Mongabay.co.id

Pergerakan Global Mencari Percepatan Solusi Adaptasi Iklim

Apa yang terjadi saat tiga orang kuat dunia bertemu? Munculnya gagasan dan komitmen sungguh-sungguh untuk mencari jalan keluar dari resiko dampak buruk perubahan iklim global.

Pada 16 Oktober 2018, Bill Gates, orang terkaya kedua di dunia, Ban Ki-Moon, sekjen ke-8 PBB dan Kristalina Georgiwa, CEO Bank Dunia, meluncurkan Komisi Global dalam Adaptasi untuk mendorong pergerakan global dalam rangka percepatan solusi adaptasi iklim.

Dunia sudah merasakan berbagai akibat kenaikan suhu 10C melalui berbagai gejala cuaca yang lebih ekstrim, naiknya permukaan air laut dan berkurangnya daratan es laut Arktik, seperti yang dilaporkan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis tanggal 8 Oktober 2018.

Laporan itu juga mengingatkan bahwa hanya ada 12 tahun tersisa bagi dunia untuk mencegah pemanasan global tidak lebih dari 1.50C. Pencegahan itu bisa dicapai asalkan langkah yang direkomendasikan segera dilaksanakan. Jika pemanasan melebihi 20C, maka dampak buruk pada ekosistem, kesehatan dan kesejahteraan manusia menjadi lebih sukar untuk diatasi.

baca :  Dampak Mengerikan Perubahan Iklim Tengah Melanda Bumi

 

Area persawahan. Petani yang tergantung pada hasil pertanian amat terpengaruh pada dampak perubahan iklim yang terjadi. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Adaptasi terhadap perubahan iklim bukan menjadi pilihan lagi, melainkan menjadi keharusan. Tidak mudah, namun tidak mustahil. Sejarah membuktikan bahwa manusia mampu beradaptasi terhadap perubahan. Tantangan besar inilah yang ingin dicari solusinya oleh trio tokoh dunia itu.

“Kita sedang dalam masa yang berisiko tinggi sekaligus sangat menjanjikan,” ujar Bill Gates dalam media rilisnya. “Kita perlu kebijakan-kebijakan untuk membantu penduduk yang rentan untuk beradaptasi, dan kita harus mematikan bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan mendorong inovasi serta membantu menghasilkan terobosan-terobosan bagi orang-orang dan daerah-daerah yang paling memerlukan”.

“Tanpa aksi adaptasi yang mendesak, kita membahayakan ketahanan pangan, energi dan air beberapa dekade ke depan. Keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan global mungkin terjadi meskipun adanya tantangan besar – namun hanya terjadi apabila masyarakat berinvestasi lebih banyak dalam adaptasi. Biaya adaptasi lebih murah daripada biaya melakukan bisnis seperti biasanya. Dan manfaatnya lebih besar,” tambah Ban Ki-Moon.

Komisi ini akan mengidentifikasi upaya-upaya ketangguhan iklim, menggelontorkan sumberdaya untuk menopangnya dan memastikan komunitas dan berbagai negara saling bekerjasama dan berbagi praktik-praktik terbaiknya.

baca :  Pembangunan Rendah Karbon untuk Mengerem Laju Perubahan Iklim

 

Retakan raksasa di lapisan es Larsen C Kutub Selatan yang merupakan bagian dari daratan utama A68. Retakan ini mengkhawatirkan para ilmuwan menimbulkan bencana sebagai dampak dari perubahan iklim. Foto : Deimos Imaging/rt.com

 

Mereka berkeinginan untuk mengenalkan aksi iklim yang efektif melalui empat cara.

Pertama, memperkenalkan ihwal ketangguhan iklim secara lebih luas pada masyarakat dan pemimpin dunia melalui laporan-laporan dan kegiatan networking. Mengapa? Karena, masih banyak yang belum mengetahui berbagai peluang yang akan didapat apabila kita lebih tangguh dan kurang rentan pada perubahan iklim dan bahaya alam.

Kedua, mendorong pebisnis untuk memasukkan ketangguhan iklim dalam neraca laba mereka. Saat ini, sudah banyak perusahaan multinasional yang mulai mendukung Perjanjian Paris dan memahami bahwa perubahan iklim memunculkan resiko terhadap model bisnis mereka.

Ketiga, memprioritaskan khalayak yang sangat terpinggirkan di dunia. Mereka ini umumnya yang paling rentan pada perubahan iklim tapi malah mendapat bantuan yang paling sedikit.

Keempat, mengarusutamakan gagasan kepemimpinan dunia dalam perubahan iklim. Pencetus pergerakan global ini menyadari bahwa meskipun adaptasi merupakan tantangan dunia, masih sangat sedikit pelopor dunia yang dapat mendorong transformasi yang sangat diperlukan.

 

Peran Indonesia

Tentu saja misi besar semacam ini tidak dapat dikerjakan sendirian. Mereka merangkul 28 pemimpin dunia dari 17 negara untuk berpartisipasi, serta bekerjasama dengan World Resources Institute dan Global Center on Adaptation untuk mewujudkan tujuan itu.

Indonesia termasuk dalam 17 negara yang telah berkomitmen untuk ikut memajukan langkah Komisi tersebut. Negara lainnya termasuk Argentina, Banglades, Kanada, China, Costa Rica, Denmark, Ethiopia, Jerman, Grenada, India, Kepulauan Marshal, Meksiko, Belanda, Senegal, Afrika Selatan dan kerajaan Inggris.

Keikutsertaan Indonesia sangat berguna, penting dan perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk menyuarakan kepentingan nasional, sambil berkontribusi pada kegiatan global macam ini.

Upaya Komisi yang pertama, yakni pengenalan ketangguhan iklim secara lebih luas pada masyarakat dan para pemimpin, sangat relevan bagi Indonesia untuk mendorong peningkatan political will –menuju Indonesia yang ramah lingkungan (termasuk ramah iklim). Selain banjir dan angin ribut, bencana iklim masih terkesan dianggap “bukan prioritas”. Mungkin karena penampakan bencananya sering tidak terlihat jelas dan kejadiannya secara perlahan. Berbeda dengan dengan gunung meletus, gempa bumi dan tsunami. Padahal, kehilangan dan kerusakan yang ditimbulkan bencana iklim sering lebih besar dari bencana-bencana lain yang lebih kasat mata.

Juga, terkadang ada yang beranggapan bahwa perubahan iklim global hanyalah permasalahan di “awang-awang”, tidak akan ada efeknya pada yang terjadi di Indonesia. Ketika penulis mendiskusikan hasil kajian dampak perubahan iklim global terhadap ketahanan air di salah satu kota besar di Sulawesi, beberapa pemangku kepentingan menyatakan mereka baru menyadari bahwa apa yang terjadi secara global berpengaruh pada situasi kota dimana mereka tinggal beserta kelangsungan hajat hidupnya.

baca juga :  Begini Seruan Indonesia Atasi Dampak Perubahan Iklim untuk Negara Kepulauan di Dunia

 

Aktivis Greenpeace mengkampanyekan penggunaan energi terbarukan. Foto: Tommy Apriando

 

Keinginan Komisi untuk mendorong inovasi dan terobosan-terobosan baru, juga sangat sesuai prinsip kebijakan Presiden Jokowi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencantumkan system pembangunan adaptif yang berorientasi pada ketahanan pangan, kemandirian energi, ketahanan ekosistem maupun wilayah khusus, termasuk perkotaan, pesisir dan pulau kecil.

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergantung kepada cuaca dan iklim. Sudah ada contoh adaptasi yang dilakukan secara swadaya, meskipun masih terkesan sporadis. Misalnya, di Temanggung banyak petani beralih tanam dari tembakau ke kopi dan sayuran, salah satu alasannya adalah karena ketidakpastian musim dan kesadaran akan rawan bencana.

Namun, belum ada kajian untuk mengetahui apakah peralihan semacam itu tepat/bermanfaat baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Jangan-jangan peralihan itu hanya tepat untuk jangka pendek namun dapat menimbulkan permasalahan baru kedepannya, alias mal-adaptasi.

Dalam konteks ini, Indonesia (melalui pemerintah dan peneliti lokalnya) dapat menyuarakan perlunya bimbingan dan/atau kajian jenis adaptasi lokal yang cocok supaya bisa menghindari mal-adaptasi. Selain itu, pemetaan upaya-upaya adaptasi di Indonesia akan sangat diperlukan untuk proses pembelajaran dan pengambilan keputusan kedepannya. Apa yang tepat dilakukan di Jawa, belum tentu cocok dilakukan di Kalimantan, dan sebaliknya.

Lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, yang umumnya terletak di wilayah pesisir, dan sangat rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim.

Penelitian Hallegate dkk (2013) menempatkan Jakarta pada ranking ke 20, dari 136 kota di dunia, dalam segi resiko kerugian ekonomi akibat banjir, sementara kota Guanzhou, China, pada ranking ke 1. Yang perlu dicermati, ranking Jakarta diperkirakan naik menjadi nomer 11 pada tahun 2050. Dan estimasi ini belum memasukkan proses subsidence Jakarta yang dapat memperparah tingkat resiko itu.

Dalam kasus ini, Indonesia dapat menyuarakan perlunya transformasi dan keterpaduan antara adaptasi perubahan iklim dengan pengelolaan resiko bencana, penataan dan pembangunan kota, serta pengurangan kemiskinan misalnya, sambil mencapai Tujuan Pembanguan Berkelanjutan (SDG) yang diamanahkan PBB. Pentingnya berbagi pelajaran atau sumberdaya dengan kota-kota di negara lain, yang dipromosikan oleh Komisi baru ini, akan sangat membantu transformasi yang diperlukan.

Laporan IPCC yang paling anyar telah membunyikan alarm bagi pemerintahan dan kita semua. Laporan itu juga memberikan harapan dan peta jalan menuju masa depan dunia dan generasi selanjutya. Komisi Global dalam Adaptasi bentukan beberapa tokoh penting dunia ini diharapkan menjadi cahaya untuk memulai perjalanan itu. Wallahulam.

Dimana ada tantangan, disitu ada peluang baru yang bisa ditangkap.

***

Dr. Dewi G.C. Kirono*, peneliti dan pemerhati adaptasi perubahan iklim

Dr. Agus Supangat**, peneliti senior di Pusat Perubahan Iklim ITB

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis

 

Exit mobile version