Mongabay.co.id

Akankah Komitmen OOC 2018 Bisa Selamatkan Lautan Dunia?

Gelaran Our Ocean Conference (OOC) di Nusa Dua, Bali telah berakhir dengan sukses. Konferensi yang dihadiri 5 kepala negara, 45 perwakilan pemerintahan, dan lebih dari 3.000 delegasi dari 89 negara itu menghasilkan sejumlah komitmen dari para pihak untuk penyelamatan laut global dan untuk mengarahkan sektor kelautan dan perikanan menjadi lebih berkelanjutan.

Tercatat ada 305 komitmen nyata dan terukur yang dinyatakan oleh negara para pihak dan non pemerintah, dengan komitmen pendanaan sebesar USD 10,7 miliar yang dihasilkan dari OOC 2018. Dan komitmen untuk membuat kawasan konservasi laut global (KKL) seluas 14 juta km2.

Sejumlah 305 komitmen tersebut, 40 persen merupakan komitmen dari negara dan sisanya dari pihak non pemerintah serta sektor korporasi. Entitas PBB, Akademisi, komunitas ilmiah dan organisasi filantropis mendaftarkan komitmen paling sedikit. Komitmen tersebut mencakup hampir semua perairan laut dunia.

Indonesia sendiri telah menyatakan 23 komitmen dengan komitmen pendanaan mencapai USD 80 juta. Bila digabung dengan Bank Dunia, LSM dan beberapa sektor korporasi dan yayasan, komitmen pendanaan Indonesia mencapai USD 500 juta.

Sebanyak 305 komitmen tersebut terbagi dalam 6 area aksi yaitu sebanyak 47 komitmen untuk KKL, 39 komitmen terkait perubahan iklim yang berhubungan dengan laut, 49 komitmen untuk keamanan maritim, 63 komitmen untuk menangani polusi kelautan, 47 komitmen untuk perikanan berkelanjutan dan 46 komitmen untuk ekonomi biru berkelanjutan.

Nantinya, komitmen dari hasil OOC 2018 diusulkan untuk diserahkan kepada United Nation Ocean Conference agar dimasukkan dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) ke-14 yaitu Sustainable Development Knowledge Platform.

baca:  Inilah Sejumlah Komitmen OOC 2018 untuk Menyelamatkan Lautan

 

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan dalam pembukaan Our Ocean Conference di Nusa Dua, Bali pada Senin (29/10/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan dalam OOC 2017, ada sekitar 433 komitmen yang diterima. Terdiri dari 356 komitmen (54%) atau mayoritas merupakan komitmen dari negara, kemudian ada 159 komitmen (20%) dari LSM, 51 komitmen (8%) dari lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa/Organisasi antar Pemerintah, 61 komitmen (9%), dari sektor swasta dan lainnya ada 36 komitmen (5%).

Komitmen para pihak pada OOC 2017, sepertiganya dinyatakan sudah selesai, yang berarti sepertiga dari komunitas laut global sudah melakukan aksi penyelamatan laut.

 

Komitmen Bersama

Dalam OOC 2018, isu tentang KKL mengedepanan tentang pentingnya keterlibatan masyarakat lokal yang mempunyai kearifan lokal dalam menjaga kawasan konservasi laut, sehingga kawasan tersebut sukses dikonservasi sekaligus memberi manfaat kepada masyarakat disekitarnya.

Untuk masalah polusi laut, semua pihak bersepakat untuk membersihkan lautan dari beragam sampah plastik yang bisa mencemari ekosistem di dalamnya. Komitmen itu dibutuhkan karena dampak sampah plastik mulai dirasakan dan bersifat kompleks.

Untuk isu sustainable fisheries, semua negara menyatakan kesiapannya untuk menerapkan perikanan berkelanjutan karena semua negara sepakat masih membutuhkan pasokan sumber daya dari laut. Sehingga perlu diatur perikanan berkelanjutn agar sumber daya laut terjaga untuk generasi penerus masing-masing negara.

Sedangkan dalam isu ekonomi biru, sebuah konsep pengembangan ekonomi dunia dengan prinsip berkelanjutan, didorong untuk terus diaplikasikan pada sektor perikanan dan kelautan di seluruh dunia. Hal itu sebagai bentuk upaya penyelamatan ekosistem lautan yang makin terancam karena berbagai faktor.

baca juga : Menakar Komitmen Global Penyelamatan Samudera Dunia pada OOC 2018

 

lautan sampah di laut. Foto : Caroline Power/imgur/thegoodshoppingguide.com

 

Pelacakan Komitmen

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat memberi keterangan resmi di Jakarta, Rabu (17/10/2018) mengatakan Indonesia yang berperan sebagai tuan rumah sekaligus pemimpin isu kelautan di dunia bakal melakukann pemantauan dengan sistem mekanisme pelacakan (tracking mechanism system).

Sistem itu dibuat untuk mengukur dan mengontrol sejauh mana komitmen yang dijanjikan negara peserta untuk bisa diterapkan dalam aspek kehidupan di negara tersebut.

Arifsyah M. Nasution, Koordinator Kampanye Kelautan Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia, menanggapi positif hasil dari OOC 2018. Pertama, mulai ada mekanisme pemantauan terhadap komitmen parapihak (commitment tracking) untuk melihat sejauh mana kemajuan komitmen tersebut. Kedua, Indonesia telah memimpin proses keterbukaan data ikan melalui vessel monitoring system(VMS) untuk mengecek lokasi kapal pada waktu tertentu. Tahun ini, Peru mulai mengikuti Indonesia.

“Kami berharap makin banyak akan ikut serta untuk mewujudkan transparansi dalam industri perikanan ini, termasuk stok ikan masing-masing negara dan perlindungan di laut lepas,” kata Arif.

Namun, Arif juga memberikan catatan kritis terhadap OOC 2018. Menurut Arif, narasi pemerintah Indonesia di konferensi ini belum seragam. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai co-host konferensi bersama Kementerian Luar Negeri sudah bagus dan menjadi sektor pemimpin di isu konservasi kelautan.

menarik dibaca :  Inilah 10 Fakta Menarik tentang Laut Indonesia

 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Evaluasi Komitmen

Sementara Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan isu yang kemudian menjadi komitmen peserta OOC 2018 tidak jauh berbeda dengan forum sebelumnya atau forum multilateral lain berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut.

“Dengan perkataan lain, isu yang dibahas merupakan isu perenial di ranah kelautan dan perikanan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Senin (5/11/2018).

Halim mengatakan ada sejumlah komitmen yang sejatinya perlu dievaluasi, yakni KKL, perikanan berkelanjutan, polusi laut dan sampah plastik.

“Terkait KKL, usulan perluasan KKL seharusnya diubah menjadi mempromosikan skema pengelolaan sumber daya laut berbasis kearifan lokal. Dengan cara ini, maka fokusnya bukan semata-mata target luasan KKL yang kerap meminggirkan masyarakat adat, melainkan memposisikan masyarakat adat sebagai subyek pengelola utama. Apalagi Indonesia kaya akan kearifan lokal yang masih lestari hingga saat ini,” katanya.

Sedangkan mengenai perikanan berkelanjutan, komitmen yang dihasilkan perlu diukur sejauh mana implementasinya. Di era globalisasi pengelolaan sumber daya perikanan, kelembagaan yang otoritatif dan data hasil tangkapan ikan memainkan peranan yang sangat penting.

“Di lapangan, negara justru tidak banyak berperan ketimbang LSM internasional. Di sinilah negara, yaitu KKP dan pemda, perlu bertindak lebih strategis, tidak sebatas menerbitkan regulasi tanpa implementasi yang prudent dan memungut pajak perikanan,” lanjutnya.

Menyangkut sampah plastik atau pencemaran laut, pemerintah mesti menjalin kerja sama dengan sejumlah negara yang lebih maju dalam pengelolaan limbah, tak terkecuali di sektor pengolahan ikan

Hal ini penting mengingat banyak perusahaan ikan di Indonesia masih berstatus merah dan bahkan hitam dalam pengelolaan limbah, seperti terlihat dari hasil Proper dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Indonesia mesti mengambil peran lebih, mengingat sepertiga potensi perikanan dunia ada di republik ini, terlebih menyangkut kepentingan nasional alias kesejahteraan masyarakat pesisir, seperti nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir,” lanjut Halim.

Karena sistem pelacakan komitmen sudah disepakati, tinggal pro aktif memastikannya pelaksanannya, tutup Halim.

 

Greenpeace mendokumentasikan keragaman hayati dan lingkungan di Papua yang terancam dan menanti aksi segera agar terlindungi. Foto: Paul Hilton/ Greenpeace

 

Aksi Bersama

Pelacakan komitmen dari para pihak memang menjadi penting agar semua hal yang telah dijanjikan untuk dikerjakan dalam enam area agenda aksi tersebut bisa dilakukan.

Aksi kongkret dan terukur menjadi suatu keharusan disaat lautan dan samudera global ini.

Presiden Joko Widodo saat pembukaan OOC 2018 telah menyatakan satu negara tidak mungkin menangani semua permasalahan yang terjadi di lautan. “Oleh karena itu diperlukan kerja sama. Kita memerlukan kerja sama lintas aktor dan global,” katanya.

“Kita semua harus berani membuat komitmen dan mengambil langkah konkret dimulai dari diri kita masing-masing. Komitmen dan langkah yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas dan berdampak nyata terhadap perlindungan laut. Every little action counts,” tegas Jokowi.

Memang, setiap aksi nyata sekecil apapun, akan berdampak bagi lautan global kita.

***

Keterangan foto utama :Presiden Joko Widodo memberikan sambutan dalam pembukaan Our Ocean Conference di Nusa Dua, Bali pada Senin (29/10/2018). Foto : Oji/Humas Setkab/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version