Mongabay.co.id

Kala ‘Penguasa’ Tesso Nilo Beraksi terhadap Proses Hukum

Pengamanan Alat Berat di Taman Nasional Tesso Nilo.

 

 

Dua dari empat gugatan kepada penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditolak, dua diterima majelis hakim. Semua kasus di Pengadilan Negeri Pelalawan, Riau.

 

Sekitar dua bulan, setelah majelis hakim menolak gugatan praperadilan, akhirnya Sukdhev Singh, berhasil diseret jaksa ke Pengadilan Negeri Pelalawan, Rabu 3 Oktober lalu. Dia didakwa melanggar Pasal 92 ayat 1 huruf a juncto Pasal 17 ayat 2 huruf b tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan karena, tanam sawit seluas 141 hektar di hutan produksi terbatas Tesso Nilo.

Kini, Sukdhev tahanan kota. Dia menguasai lahan di Dusun Tasik Indah, Desa Segati, Kecamatan Langgam, Pelalawan.

Pada 9 Juli lalu, Sukdhev, lewat kuasa hukum, Heru Susanto dan kawan-kawan terlebih dahulu melayangkan gugatan praperadilan terhadap penyidik Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Seksi II Wilayah Sumatera. Mereka keberatan terhadap penetapan tersangka dan penyitaan alat berat.

Sidang perdana penyampaian permohonan tertulis pada Senin (30/7/18), dipimpin hakim tunggal Ria Ayu Rosalin.

Menurut Heru, penetapan tersangka tanpa dua alat bukti permulaan yang cukup. Usaha perkebunan sesuai UU P3H No 18/2013 dan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sukdhev merasa telah dapat pengakuan dari masyarakat setempat berupa bukti surat kerjasama dengan masyarakat Dusun III Tasik Indah, dan dua surat pengakuan dari pemangku adat sejak 2009. Kepala Desa Segati juga membubuhkan tandatangan.

Penyidik didampingi kuasa hukum Muhnur Satyahaprabu, menjawab satu persatu permohonan Sukdhev Singh, tetapi mereka mengabaikan poin tentang status kawasan. “Karena itu sudah ranah pokok perkara. Tidak tepat dibuktikan dalam sidang praperadilan,” kata Muhnur.

Menurut Muhnur, Sukdhev dan penasihat hukum juga harus menarik jaksa penuntut umum dalam praperadilan ini. Sebab, 27 Juli 2018, Kejaksaan Tinggi Riau telah menyatakan berkas penyidikan lengkap.

“Jadinya kurang pihak. Tanggungjawab perkara ini bukan pada kami lagi. Tersangka dan barang bukti sudah kami serahkan ke jaksa.”

Pada penghujung pembacaan putusan, hakim menolak seluruh permohonan praperadilan Sukdhev. Kini, dia harus menjalani persidangan dugaan merambah hutan.

 

Alat berat Sukdhev Singh, yang disita KLHK

 

Sebelum Sukdhev, penyidik juga digugat Arifin Sibarani, 28 Mei lalu. Kejadian itu hanya setengah bulan pasca penyidik menyita satu eksavator merek Hitachi model 210 MF. Sidang perdana satu bulan setelah penyitaan. Hakim Andry Eswin Sugandhi Oetara, memimpin sidang.

Dalam petikan permohonan, Arifin Sibarani lewat kuasa hukum, Hulaimi Abbas, menjelaskan, penyidik menyita eksavator sedang parkir di KM 86 Desa Segati, Kecamatan Langgam, Pelalawan 12 Mei 2018. “Alat berat itu tidak sedang bekerja dan dijaga Khohler Sinaga,” kata Sibarani dalam gugatan.

Keberatan ini karena penyidik justru membiarkan dua alat berat lain bekerja di areal itu.

Penyidik dianggap sewenang-wenang menyita alat itu tanpa diketahui siempunya. Juga tak buat berita acara penyitaan maupun tanda terima alat dari pemilik atau penjaga alat waktu itu. Bahkan, penyitaan tanpa izin pengadilan.

Sibarani, merasa, penyitaan itu merugikan dia. Dia menyatakan, penyitaan tak sah dan perintahkan penyidik menyerahkan kembali alat berat. Sibarani minta ganti rugi Rp1 miliar dan penyidik harus minta maaf di Harian Riau Pos dua hari berturut-turut.

Eswin beri kesempatan pada penyidik menjawab permohonan Sibarani, 10 Juli 2018.

Menurut penjelasan mereka, pengamanan alat karena laporan dari masyarakat ada pembersihan lahan di hutan produksi terbatas Tesso Nilo. Tim Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat, kala itu langsung menyusuri areal dan mendapati alat berat serta bertemu Sinaga di pondok.

Penyidik baru menduga telah terjadi tindak pidana membawa alat berat untuk perkebunan dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. “Tapi belum ada yang mengaku atau bertanggungjawab terhadap alat berat itu.”

Untuk mencari pemilik, penyidik mengumumkan ke Kapolsek Langgam, Sekretaris Desa Segati dan KPHP Langgam. Belum ada yang mengaku. Alat berat masih dalam penyelidikan. “Statusnya belum masuk penyitaan.”

Kuasa hukum Sibarani sempat hadirkan Sinaga sebagai saksi. Saat itu, Sinaga mengaku tukang pancang tanaman sawit. Ketika masuk ke lokasi itu sudah terbuka dan siap jadi kebun. Soal alat, Sinaga hanya dengar disewa Sibarani.

Hulaimi Abbas juga menghadirkan Yowel Baransano. Uniknya, Yowel justru menyalahkan petugas karena mengamankan alat berat.

Penyidik juga hadirkan saksi. Nur Islami, ikut bersama tim satuan polisi kehutanan reaksi cepat saat menyisir lokasi. Katanya, alat berat diamankan karena Sinaga mengaku, eksavator untuk pembersihan lahan, namun sedang tak beroperasi.

Andry Eswin mendukung dalil permohonan kuasa hukum Sibarani. Dia menyatakan, penyitaan alat berat oleh penyidik tak sah secara hukum karena tidak ada izin dari pengadilan.

 

Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Bagaimana moratorium perkebunan sawit atasi masalah macam ini? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Permohonan Sibarani atas ganti rugi ditolak karena tak ada bukti nyata kerugian karena penyitaan eksavator.

Setelah gugatan diterima hakim 20 Juli lalu, Hulaimi Abbas kembali berhadapan dengan penyidik BPPHLHK untuk kedua kali. Kali ini, Mahyar Purba yang minta bantuan.

Masalahnya masih sama. Soal sah tidak penyitaan, tanpa berita acara, tanpa mengirim tembusan pada yang bersangkutan dan tanpa persetujuan pengadilan negeri setempat.

Kali ini ditambah sah tidaknya surat perintah penahanan yang tidak diserahkan pada tersangka, tak didahului surat penetapan tersangka dan tak didahului surat perintah penangkapan.

Kejadian itu bermula pada Senin 21 Desember 2017. Purba sebagai operator alat berat sedang menggerakkan eksavator hendak dinaikkan ke trado dari Simpang Sako, melewati kebun sawit di pinggir anak Sungai Toro, Desa Kusuma. Alat itu milik Hasan.

Tak berapa jauh lagi dari trado yang sudah menunggu, Purba dicegat tim ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo. Dia berikut alatnya dibawa ke Pekanbaru, markas penyidik. Purba diminta keterangan sebelum boleh pulang dengan tanda terima satu eksavator dan satu telepon seluler merek Nokia.

Kuasa hukum Purba mengatakan, saat kejadian alat berat tak beroperasi dan tak ada tanda-tanda mengangkut hasil kebun, seperti bunyi UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

“Membawa alat berat dengan cara paksa tanpa berita acara penyitaan dan tanpa persetujuan pengadilan setempat adalah tindakan melawan hukum dan sewenang-wenang,” bunyi permohonan Purba.

Nurrahmi justru menerima sebagian permohonan Purba. Penyidik, katanya, tidak memperlihatkan berita acara penyitaan pada Purba. Penyidik tak dapat membuktikan surat permohonan persetujuan penyitaan berikut surat izin penetapan dari ketua pengadilan. Alhasil, penyidik dianggap mengabaikan hukum acara pidana.

Namun, penyidik dinyatakan sudah benar menahan Purba hingga Nurrahmi menolak permohonan membebaskan dia dari tahanan kota. Permohonan minta ganti rugi pada penyidik tak dapat dibuktikan. Memerintahkan penyidik minta maaf di Harian Riau Pos juga dianggap hakim tak beralasan hukum.

Gugatan terakhir dari Arsyadi. Dia pemilik alat berat merek Hitachi yang disita penyidik BPPHLHK pada 18 Februari 2018 dari operator, Lanres Hasugian.

Alat berat itu disita penyidik ketika Hasugian sedang membuat kanal di kebun sawit dalam TNTN. Waktu itu, BPPHLHK Seksi Wilayah II Pekanbaru bersama Brimob Polda Riau, Korem 023 Wirabima, Polsek Ukui dan TNTN tengah operasi bersama penegakan hukum.

Arsyadi, dalam keberatan dibacakan kuasa hukum, Han Aulia Nasution, mempersoalkan, penyidik tak menyerahkan salinan surat perintah penyitaan dan berita acara penyitaan termasuk surat penetapan izin penyitaan dari pengadilan. Penyidik juga tidak menyerahkan surat perintah mulai penyidikan.

Penyidik, yang diwakili Zulbahri dan kawan-kawan di persidangan menjawab keberatan itu. Setelah alat berat dan Hasugian dibawa ke Pekanbaru, keesokan langsung keluar surat perintah penyitaan dari Kepala BPPHLHK. Serah terima surat langsung serahkan ke Hasugian dihadiri dua saksi. Penyidik juga langsung memberitahu PN Pelalawan atas penyitaan dan mendapat persetujuan delapan hari kemudian.

Hasugian jadi tersangka. Penyidik mengirim surat mulai penyidikan pada penuntut umum 24 Februari 2018.

Menurut penyidik, Arsyadi tidak tepat mengajukan permohonan karena bukan terlapor atau tersangka.

Hasugian saat beri keterangan di persidangan justru mengaku tidak pernah diberi penyidik surat atau berita acara penyitaan. Dia hanya menandatangani buku wajib lapor.

Pengakuan Hasugian dibantah penyidik dengan menyerahkan surat tanda terima barang bukti, berita acara penyitaan, surat perintah penyitaan, surat izin penyitaan dari pengadilan termasuk surat mulai penyidikan pada hakim tunggal Rahmad Hidayat Batubara.

Setelah mendengar keterangan saksi-saksi maupun ahli dan bukti surat-surat dari kedua pihak, majelis hakim menyatakan permohonan Arsyadi tak beralasan menurut hukum hingga patut ditolak. Begitu juga keberatan Arsyadi mengenai penetapan tersangka.

Menurut Hakim Rahmad Hidayat Batubara, bukan kapasitas Arsyadi mengatakan penyidikan tak sah karena bukan tersangka.

Kemenangan atas gugatan kali ini membuat Zulbahri dan Syufriadi lega. Mereka mengatakan, gugatan itu berakhir dengan imbang. Dua kali menang, dua kalah.

“Kita sekarang sedang memperbaiki prosedur. Untuk kasus Arsyadi sedang melengkapi berkas dan terus koordinasi. Yang menguasai lahan itu bukan orang sembarangan,” kata Zulbahri, penyidik, sambil menunjukkan foto dan profil orang itu yang diperoleh dari mesin pencarian google.

“Namanya jangan disebut dulu ya,” pinta Zulbahri.

 

Keterangan foto utama:   Pengamanan Alat Berat di Taman Nasional Tesso Nilo

 

Exit mobile version