Mongabay.co.id

SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat Kinipan

Begini hutan rimba Laman Kinipan, kini...Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Perusaahan sawit, PT SML membantah kala ditunding mencaplok wilayah adat Laman Kinipan. Mereka bilang, belum  membuka lahan di wilayah adat Kinipan. Tetua adat Kinipan, menjawab, dari batas alam sampai kultural, wilayah itu sudah hutan adat Kinipan,  sejak dulu. 

 

PT Sawit Mandiri Lestari (SML) membantah tudingan mencaplok lahan dan hutan adat Laman Kinipan. Perusahan perkebunan sawit beroperasi di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mengklaim telah bekerja berdasarkan legalitas pemerintah. Meskipun begitu, SML mengakui, Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Lamandau, masuk rencana pembukaan lahan sawit mereka.

Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Haeruddin Tahir, Executive Operation SML, mengatakan sebagai bentuk klarifikasi atas penyebutan nama perusahaan mengambil lahan warga dalam demonstrasi Komunitas Adat Laman Kinipan, di DPRD Lamandau Senin (8/1/0/18).  Kala Mongabay, akan menerbitkan tulisan, berkali-kali berupaya mengkonfirmasi, tetapi perusahaan tak memberikan respon. Setelah berita terbit, SML baru memberikan keterangan.

“Yang ingin saya luruskan, SML itu sesungguhnya bekerja berdasarkan koridor. SML memiliki izin lengkap. Mulai dari izin lokasi, SML punya. Pelepasan kawasan [hutan] juga SML punya. Kemudian ada HGU [hak guna usaha]. SML juga punya IPK, izin pemanfaatan kayu. Keseluruhan SML memiliki izin dan legalitas lengkap,” katanya.

Dia bilang, kelengkapan izin sudah disampaikan saat pertemuan di Kantor Staf Presiden Deputi V di Bina Graha, Jakarta, beberapa hari lalu. “SML memiliki izin lengkap. Pernyataan yang saya sampaikan itu diaminkan dan dipertegas dinas-dinas terkait. Baik Dinas Perkebunan, Kehutanan dari provinsi, kabupaten, dan bupati (Lamandau) saat itu,” kata Tahir.

Didampingi Bobi Lawi, Project Manager SML, pria asal Sulawesi Selatan itu membeberkan, SML memperoleh izin pelepasan lahan 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. Izin pelepasan itu untuk areal inti 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar.

Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Berdasarkan pengukuran kadastral (pertanahan) Badan Pertanahan Nasional (BPN) 13 April 2017, katanya, perusahaan mendapatkan lahan 17.046 hektar. Di dalam itu, untuk perkebunan inti 9.435 hektar dan plasma 7.611 hektar dan HGU seluas 9.435,22 hektar. “Semua yang sudah HGU itu areal inti. Yang plasma izin lokasi, pelepasan, dan kadastral.”

Menurut Tahir, SML memperoleh izin membuka kebun sawit di tiga kecamatan di Lamandau. Sembilan desa di Lamandau, yakni Desa Suja, Penopa, Karang Taba, Tapin Bini, Tanjung Beringin, Sungai Tuat, Cuhai, Kawa, dan Samujaya. Lalu, Desa Riam Panahan di Kecamatan Delang, serta dua desa di Kecamatan Batang Kawa, yaitu Batu Tambun, dan Kinipan.

 

Bobi Lawi (kiri), Project Manager PT SML, dan Haeruddin Tahir, Executive Operation PT SML saat memberikan keterangan pers, di Pangkalan Bun, Rabu 31 Oktober 2018. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, tak semua dari 12 desa itu memiliki lahan potensial untuk kebun sawit. Ada tiga desa di Lamandau, yakni Cuhai, Kawa, dan Samujaya, tak memiliki lahan untuk digarap. Namun, katanya, ketiga desa itu masuk dalam rencana penerima plasma SML, sesuai arahan pemerintah daerah.

“Itu kita akomodir karena disarankan dalam izin pemerintah. Kita kan patuh arahan izin pemerintah daerah, provinsi dan pusat.”

Plasma, katanya, dikelola global, tak dalam wilayah desa. “Mudah-mudahan tak ada masalah, masing-masing desa bisa saling bersatu jadi bagian komunitas plasma SML.”

Hingga kini, kata Tahir, SML belum membuka lahan (land clearing) di wilayah Kinipan. Anggapan dia, yang disebut Laman Kinipan sebagai wilayah adat itu merupakan Desa Karang Taba, Kecamatan Lamandau.

Sedangkan yang sudah perusahaan garap di lahan desa-desa Kecamatan Lamandau dan berdasarkan peta pemerintah.

Dia menunjukkan peta bertanda tangan Marukan, Bupati Lamandau periode 2008-2018. “Ini bukan kami yang buat. Ini diterima dari Pemerintah Kabupaten Lamandau, peta batas antarkecamatan,” katanya.

“Jadi kalau kita diklaim melanggar, SML diklaim mencaplok lahan dan sebagainya, saya pikir ini perlu diluruskan kembali. SML bekerja dalam koridor yang ada. Bekerja masih di wilayah ini, masih jauh dari Kinipan.”

Dia juga menambahkan, beberapa pihak dari desa-desa di Lamandau sudah menyetujui masuk perkebunan sawit SML, dan mereka tak terima klaim Kinipan.

Dalam konferensi pers itu, perusahaan datang bersama sejumlah warga dari Kecamatan Lamandau.

Triyanto, warga Karang Taba mengatakan, keinginan Kinipan jadikan desa sebagai wilayah dan hutan adat merupakan hak Kinipan.

Dia bilang, dalam memproses hutan adat, Kinipan berkonsultasi terlebih dahulu dengan desa-desa tetangga. “Mereka mau bentuk hutan adat, itu silakan. Silakan itu desa mereka. Jangan mereka klaim desa kita, melewati garis kecamatan. Saya sebagai masyarakat Karang Taba, sangat keberatan.”

Ada juga Rudi Seha, warga Tapin Bini, Lamandau. Dia bilang, batas Kinipan dengan Lamandau, di Desa Suja, adalah Hulu Sungai Pojaran, jembatan keempat. Batas itu, katanya, disepakati semasa Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan sebagai kepala desa. “Ini jembatan keempat sudah jauh,” katanya sambil menunjuk titik klaim Kinipan di peta.

Wendy Suwarno, Sekretaris Dewan Adat Dayak (DAD) Kotawaringin Barat, juga hadir dalam pertemuan itu mengatakan, klaim Kinipan yang didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menimbulkan kegaduhan. “Harapan saya, AMAN segera menarik diri. Pemetaan wilayah adat itu berada di luar batas desa dan kecamatan. Inilah yang jadi gejolak.”

DAD Kalimantan Tengah, katanya, mungkin akan menurunkan tim untuk mengatasi persoalan ini. Wendy beralasan, seharusnya AMAN memberikan pemahaman wilayah yang sudah ada izin dan di luar desa, tak bisa jadi milik Kinipan.

Dia mengklaim, desa menggantungkan harapan program perusahaan berjalan demi menambah nilai ekonomi masyarakat. “Kalau hanya mempertahankan hutan, apa yang terjadi? Memang hutan perlu. Kan tidak semua yang kita garap,” katanya.

Karena warga menerima, Tahir, beralasan perusahaan tak mungkin menghentikan kegiatan membuka lahan seperti tuntutan Kinipan. SML bekerja, katanya, malah dengan kawalan warga desa-desa itu. “Jadi disuruh berhenti gimana? Orang yang mengawal desa. Kan enggak bisa juga. Itu namanya sepihak,” ucap Tahir.

Soal denda adat, dia mengaku tak paham prosedur adat. “Kami bekerja berdasarkan prosedur izin legal yang kita punya. Kami pahami kita belum masuk dalam wilayah mereka. Jadi itu saya kira salah paham saja.”

 

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

Baru ada izin lokasi dan pelepasan kawasan di Kinipan

Bobi Lawi mengatakan, lahan Kinipan mulai dikerjakan pada 2019. Wilayah itu, katanya, masuk konsesi SML berupa izin lokasi dan pelepasan kawasan. “Kalau dari peta Kinipan enggak masuk kadastral. Pelepasan masuk, izin lokasi masuk. Cuma di kadastral tidak masuk,” katanya.

Tahir berharap, Kinipan membuka diri dan bekerja sama dengan perusahaan. Kalau Kinipan tetap memproses pengakuan wilayah adat, perusahaan tidak dalam kapasitas menjawab itu. “Kalau ditanya apa harapan kami, harapan kami saudara-saudara Kinipan bersedia bersama-sama membangun.”

Tahir bilang, perusahaan dari awal mencoba berkomunikasi dengan masyarakat Kinipan, namun belum memperoleh titik temu. “Terkait Kinipan, Mas Effendi Buhing, kita tetap membuka diri komunikasi. Terbukti dengan beberapa kali kita mengundang mau ketemu (sebelumnya).” Sementara dalam berita Mongabay, sebelumnya, menyebutkan, warga malah mengajak perusahaan berdialog, bahkan berkirim surat tetapi tak ada respon.

 

Apa kata Kinipan?

Mongabay menanyakan lagi kepada Effendi, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan. Buhing mengatakan, batas kecamatan acuan SML itu belum final. Batas itu, katanya, dibuat semata untuk acuan pemekaran kecamatan beberapa tahun lalu. “Itu hanya di atas meja. Dikira-kira saja. Di dalamnya (wilayah) itu ada (batas secara) adat budaya, kesepakatan-kesepakatan. Batas-batas wilayah itu kan harus ada kesepakatan,” katanya.

Seharusnya, kata Buhing, tata batas antardesa dan kecamatan itu hasil kesepakatan, ditandai ada berita acara, dan dikuatkan surat keputusan (SK) bupati. “Itu belum ada. Batas antarkecamatan, antardesa belum ada. Yang baru ada desa tertentu. Kecamatan pun kupikir belum semua ada kesepakatan. Setidaknya, ada kesepakatan antardesa itu sendiri yang berbatasan. Kalau bupati atau perda hanya memperkuat secara hukum,” katanya, Sabtu (3/11/18).

Wilayah Kinipan yang selama ini mereka klaim, katanya, berdasarkan batas alam dan kultural telah diterima sejak lama. Menurut dia, di wilayah itu pula belasan tahun lalu, Kinipan bekerja kayu bersama Amprah Mitra Jaya.

“Yang digarap sekarang ini, Kinipan itu. Tak ada masalah. Karang Taba, tak ada menuntut.” Bahkan, katanya, di lokasi itu Kinipan pernah memperkarakan Koperasi Bina Belantara dan bayar Rp40 juta. “Itu Koperasi Desa Kawa. Kita tuntut bayar mereka Rp40 juta waktu itu. Artinya, kan tidak ada masalah.”

 

Sungai Batang Kawa yang melintasi Kinipan. Air sungai lancar karena hutan hulu terjaga. Foto: Mongabay Indonesia

 

Emban, mantan Kepala Desa Kinipan, mengatakan, wilayah klaiman sebagian masyarakat Karang Taba, itu secara kultural wilayah Kinipan. Dia menyebut, beberapa warga Karang Taba, memang memiliki hak adat atas tanah itu, karena juga keturunan orang Kinipan. “Kalau untuk wilayah desa enggak bisa diambil. Itu tetap bagian dari Desa Kinipan. Nanga Taru dan Nanga Temaja itu harga mati,” katanya beberapa waktu lalu.

Dia bilang, batas Kinipan dengan Karang Taba itu dari zaman dulu sudah ada. “Sudah disepakati. Itu di Nanga Taru. Itu sudah dari nenek moyang dulu. Namanya itu di Dukuh Sahut,” ucap Emban.

Berdasarkan batas alam dan kultural itulah, Kinipan melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif pada 2015. Hasil pemetaan itu, katanya, disampaikan dalam lokakarya dan deklarasi Adat Laman Kinipan pada 2016. Saat deklarasi, katanya, Karang Taba juga hadir.

Menurut Buhing, saat deklarasi, Triyanto tidak ada. “Yang ada itu Yutan, Ranus, Sugio, kepala adat, dan satu orang lagi aku tak tahu namanya. Ada fotonya. Mereka menandatangani daftar hadir. Yutan pun tanda tangan,” kata Buhing.

Secara administrasi pemerintahan, kata Emban, batas antara Kinipan dan Karang Taba, juga batas antara Kecamatan Batang Kawa dan Lamandau, belum disepakati melalui sebuah berita acara, apalagi surat keputusan bupati.

Adapun soal perbatasan di hulu Sungai Pojaran, jembatan empat, Buhing tak mempersoalkan. Dia membenarkan ada kesepakatan di sana saat dia menjabat kepala desa pada 2002. “Ya. Jembatan keempat. Sebelah kanan (timur) itu mereka, Kecamatan Lamandau, sebelah kiri itu kami. Memang betul.”

Mengenai sebagian warga Kinipan bekerja pada SML, Buhing tak bisa melarang. “Itu sudah kesepakatan kami. Tidak masalah. Itu hak orang bekerja, di mana pun dia berada. Apalagi, di sekitar desa itu hak dia. Dengan catatan, persoalan di Kinipan jangan ikut campur, atau malahan memihak (perusahaan).”

Buhing bingung, bagaimana bisa ada batas wilayah belum ditetapkan secara sah oleh pemerintah daerah, tetapi izin perusahaan bisa keluar. Sementara upaya mereka mendapatkan pengakuan wilayah hutan adat dari pemerintah daerah, tak juga menemui titik terang.

 

Keterangan foto utama:    Begini hutan rimba Laman Kinipan, kini.  Perusahaan membantah caplok lahan, kata mereka, belum masuk wilayah Kinipan.  Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Masyarakat adat Laman Kinipan menyampaikan keluhan ke DPRD Lamandau, sekaligus dihadiri perwakilan Bupati Lamandau. Warga menyerahkan sebilah mandau, sebagai simbol minta perlindungan pemimpin daerah agar wilayah dan hutan adat mereka tak diganggu. Foto: Mongabay Indonesia
Exit mobile version