutanan sosial, dan kelembagaan pengelola hutan (KPH).

Berbagai rekomendasi itu, katanya, disampaikan ke Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan.

Hero berharap, berbagai masukan itu jadi bahan pertimbangan dalam proses revisi maupun pembuatan kebijakan terkait pengelolaan kebun sawit di kawasan hutan.

Ari Susanti, pakar Sistem Pengelolaan sumber Daya Hutan UGM menyebutkan, kebun monokultur di kawasan hutan mempengaruhi habitat juga keberadaan flora fauna.

Perubahan mosaik lansekap itu, katanya, mempengaruhi fungsi hidrologis hutan hingga kemampuan menyimpan air hujan berkurang. Dampaknya, kala kemarau alami kekeringan dan rawan kebakaran hutan dan lahan.

“Perubahan tutupan lahan dari hutan alam jadi kebun sawit berpotensi sebagai kontributor perubahan iklim, terlebih lahan hutan konversi melibatkan hutan rawa gambut,” katanya.

Untuk mengembalikan kondisi kebun sawit jadi hutan bukanlah hal mudah. Untuk itu, dalam periode awal perlu perbaikan struktur dari kebun monokultur menjadi heterokultur dengan agroforsetri. Selanjutnya, diikuti upaya perbaikan fungsi hidrologis hutan.

“Usulan ini akan berhasil apabila ada dukungan regulasi dan masyarakat.”

Muhammad Ali Imron, pakar Konservasi Satwa Liar UGM mengatakan, ekspansi kebun sawit di kawasan hutan juga menimbulkan konflik antara manusia dengan satwa liar.

Tak sedikit kasus menyebabkan satwa di kawasan hutan seperti harimau dan gajah yang diburu dan dibunuh.

Pada situasi kini, tantangan di depan mata bagaimana menyelesaikan masalah keterlanjuran dari ekspansi kebun sawit di kawasan hutan dan mengantisipasi dampak ekspansi kebun kelapa sawit tersebut terhadap lingkungan, sosial, kesejahteraan masyarakat, dan prioritas pembangunan lainnya.

 

Proses identifikasi awal bangkai Baen, orangutan yang tewas di konsesi perkebunan sawit PT Wana Sawit Subur Lestari (WSSL) II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Senin (2/7/18). Foto: OFI Pangkalan Bun

 

 

Sawit dan target emisi

Ekspansi perkebunan sawit masuk kawasan hutan berdampak pada Indonesia makin sulit mencapai target penurunan emisi. Indonesia sudah berkomitmen menurunkan emisi 29% atau 41% dengan bantuan asing sampai 2030.

Arie Rompas, Kepala Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia kepada Mongabay mengatakan, target ambisius pemerintah tak diikuti komitmen kuat untuk mengimplementasikan dalam program nyata, terukur dan terverifikasi. Terutama menyasar masalah utama yaitu deforestasi sebagai sumber emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Target ini, katanya, tak menyediakan ruang kajian publik atas penggunaan metodologi, tanpa didukung data akurat dalam menentukan baseline maupun capaian target dalam berbagai sektor.

Banyak dokumen penurunan emisi, katanya digunakan pemeritah sebagai alat berlindung ketidaktransparan dan data sulit dipahami.

Presiden Joko Widodo telah menandatangani kebijakan moratorium izin sawit selama tiga tahun ke depan. Sayangnya, moratorium hanya berlaku bagi lahan di kawasan hutan di bawah KLHK, tak mencakup kuasa lahan pemerintah daerah atau hutan dalam konsesi sawit yang membuat jutaan hektar hutan dan lahan gambut tak terlindungi.

“Deforestasi penyumbang utama pelepasan emisi gas rumah kaca di Indonesia, informasinya sering kabur melalui definisi, angka, cakupan termasuk peta tak detail sebagai rujukan.”

Dia nilai, moratorium sawit langkah maju tetapi kurang bertaring, pembekuan hanya sementara. Juga, menyisakan jutaan hektar hutan tak terlindungi dan tak ada sanksi bagi pelanggar.

Greenpeace International meluncurkan investigasi yang mengungkap 25 produsen minyak sawit menggunduli 130.000 hektar hutan sejak 2015. Laporan ini juga mengungkap deforestasi ilegal, pembangunan tanpa izin, pembangunan sawit tanpa izin, pengembangan perkebunan di daerah-daerah dilindungi dan kasus kebakaran terkait penggundulan hutan.

Perlindungan hutan dan menghentikan polusi iklim dari kehancuran jutaan hektar lahan gambut secara nyata gagal mengusulkan solusi sejati untuk iklim, kekaragaman hayati dan pengembangan masyarakat.

Persoalaan utama hutan hujan di Indonesia, kata Rompas, berasal dari model pembangunan berbasis lahan yang tak didukung praktik tata kelola yang baik. Kondisi ini, mendorong penghancuran hutan hujan, deforestasi tak terkendali, kebakaran gambut dan kehilangan keragaman hayati serta memicu konfik tenurial.

Regulasi tak konsisten, kata Arie, berakibat pada pengabaian kepatuhan dan penegakan hukum. Kondisi ini, telah lama menguntungkan korporasi sawit, kebun kayu, HPH dan tambang yang berbinnis tanpa komitmen kuat terhadap lingkungan.

Belum lagi, katanya, tranparansi data sektor kehutanan kurang hingga membuka celah kolusi dan korupsi. Sebagai komitmen Indonesia atas perubahan iklim, pemerintah telah meratifikasi Paris Agreement,  dan tahun sama juga menyampaikan dokumen NDC.

Sebelumnya, pemeritah sudah menerbitkan berbagai regulasi seperti rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam Perpres No61/2011. Juga inventarisasi GRK melalui Pepres No. 71/2011, terakhir menerbitkan dokumen strategi implementasi NDC serta Permen LHK No 70/2017 tentang tata cara pelaksanaan REDD.

 

Keterangan foto utama:  Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version