Perjuangan warga menolak tambang nikel dengan protes berkali-kali ke kantor bupati dan DPRD Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, tak sia-sia. DPRD Sultra, dan Bupati Konkep, bersama-sama sepakat pencabutan 15 izin usaha pertambangan di Pulau Wawonii. Bupati berkirim surat ke Gubernur Sultra. Kini, mereka bersama-sama mengawal agar gubernur cabut izin-izin tambang nikel itu.
Ribuan warga Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara, aksi unjuk rasa di Kantor Dewan DPRD Sultra, di Kendari, pertengahan Oktober 2018. Massa tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Wawonii (PMMW), mendesak DPRD dan bupati/wakil bupati bersama-sama menolak tambang. Mereka meminta wakil rakyat dapat membela, mendampingi dan berada di garis depan bersama warga.
Baca juga: Derita Manusia Perahu di Marombo Pantai Ketika Tambang Nikel Cemari Laut
Perusahaan tambang nikel di Konkep berpotensi merusak lingkungan. “Hutan akan habis, gunung digali, mencemari laut dan mengubah pola pertanian masyarakat,” kata Mando Maskuri, warga Roko-roko Raya, Konkep.
Mereka gigih menolak pertambangan yang akan beroperasi di Desa Roko-roko Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Konkep. Warga tak hanya takut kerusakan lingkungan, juga khawatir memicu konflik sosial di masyarakat.
Di bawah terik matahari, Mando, meneriakkan protes di depan kantor dewan. Sambil meneteskan air mata, dia bercerita warga Konkep terutama Roko-roko Raya, seakan tak punya ruang hidup lagi. Pemerintah juga seakan meninggalkan mereka.
“Padahal, kami lahir dan besar di Wawonii, daerah yang kami kenal sebagai Bumi Kelapa. Kami seakan diusir dari tanah sendiri karena tambang. Investasi yang tak berguna menurut kami,” katanya.
Mando mengatakan, mereka mengutuk investasi yang disetujui sepihak pemerintah tanpa melibatkan masyarakat mulai dari pemerintah pusat, provinsi hingga daerah. Pemerintah, katanya, tak pernah mengabarkan kepada mereka, akan ada investasi pertambangan nikel.
“Tau-tau tanah kami dicaplok begitu saja. Kami kaget tanah kami masuk dalam IUP (izin usaha pertambangan). Kami heran, dimana hati mereka tak menilai kami selaku masyarakat,” katanya.
Bukan aksi pertama
Aksi pertengahan Oktober lalu itu, bukanlah aksi pertama mereka. Sebelumnya, di Konkep, sudah beberapa kali warga dan mahasiswa peduli lingkungan aksi unjuk rasa. Mereka menuntut Bupati Amrullah dan Wakil Bupati Andi Lutfi turun tangan menyelesaikan konflik tambang ini.
Puncaknya, Sabtu (29/9/18), masyarakat menantang Amrullah menolak tambang di Pulau Wawonii dengan membuat rekomendasi pencabutan 15 IUP aktif, terutama pencabutan izin PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Roko-roko Raya.
Dalam aksi ini terjadi keributan di Kantor Bupati Konkep. Warga kesal. Terlibat aksi kejar-kejaran dan saling pukul antara warga dengan aparat kepolisian, TNI dan Pol PP yang melakukan pengamanan. Warga juga menurunkan bendera setengah tiang tanda kebijakan pro rakyat ‘mati’ di Konkep.
“Jika aktivitas pertambangan berhasil mengeruk tanah di Pulau Wawonii, itu salah satu bukti kegagalan kepemimpinan Amrullah-Andi Lutfi sebagai bupati dan wakil bupati.”
Dia bilang, seharusnya Pulau Wawonii tak boleh ada perusahaan tambang masuk. Luas daratan pulau itu hanya sekitar 867 km persegi. Pertambangan bisa beroperasi di pulau dengan luas minimal 2.000 km persegi. “Itu jelas diatur dalam Undang-undang.”
DPRD rekomendasikan cabut izin
Berhari-hari mendatangi kantor dewan, akhirnya upaya masyarakat Konkep, membuahkan hasil. DPRD Sultra langsung membuat panitia khusus (pansus) kasus tambang di Konkep. Pansus langsung bekerja selang beberapa hari. Rapat Dengar Pendapat (RDP) digelar bersama masyarakat.
Pada 29 Oktober 2018 DPRD, Wakil Bupati Konkep, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra, Dinas Perizinan Sultra dan masyarakat duduk bersama di ruang rapat dewan. Suasana yang sebelumnya dingin sejuk karena pendingin ruangan (AC), berubah menjadi pengab.
Ruang rapat begitu padat sore itu, kepala masyarakat selalu menengadah ke atas mendengar bibir pemerintah bicara soal keberlangsungan IUP di Konkep. Adu argumen tak terhindarkan.
Andi Lutfi angkat bicara. Bahasanya politis. Pemerintah kabupaten melempar persoalan ini ke provinsi. Lutfi berkata, pemerintah kabupaten berada di tengah-tengah. Tak boleh menolak aspirasi masyarakat dan tak juga menolak program kerja pemerintah provinsi dan pusat.
“Kami tetap mengawal masyarakat. Soal tolak iya, kami juga menolak. Tetapi kami tidak punya hak mencabut IUP. Itu kewenangan pemerintah provinsi. Kami juga tak berhak menolak investasi karena ini kerja-kerja pemerintah pusat,” katanya.
Dengan ada persoalan ini di Konkep, katanya, mereka susah tidur. Kasus pertambangan terus jadi pekerjaan rumah dan konflik harus ada penyelesaian.
“Ada dua sisi jadi problem kami. Pertama, kami mencoba melindungi kebijakan pemerintah nasional. Kedua, kami tetap melindungi apa yang jadi tuntutan masyarakat,” katanya disambut tepuk tangan warga.
Suwandi Andi, Ketua Pansus Tambang Konkep mulai meninggikan suara. Dia memotong pernyataan wakil bupati. “Kita bersama masyarakat,” katanya. “Kita sepakat penolakan tambang memang harus dilakukan.”
Suwandi bilang, surat Bupati Konkep akan tetap dikawal sampai ke Gubernur Sultra, H. Ali Mazi. DPRD, katanya, bersama Pemerintah Konkep sepakat gubernur bisa mencabut 15 IUP di Konkep.
Bupati siap kawal aspirasi warga
Bupati Konawe Kepulauan, Amrulah, meminta pertimbangan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi soal tuntutan pencabutan IUP itu. Permintaan ini disampaikan melalui surat resmi ditandatangani Amrullah.
“Secara pribadi, saya sudah sampaikan kita sama-sama menolak tambang, dalam RTRW juga tak ada. Tetapi, legalitas formal tidak dalam kewenangan Pemerintah Konkep,” kata Amrullah, saat menemui masyarakat.
Pencabutan IUP, katanya, kewenangan Pemerintah Sultra kemudian diteruskan kepada pusat. Dia setuju tuntutan pencabutan izin pertambangan perlu dikawal, dan disampaikan bersama-sama kepada pemerintah.
“Sebelumnya, saya sampaikan di kementerian agar dipertimbangkan, namun tetap berlanjut. Tuntutan ini segera dikordinasikan kepada pemprov sekiranya dapat ditindaklanjut kepada pemerintah pusat,” katanya.
Tak ada di RTRW Konkep, malah ada di provinsi
Sebenarnya, Pemerintah Konkep, juga tak mau ada pertambangan di wilayah itu. Dalam rancangan tata ruang wilayah (RTRW) keluar 2016, pemerintah tak memasukkan sektor pertambangan di wilayah itu.
Dilansir dari Sultrakin.com, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Konkep menyatakan sesuai RTRW, wilayah itu tak memiliki ruang untuk tambang. Pasalnya, sudah ada 18 IUP terbit di Konkep sejak 2014.
Lain RTRW kabupaten, lain provinsi. Abdul Halim, Kepala Bappeda Konkep, mengatakan, RTRW Sultra, belum lama rilis malah memasukkan seluruh kabupaten dan kota di Sultra, kecuali Wakatobi, dalam wilayah tambang.
Dia bilang, dua IUP tambang telah terbit dan siap beroperasi di Kecamatan Wawonii Tengah dan Wawonii Tenggara.
Dia menolak lokasi itu jadi tambang. Alasannya, kehadiran tambang akan menuai konflik dengan warga setempat. Terbukti, warga Wawonii protes tambang yang beroperasi sembilan tahun tetapi belum ganti rugi lahan warga. Luapan kekecewaan warga dengan membakar tambang.
“Dua kecamatan itu akan ditambang. Sejak pertemuan di provinsi, saya menolak masuk tambang di Wawonii. saya coba rasionalkan, masyarakat kita sangat tidak mendukung. Haram bagi masyarakat Wawonii menerima tambang.”
Menurut dia, IUP itu keluar saat Wawonii masih bergabung dengan Konawe. “Izin itu keluar saat Wawonii gabung di Konawe. Saya pun sebagai anak daerah Wawonii tak menginginkan tambang hadir di Wawonii,” kata Halim.
Bagaimana Gubernur Sultra?
Ditemui usai jam kerja di Kota Kendari, Gubernur Sultra Ali Mazi berjanji mengkaji ulang IUP di Konawe Kepulauan. Namun, dia mengaku belum tahu ada kasus desakan atau penolakan masyarakat.
“Nanti kami coba petakan dulu bagaimana persoalannya. Kami dudukkan kembali, jangan serta merta kita cabut. Soal rekomendasi DPRD boleh-boleh saja, pasti kami akan liat dulu ini bagaimana persoalannya,” katanya Jumat (2/11/18).
Ali masih memikirkan kemajuan daerah Sultra melalui sektor pertambangan. Kalau memang tambang nikel mendorong kemajuan ekonomi daerah, katanya, tak ada salahnya, lanjut. Kalau soal dampak lingkungan, katanya, bisa dengan memperketat aturan.
“Kalau kerusakan itu kalau kita buat aturan. Kan ada aturannya menambang, ada reklamasi dan reboisasi. Kalau kita tidak gali sumber daya alam, bagaimana bisa memajukan daerah ini?”
Bicara pertambangan di Wawonii– pulau terkecil–, Ali berdalih juga ada aturannya. “Kita minta semua kewajiban dan persoalan dampak dituntaskan. Jangan dibiarkan. Ini juga masalah, harus kita selesaikan.”
Keterangan foto utama: Massa aksi menurunkan bendera setengah tiang di Kantor Bupati Konkep, sebagai tanda matinya kebijakan pro rakyat di daerah itu. Warga protes karena lahan di kabupaten itu jadi ‘milik’ perusahaan-perusahaan tambang nikel dan mengancam kerusakan lingkungan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia