Mongabay.co.id

Ketika Hutan Lombok Gundul, Bencana Muncul (3)

Tumpukan kayu sudah dipotong dan siap dijual ke petani tembakau di lahan konsesi HTI-CE PT Sadhana Arifnusa. STN menuding perusahaan juga menebang pohon hasil proyek reboisasi dan gerhan yang ditanam petani dan pemerintah. Foto: STN Lotim/Mongabay Indonesia

 

Banjir bandang dan longsor dengan kayu-kayu gelondongan hanyut, salah satu indikasi kawasan hulu rusak. Sambelia, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, jadi lokasi langganan banjir sejak 2006. Saling tuding penyebab kerusakan hutan, apakah masyarakat atau perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI)—penyedia kayu bahan bakar pengovenan tembakau. Yang pasti, perlu ada jalan keluar, bagaimana hutan-hutan di hulu terjaga dan mencari model pengeringan tembakau ramah alam.

 

***

Bangunan kayu ini berukuran sekitar1,5 X 2,5 meter. Itulah kini tempat Kartini, warga Dusun Menanga Reak, Desa Dara Kunci, Sambelia, Lombok Timur, menghabiskan malam hari sejak gempa mengguncang Lombok 29 Juli, silam.

Rumah dari batako tak roboh karena gempa pertama, tetapi terus dihantui rasa ketakutan. Hingga empat kali gempa besar mengguncang Lombok, 19 Agustus malam, tembok bangunan rumah yang baru dua tahun itu ambruk. Bagian tembok sisi lain terlihat miring, tak langsung ambruk karena tertahan tiang kayu. Barang-barang berharga sudah dia keluarkan, khawatir terkubur reruntuhan rumah.

Baca juga: Ketika Tembakau Picu Kerusakan Lingkungan di Lombok (Bagian 1)

Duka dampak bencana gempa masih dirasakan Kartini dan keluarga. Belum usai masalah gempa, warga Dusun Menanga Reak, dibayangi kecemasan musim hujan.

Menanga Reak, dusun di Desa Dara Kunci ini sebenarnya dekat laut. Ia salah satu dusun cukup parah terdampak banjir Sambelia pada 2013. “Rumah rusak ini dulu rusak juga karena banjir, baru diperbaiki,’’ katanya.

Kecemasan Kartini, bukan tanpa alasan. Tahun lalu, banjir besar kembali menjerjang Sambelia, kali ini di Desa Belanting, bertetangga Dara Kunci. Luapan air sungai menggenangi puluhan rumah warga, menghanyutkan harta benda sampai ternak.

Baca juga: Ketika Perusahaan Pemasok Tembakau Berkonflik Lahan dengan Warga Lombok (Bagian 2)

Seorang perwira kepolisian, pengajar di Sekolah Polisi Negara (SPN) Belanting ditemukan tewas keesokan hari di sungai. Mobilnya terseret air bercampur lumpur saat mencoba menyeberangi sungai. Air bah tiba-tiba datang.

Setiap ada banjir di desa-desa lain di Sambelia, Kartini merasa suatu saat banjir serupa kembali menghantam kampungnya.

Tinggal di bagian hilir, jauh dari kawasan hutan, Kartini dan 933 keluarga di Desa Dara Kunci adalah saksi mata keganasan banjir badang 2006. Nyaris berbagai infrastruktur jembatan putus. Rumah dekat aliran sungai hanyut. Kayu gelondongan banyak hanyut. Dari sana warga korban banjir menuding dampak penebangan di bagian hulu.

Baca juga:   Mengerikan, Demi Tembakau Anak-anak Ini Terpapar Nikotin dan Racun

Setelah banjir bandang 2006, bencana ini seakan jadi langganan rutin setiap tahun di Sambelia. Tak seperti banjir 2006, tetapi selalu menyisakan “oleh-oleh,” minimal jembatan desa putus, beberapa rumah hanyut, dan menggenangi rumah-rumah warga. Banjir 2013, memutus salah satu jalan penghubung dusun di Desa Dara Kunci.

Tahun 2015, tak sampai banjir besar. Pada 2017, banjir bercampur lumput membuat warga kembali cemas. Banjir 2006, juga bercampur lumpur.

Faisal, Kepala Desa Dara Kunci tambah pusing dengan gempa yang merusak lebih setengah rumah warga. Desa yang dekat pusat gempa 19 Agustus lalu ini membuat 625 rumah warga rusak berat.

Selain rehabilitasi gempa, Faisal juga memikirkan kelanjutan proyek pembuatan tanggul di sungai yang melintas di Dusun Batu Sela dan Menanga Reak. Pada banjir 2017, luapan air sungai masuk ke rumah warga.

Tak separah pada banjir-banjir sebelumnya, tetapi jadi sinyal bahwa kejadian serupa bisa terjadi, dalam skala lebih besar. “Tanggul itu untuk mencegah luapan air masuk kampung.”

Menanga Reak dan Batu Sela, adalah dua dusun paling parah kerusakannya karena banjir Sambelia. Setiap musim hujan tiba, warga di dua dusun ini penuh kecemasan.

 

Kerusakan jembatan karena banjir bandang yang menerjang Sambelia pada 2013. Kondisi hutan yang gundul, salah satu di hutan produksi memicu banjir hampir setiap tahun. Foto: Fathul Rahkman/ Mongabay Indonesia

 

Apalagi, setelah gempa mengguncang Lombok, beberapa bukit alami keretakan. Kalau nanti curah hujan lebat, mereka khawatir banjir akan bercampur lumpur. Lumpur itulah yang banyak membuat kerusakan.

Faisal bilang, tak perlu mencari teori untuk mengetahui penyebab banjir. Yang pasti, katanya, bagian hulu (hutan) gundul. Tak peduli apakah masyarakat atau perusahaan yang memiliki izin penebangan, bagi Faisal, mereka harus bertanggungjawab terhadap bencana banjir di Sambelia.

“Yang menebang di daerah atas, tetapi kami di bawah yang kena banjir bandang,’’ katanya.

Sebagian Dara Kunci, memang berbatasan dengan kawasan hutan, termasuk sebagian warga juga terlibat konflik dengan PT Sadhana Arifnusa. Lahan yang dikuasai perusahaan pembeli daun tembakau kering itu membentang dari ujung utara hingga ujung selatan Sambelia. Hampir semua desa di Sambelia, masuk peta hutan tanaman industri perusahaan ini.

Dampak banjir tak sekadar kerusakan material, juga psikologis masyarakat terganggu.

Baca juga:   Kala Petani Temanggung Beralih Tanam dari Tembakau ke Kopi dan Sayur (Bagian 1)

Warga ketakutan ketika hujan lebat turun. Mereka mencemaskan air bah dari hulu yang bermuara di pesisir di kampung.

“Jalan rusak karena banjir dulu sampai sekarang belum semua diperbaiki,’’ kata Faisal.

Satu-satunya cara agar banjir tak lagi jadi bencana tahunan di Sambelia, adalah menghutankan kembali daerah hulu. Lahan kuasa masyarakat dan perusahaan harus kembali ke fungsi semula sebagai hutan. “Kami lelah juga dengan banjir,’’ katanya.

 

***

HM Amin, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) periode 2013-2018 yang mengakhiri jabatan pada 17 September 2018 pernah melemparkan wacana ke publik agar hutan Sambelia ditanami beringin. Niat politikus Golkar yang bergabung ke Nasdem ini bukan bermaksud politis jadikan Sambelia sebagai hutan beringin–pohon yang identik dengan Golkar.

Kala itu, kata Amin, hanya beringinlah pohon yang memungkinan Sambelia cepat pulih dari lahan kritis. Beringin cepat tumbuh dan pohon tak bisa dimanfaatkan. Pohon itu akan menyimpan air dan menghijaukan kembali Sambelia.

Ide yang sulit terealisasi di lapangan. Sebagian besar hutan produksi di Sambelia, terbebani izin perusahaan, yang sejak awal memerlukan kayu. Bahkan, kalau perusahaan menanam kayu, mereka tak akan membiarkan terlalu lama, harus ditebang cepat untuk kebutuhan bahan bakar.

Baca juga:   Tembakau Temanggung, Andalan Daerah Tetapi sebagian Tanam di Hutan Lindung

Dari 1.794 hektar hutan di Lombok Timur, merupakan konsesi Sadhana, perusahaan pembeli daun tembakau kering ini memiliki izin hutan tanaman industri cadangan energi (HTICE). Berdasarkan rekomendasi Gubernur NTB tertanggal 9 Juni 2009 tentang IUPHHK-HTI Sadhana seluas 4.028 hektar, tersebar di Lombok Timur 1.794 hektar, Lombok Tengah 829 hektar, dan Lombok Utara 1.407 hektar.

Perusahaan ingin memastikan produksi tembakau petani terus berlanjut dengan menyediakan bahan bakar pengovenan.

 

Citra dari satelit kondisi Sambelia tahun 1995
Citra dari satelit kondisi Sambelia pada 2015. Luasan lahan tak bertegakan kayu terlihat makin luas.

 

Yazid Sururi, pegiat lingkungan sekaligus peneliti kehutanan bilang, hasil pengamatan dan pemetaan di Sambelia, baik hutan kelolaan masyarakat (hutan kemasyarakatan) maupun perusahaan, tak jauh berbeda, sama-sama kritis. Wilayah HKm, katanya, tak semua terjaga baik, juga perusahaan, tak menjalankan kewajiban menanami konsesi mereka.

Dulu, lahan itu cukup hijau dengan gerakan rehabilitasi lahan (gerhan) maupun pohon tanaman petani, belakangan perusahaan membersihkan lahan dengan menebang semua. Yang terjadi, katanya, lahan makin kritis.

“Perusahaan juga menebang dengan metode clear cutting (sistem tebang habis),’’ katanya.

Dengan metode ini, perusahaan membabat habis dan menanami komoditas kayu keperluan mereka. Sistem tebang habis inilah, katanya, yang membuat lahan makin kritis, belum lagi laju penanaman tak secepat penebangan.

Saat curah hujan tinggi, tanah yang tak lagi ada pepohonan mudah tergerus, jadi lumpur. Limpahan air dan lumpur ini menerjang Sambelia, merusak rumah, jembatan, dan fasilitas umum lain. Selain itu, banjir juga membawa potongan kayu dari hutan. Ia hanyut bersama air.

Pria yang memetakan tutupan hutan di Sambelia pada 1995-2015 ini mengatakan, dari peta satelit tampak jelas area tutupan lahan berkurang. Lahan non kayu terus bertambah. Di peta citra satelit yang diolah Yazid juga tampak salah satu pulau kecil (gili) dengan hutan mangrove berkurang cukup luas.

Dia bilang, perlu penelitian lebih lanjut guna mengetahui dampak kerusakan hutan di hulu, banjir, dan kesehatan hutan mangrove di beberapa daerah di Sambelia.

Menurut Yazid, kalau melihat intensitas banjir di Sambelia, kondisi sudah darurat. Untuk itu, perlu upaya segera menghijaukan hutan yang gundul, baik di hutan lindung maupun hutan produksi di konsesi perusahaan maupun masyarakat.

Pemerintah, katanya, harus menekankan agar lahan-lahan itu segera ditanami pepohonan kuat menahan erosi.

Untuk jangka panjang, Yazid mengusulkan, ubah status HTI jadi kawasan konservasi. Begitu juga status hutan produksi di bagian lain, kembali jadi kawasan konservasi. “Itu tawaran jangka panjang.”

 

 

Selama ini, katanya, tuduhan kerusakan hutan sering tersemat kepada petani. Mereka membuka lahan, mengganti dengan tanaman semusim. Memang, katanya, ada petani menanami lahan di ketinggian dengan tanaman semusim seperti kacang panjang, jagung, dan padi. Selain itu, mereka juga menanam tanaman keras seperti pohon serikaya dan jambu mete. Pohon buah itu bantuan dari pemerintah.

Warga juga bergantung pada pohon buah itu, katanya, karena tanaman semusim hanya bisa pada musim hujan. Kala kemarau, justru musim panen buah-buahan dan bermanfaat bagi petani.

“Selama ini lahan HKm terus yang dituduh gundul, dan sebagai pemicu banjir,’’ katanya.

Padahal, di lahan-lahan kelola itu, katanya, petani menjaga pohon buah karena sumber penghasilan mereka. Sayur hanya keperluan sehari-hari. Kondisi itu, katanya, berubah ketika perusahaan masuk. Pepohonan dan tanaman dibersihkan.

Andra Ashadi, Serikat Tani Nasional (STN) Lombok Timur bilang, justru perusahaan penyebab kerusakan hutan Sambelia. Kala lahan masih kelolaan petani, mereka tak mengganggu tanaman dari proyek gerhan seperti sonokeling. Begitu perusahaan masuk, semua ditebang termasuk pepohonan warga. Kayu-kayu itu, katanya, untuk pengovenan tembakau.

“Justru perusahaan yang membuat lahan di Sambelia makin kritis. Coba tunjukkan mana tempat rimbun yang pohon ditanam perusahaan?”

Andra menunjukkan kepada saya foto-foto dokumentasi STN Lombok Timur selama mengadvokasi petani di Sambelia. Dia memperlihatkan, aktivitas masyarakat. Di dalam beberapa foto terlihat masyarakat mengangkut kayu gelondongan untuk membangun masjid. Kalau lihat volume, tak banyak.

Foto lain memperlihatkan, lahan HTICE. Di lahan itu terlihat kayu yang sudah ditebang dan dipotong kecil. Kayu-kayu itu tertumpuk rapi. Di belakang tumpukan kayu itu terlihat kondisi lahan nan tandus.

Dari perusahaan, dalam tulisan di Mongabay, sebelumnya, Kuswanto Setia Budi, Station Manager PT Sadhana Arifnusa mengatakan, konsesi Sadhana sudah ditanami, baik di Lombok Tengah maupun Lombok Timur. Di Desa Sambelia, Lombok Timur, dalam proses.

Di Lombok Tengah, lebih maju. Pohon perusahaan sudah panen. Perusahaan mengakui, ada persoalan dengan petani. Beberapa petani belum bisa kompromi dengan skema perusahaan.

Saat ini, katanya, perusahaan berproses menyelesaikan konflik dengan petani.

Lahan di Lombok Utara, katanya, sampai kini masih menunggu petunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kemungkinan kemitraan penuh dengan tanaman perkebunan.

Di Sambelia, para petani menolak kemitraan perusahaan . Menurut mereka, kemitraan itu merugikan. Para petani memilih mempertahankan lahan garapan.

Di Sambelia, katanya, perusahaan melakukan pembersihan dengan clear cutting. Lahan kritis dalam proses penanaman. “Semua masih baru hingga proses belajar.”

Kala perusahaan masuk, katanya, kawasan juga kritis, warga masuk. Dia klaim, ada perusahaan justru bagian menghutankan kembali lahan gundul.

Bagaimana dengan kebijakan perusahaan menyediakan bahan bakar kayu bagi petani tembakau mitra?

Kuswanto mengklaim, sejak semula perusahaan menegaskan hutan sebagai penyangga. Tanaman utama adalah turi. Ia ditanam di lahan warga masing-masing, baik di pematang sawah, ladang dan kebun.

Dalam tiga tahun, turi bisa panen dan jadi bahan bakar kayu mandiri, tanpa perlu mencari keluar.

Meskipun begitu, meyakinkan petani menanam dan memanfaatkan turi tak mudah. Petani berasumsi, kayu yang baik untuk pembakaran seperti kayu asam. Akhirnya, petani berburu kayu, selain turi.

“Inilah yang memicu maraknya penebangan pohon keras. Bahkan petani mitra perusahaan pun sulit diyakinkan dengan bahan bakar turi, kualitas pengovenan bagus.”

 

Satu titik kondisi hutan di Lombok. Kayu ditebang berganti  pisang. Sejak pengovenan tembakau dengan bahan bakar kayu,  ratusan truk kayu diangkut dari kebun, termasuk  dari kawasan hutan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Perlu ada solusi

Markum, dosen Kehutanan Universitas Mataram bilang, perusahaan seharusnya bisa menyisihkan dana tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) untuk riset bahan bakar alternatif.

Metode pembakaran, katanya, memang menimbulkan masalah baru bagi lingkungan. Asap pembakaran mengganggu kualitas udara terutama oven tembakau berada di perkampungan yang bisa menganggu pernafasan warga sekitar. Apalagi kalau di kampung itu banyak oven.

Setidaknya, kata Markum, perusahaan perlu riset mencari formula meminimalisir dampak pembakaran. Dari berbagai bahan bakar alternatif selain minyak tanah, perusahaan perlu riset mencari bahan bakar ramah lingkungan.

Menurut Markum, kayu dari Pulau Lombok dan Sumbawa tidak ramah lingkungan. Bahkan, kerugian dari pembakaran menggunakan kayu itu tak sebanding dengan dampak ekonomi dari bisnis tembakau di Lombok.

Dulu, katanya, warga pernah coba cangkang sawit. Di NTB tak ada perkebunan sawit tetapi didatangkan dari Kalimantan dan Sumatera.

“Cangkang sawit yang pernah dipakai, menurut petani, api yang tak sebagus kayu. Di sinilah peran perusahaan melakukan kajian dan percobaan untuk menemukan model tungku yang kira-kira bisa memaksimalkan panas pembakaran cangkang sawit,” katanya, seraya bilang perlu riset untuk mencari kriteria cangkang sawit terbaik untuk pengovenan.

Ahmad Rifai, DPP Serikat Tani Nasional (STN) mengatakan, pemerintah juga tak boleh berpangku tangan melihat kerusakan lingkungan karena penggunaan kayu berlebihan.

Pemerintah, katanya, juga tak boleh membiarkan petani berjuang sendiri mencari bahan bakar untuk pengovenan tembakau. Dana bagi hasil cukai hasil tembakau, katanya, yang didapat pemerintah harus kembali ke petani dalam bentuk penyediaan bahan bakar alternatif.

“Jangan habis dibagi-bagi ke daerah dan untuk program yang tak jelas bagi petani,’’katanya.

Rifai mendesak, pemerintah dan perusahaan segera mencarikan alternatif pengeringan tembakau dengan teknologi ramah lingkungan. Pemerintah dan perusahaan, katanya, tak boleh pelit mengeluarkan dana meriset teknologi yang memungkinkan pengeringan tembakau tanpa harus pakai pembakaran seperti sekarang.

“Apakah itu mengggunakan energi panas matahari, listrik, atau teknologi lain.”

Dia bilang, teknologi ini akan mahal, tak akan terjangkau petani. Untuk itulah, perlu ada upaya pengeringan tembakau tak melulu oleh petani, juga oleh perusahaan atau penyediaan fasilitas oleh pemerintah.

Teknologi pengeringan ramah lingkungan itu, katanya, bisa mengurangi beban pemerintah dalam memperbaiki kerusakan lingkungan dampak penebangan pohon masif setiap musim tembakau.

Di Jawa, kata Rifai, pengeringan tembakau tak seperti di Lombok. Dia juga tak mengerti alasan perusahaan yang beroperasi di Lombok, memaksa petani harus mengeringkan tembakau dengan metode pembakaran.

Menurut dia, perlu evaluasi sistem pengeringan dengan memasang gelantang (tembakau diikat pada sebuah tongkat, kemudian digantung seperti jemuran baju di dalam oven).

“Apakah memungkinkan ada cara lain lebih menghembat bahan bakar tapi hasil lebih bagus? Setidaknya, bisa mengurangi bahan bakar yang harus disiapkan setiap musim tembakau. Jangan cuma mau enak beli yang sudah jadi saja,.”

Jadi, bagaimana nasib lingkungan, hutan dan keselamatan warga di Lombok, ke depan? (Selesai)

 

Keterangan foto utama:    Tumpukan kayu sudah dipotong dan siap dijual ke petani tembakau di lahan konsesi HTI-CE PT Sadhana Arifnusa. STN menuding perusahaan juga menebang pohon hasil proyek reboisasi dan gerhan yang ditanam petani dan pemerintah. Foto: STN Lotim/Mongabay Indonesia

 

Asap keluar dari cerobong oven tembakau di Desa Wakan, Lombok Timur. Dari seluruh jenis bahan bakar yang pernah dipakai petani, pembakaran batubara yang paling banyak dan paling bau asapnya. Kini hampir semua petani menggunakan bahan bakar kayu. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version