Mongabay.co.id

Seluruh Dunia Didorong Segera Terapkan Ekonomi Biru untuk Laut Berkelanjutan

Ekonomi biru, sebuah konsep pengembangan ekonomi dunia dengan prinsip berkelanjutan, didorong untuk terus diaplikasikan pada sektor perikanan dan kelautan di seluruh dunia. Dorongan itu, menjadi bentuk perhatian dunia dalam upaya penyelamatan ekosistem lautan yang saat ini semakin mendapat ancaman karena berbagai faktor.

Demikian komitmen bersama negara-negara peserta Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 29-30 Oktober 2018. Dalam sesi plenary yang berlangsung pada Selasa (30/10/2018), dorongan untuk menerapkan ekonomi biru digaungkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Direktur Lingkungan OECD Rodolfo Lacy mengatakan, saat ini lautan sudah memberi pekerjaan bagi 32 juta orang di seluruh dunia dan 6 persen berasal dari proyek lepas pantai, 23 persen adalah para pekerja sektor wisata bahari, dan 43 persen berasal dari perikanan, pengolahan, dan perikanan budidaya.

Menurut Rodolfo yang berbicara sebagai panelis pada sesi tersebut, ekonomi biru menopang pertumbuhan ekonomi secara global di sektor perikanan dan kelautan. Tanpa ragu, dia menyebut bahwa ekonomi biru telah menghidupnya banyak denyut nadi kehidupan dengan sangat cepat. Hal itu disebabkan, karena ekonomi biru sudah tak malu lagi mengadopsi teknologi mutakhir untuk pengembangan usahanya.

“Pada 2010, ekonomi biru pada perikanan dan kelautan sudah menghasilkan uang hingga USD1,5 triliun. Kemudian, angka itu akan naik lagi menjadi USD3 triliun pada 2030 nanti. Itu gerakan yang sangat cepat,” jelasnya.

Namun, menurut Rodolfo, perkembangan yang sangat cepat tersebut, kini mendapat ancaman dari polusi lautan yang berasal dari sampah plastik. Untuk sampah plastik yang ada di lautan sekarang, itu menghabiskan uang hingga USD13 miliar dan sebagian besar itu berasal dari perikanan dan sektor wisata.

“Botol plastik menyebabkan banyak polusi laut, karena mereka sangat murah,” ucapnya.

baca :  Jokowi: Jangan Terlambat Berbuat untuk Laut Kita

 

Direktur Lingkungan OECD Dr.Rodolfo Lacy (kiri berdiri) dan para panelis dalam  sesi  plenary tentang ekonomi biru padaOur Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018). ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Idhad Zakaria/Mongabay Indonesia

 

Ancaman untuk Laut

Tak hanya polusi laut, Rodolfo melanjutkan, pergerakan ekonomi biru di lautan juga sedang mendapat ancaman dari perubahan iklim yang saat ini sedang menyebar ke penjuru dunia. Dari isu tersebut, dunia harus menelan kerugian hingga mencapai ratusan miliar dolar Amerika Serikat dan itu rerata disebabkan oleh kerusakan karena badai besar.

“Jika tak segera diatasi, ekonomi biru juga tidak bisa mengembangkan dirinya dengan baik. Harus ada kerja sama yang sinergi di lautan. Contohnya, nilai ekosistem terumbu karang bagi ekonomi dunia adalah mencapai USD172 miliar. Itu jumlah yang sangat besar,” tuturnya.

Besarnya pengaruh lautan terhadap ekonomi dunia, menurut Rodolfo harus menjadi perhatian seluruh negara. Mengingat, hingga saat ini negara-negara pulau kecil yang ada di wilayah Pasifik, penghasilan produk domestik bruto (PDB)-nya masih mengandalkan sektor kelautan dan perikanan. Tak main-main, dia menyebut, PDB dari laut untuk negara di Pasifik rerata mencapai 30-80 persen.

“Untuk itu, harus ada gerakan kompak dari kita semua, bagaimana menyelamatkan lautan. Salah satunya, adalah dengan menerapkan ekonomi biru di laut,” tegasnya.

baca juga :  Inilah Sejumlah Komitmen OOC 2018 untuk Menyelamatkan Lautan

 

Direktur Lingkungan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) Rodolfo Lacy memberikan paparan dalam sesi pleno Ekonomi Biru Berkelanjutan pada Our Ocean Conference (OOC) 2018, di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018). Konferensi internasional tersebut berlangsung dari 29 hingga 30 Oktober 2018. ANTARA FOTO/media OOC 2018/Rivan Awal Lingga/Mongabay Indonesia

 

Mendengar pernyataan Rodolfo, sejumlah negara langsung menyatakan komitmennya. Diawali Wakil Presiden Seiselensa Vincent Meriton, dan kemudian diikuti Menteri Kelautan untuk perekonomian, sumber daya laut, perikanan, dan perkapalan Mauritius Premdut Koonjo. Kedua petinggi negara itu, sepakat untuk menerapkan ekonomi biru karena mereka sadar ada manfaat yang akan didapat di masa mendatang.

“Lautan akan terjaga, proteksi akan terus bisa dilakukan. Namun, di sisi lain juga pemanfaatan laut beserta sumber daya alamnya tetap bisa dilakukan,” tegas keduanya.

Utusan khusus Perdana Menteri Norwegia untuk panel tingkat tinggi Vidaf Helgesen di sesi yang sama menjelaskan, ekonomi kelautan saat ini membutuhkan tangan-tangan yang peduli dalam pengembanganya. Selain harus terampil, mereka yang tertarik pada ekonomi kelautan, juga harus menunjukkan komitmennya untuk menjaga laut dengan baik.

“Kita harus bisa bekerja sama dengan membuka data yang diperlukan, berkaitan dengan ekonomi biru dan sekaligus menjaga lautan. Dengan bekerja sama, kita bisa menatap ke depan lebih baik. Kita menunggu ide kreatif dan inovatif,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pengembangan Berkelanjutan Laura Guck menjelaskan, konsep ekonomi biru adalah mengembangkan dunia dengan tetap memperhatikan kondisi laut. Dalam memetakan dan menerapkan ekonomi biru, perlu dilakukan upaya untuk menghalau segala bentuk polusi yang masuk ke dalam wilayah lautan.

“Ekonomi biru adalah menggerakkan potensi dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya yang dipakai,” tegasnya.

baca :  Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan Laura Tuck (kiri), Wakil Presiden Seychelles Vincent Meriton (tengah), Menteri Ekonomi Sumber Daya Kelautan Perikanan dan Perkapalan Republik Mauritus Premdut Koonjo (kanan), menjadi narasumber dalam sesi pleno ekonomi biru berkelanjutan pada Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/10/2018). ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Idhad Zakaria/Mongabay Indonesia

 

Ajakan untuk menerapkan ekonomi biru, juga dikampanyekan Conservation International Indonesia (CII) pada sesi Ocean Talks yang berlangsung Senin (29/10/2018). Menurut Wakil Presiden CI Indonesia Ketut Sarjana Putra, konsep ekonomi biru sangat layak untuk dikembangkan di Indonesia, mengingat saat ini sudah ada kawasan konservasi perairan (KKP) yang luasnya sudah melebihi 20 juta hektare.

Di kawasan seluas itu, Indonesia bisa mengembangkan berbagai bentuk investasi melalui perikanan budidaya, energi terbarukan lepas pantai , bioteknologi biru, dan pariwisata. Dengan status yang sudah ditetapkan, seluruh 20 juta ha tersebut, akan bisa menjaga keanekaragaman hayati yang ada dan sekaligus melaksanakan konsep ekonomi biru.

 

Manfaat untuk Pesisir

Menurut Ketut, walau keberhasilan menetapkan 20 juta ha kawasan konservasi perairan (KKP) patut mendapat apresiasi, tetapi langkah berikutnya justru menjadi tantangan utama yang harus dilewati Indonesia. Kata dia, bagaimana lahan seluas itu bisa bermanfaat tak hanya untuk masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil saja, melainkan untuk Indonesia secara keseluruhan.

“Wilayah-wilayah tersebut harus bisa dikelola dengan efektif,” ungkap dia yang berbicara di Stage 2.

Direktur Eksekutif WWF Indonesia Rizal Malik berpendapat, perlindungan terhadap wilayah laut, baik di Indonesia dan dunia secara luas, membutuhkan perhatian dari banyak pihak dan harus kontinu. Untuk itu, kerja sama dalam bentuk apa pun akan menjadi bentuk perhatian yang meningkatkan penjagaan menjadi lebih baik lagi.

Selain Pemerintah, pihak yang harus ikut bergerak adalah swasta, dan juga masyarakat. Mereka semua, menurut Rizal adalah tokoh utama dalam menjaga wilayah laut dan bagaimana pemanfaatan potensi di dalamnya dengan baik dan bijak. Adapun, pemanfaatan yang bisa dilakukan, di antaranya seperti disebutkan di atas oleh Ketut Sarjana Putra.

“Pemanfaatan itu akan mendorong terciptanya ekonomi biru dan sekaligus mempromosikan pembangunan inklusif kepada dunia,” tegasnya.

menarik dibaca :  Inilah 10 Fakta Menarik tentang Laut Indonesia

 

Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Di sisi lain, pengembangan ekonomi biru di dunia juga sangat bergantung pada keamanan maritim yang dibangun di atas wilayah laut. Keamanan maritim, akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara nasional dan internasional, yang mencakup di dalamnya adalah kegiatan ekspor impor, keamanan batas negara, dan penangkapan ikan ilegal.

“Untuk poin terakhir ini pada akhirnya merembet pada penyelundupan flora dan fauna langka, obat-obatan terlarang, dan perdagangan manusia,” ungkap mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda pada sesi plenary tentang keamanan maritim yang berlangsung pada Senin.

“Keamanan maritim tidak hanya berbicara tentang keamanan maritim militer saja, tapi juga dalam arti lebih luas lagi. Kita harus bisa memahami perspektif lebih luas tentang keamanan maritim,” tandasnya.

Diketahui, lebih dari 25 juta km persegi kawasan laut di seluruh dunia saat ini telah diberikan perlindungan. Itu mewakili setidaknya 15.600 titik, atau hampir tujuh persen dari luas lautan bumi. Melalui komitmen yang sudah dibangun selama OOC 2018, seluruh negara sudah merasa yakin saat ini perlindungan laut berada pada jalur yang benar.

Lebih dari itu, pada 2020 seluruh negara optimis bahwa batas minimum wilayah yang terlindungi sudah mencapai 10 persen. Cara itu, disepakati akan membawa laut pada level lebih baik, di mana polusi berkurang, dampak perubahan iklim dan penangkapan ikan bisa berkurang. Pada akhirnya, masyarakat pesisir yang menjadi stakeholder utama wilayah laut, akan merasakan manfaat secara nyata.

 

Exit mobile version