Mongabay.co.id

Kehidupan Orang Taba di Pulau Gunung Api

Para perempuan di Rabutdayo, Pulau Makeang, membawa saloy, tas yang terbuat dari bambu, dan ember untuk mengambil hasil tangkapan nelayan, Oktober 2018. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

 

Pagi itu, matahari mulai meninggi saat speedboat bermesin kapasitas 40 PK (paarden kracht) dari Pelabuhan Resident Ternate menuju Pulau Taba, pulau gunung berapi penghasil kenari. Gugusan pulau-pulau kecil Tidore-Maitara, terlihat di sebelah kiri-kanan. Aroma asin laut terasa. Seketika mata meredup ditiup semilir angin.

Beberapa menit kemudian, melewati Pulau Moti, ombak datang. Pekik ketakutan beberapa mahasiswi dari luar Maluku Utara yang ikut dalam Eskpedisi Jalur Rempah 2018 oleh Kementerian Kebudayaan, di dalam speedboat membuat saya yang berada dekat mesin, terbangun dari lelap.

Ade tenang saja. Ini hanya angin, jadi ombak kecil saja,” kata motoris tersenyum. Saya pun ikut tersenyum, mencoba lelap kembali.

Sekira satu jam perjalanan laut, sampailah di Taba atau Pulau Gunung Kie Besi, tepatnya, Desa Rabutdayo. Pulau dengan sejarah rempah, cengkih, pala, tembakau, dan kini penghasil kenari itu, disebut juga Pulau Makeang. Ia mekar jadi dua wilayah administrasi, yakni Kecamatan Pulau Makeang, dan Makeang Barat, dulu disebut Pulau Moi. Keduanya masuk wilayah administrasi Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Sepanjang jalan depan rumah warga, orang-orang menjemur kenari. Berkebun kenari, sebagai mata pencarian utama mayoritas warga pulau ini. Bagi mereka, buah ini berkah,. Tak hanya buat keperluan sehari-hari juga cukup untuk menyekolahkan anak-anak hingga perguruan tinggi. Sebagian besar orang-orang Makeang masuk di Pemerintahan Maluku Utara.

 

Kenari yang terkumpul di Desa Gitang, Pulau Makeang, Halmahera Selatan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Nur, perempuan paruh baya ini sedang mengetok buah kenari dengan batu hari itu. Dia bercerita, anak-anaknya sarjana. Ada pegawai negeri di Halmahera Selatan, ada juga kerja di perusahaan di Halmahera. “Semua anak saya sekolah dari hasil kenari ini,” katanya.

Per hari, Nur biasa panen 100 kilogram kenari. Proses memisahkan kenari dari kulit dan cangkang tak mudah. Setelah panen, kenari dijemur selama tiga hari, dan perlu lima hari untuk memisahkan isi kenari dari cangkang maupun kulit kalau kerja sendiri.

Kadang, Nur mengupah orang untuk memisahkan isi kenari dari cangkang. Satu kilogram kenari mentah seharga Rp60.000. Kalau jadi halua, sejenis makanan ringan, Rp40.000.

Ahmad Wahab, Kasubag Perencanaan Program, Kecamatan Pulau Makeang bilang, dari cerita rakyat, Pulau Makeang juga punya pala dan cengkih terbaik. Komonidas ini jadi barang langka dan mahal di pasar dunia, seperti di Eropa.

“Belanda melalui perusahaannya (VOC), ingin mengusai cengkih. Dorang (mereka) ambil, habiskan pohon cengkih di sini, lalu digantikan dengan kenari,” katanya.

Peristiwa itu tercatat sebagai Hongi Tochten atau pelayaran membasmi cengkih oleh Vereenigde Oostindesche Compagnie (VOC) atau Persekutuan Dagang Hindia-Timur, yang dibentuk oleh perusahaan belanda Abad ke-16.

Sistem hongi Pemerintah Kolonial Belanda membuat keadaan jadi parah. Kebun cengkih dan pala warga ditebang bahkan dibakar agar hasil bumi tak melimpah dan membuat harga komoditas turun di pasar Eropa. Ia berlangsung hingga akhir abad ke-18.

“Tapi dahulu ada cerita yang berkembang, orang Belanda beli cengkih dari akar, batang, cabang, ranting, sampai daun. Itu hanya ada di Makeang. Peristiwa pembabatan dan benar adanya tercatat dalam sejarah,” kata Irfan Ahmad, dosen Ilmu Sejarah, Fakultas Satra dan Budaya Universitas Khairun.

 

Pembagian hasil tangkapan ikan nelayan Rabutdayo, Kepulaun Makeang, Halmahera Selatan di atas pajeko milik Rasid. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Soal sejarah lisan-cerita rakyat tentang cengkih yang ditukar kenari pasca sistem hongi Belanda, katanya, perlu ada penelitian lagi. Menurut dia, hanya dikisahkan pada wacana kolonial. “Saya meragukan itu, tetapi, kenari dengan kualitas sama bisa didapatkan di Belanda,” katanya.

Selain kenari, Desa Rabutdayu, juga penghasil ikan. Dulu, mereka pakai alat tangkap huhate seperti, pole and line tetapi sudah hilang.

Kini, mereka gunakan sistem pajeko dengan jaring sepanjang 170 depa, dan melebar ke bawah sekitar 47 depa (satu depa, sekitar 1,8 meter). Ia beroprasi di perairan Makeang dengan kedalaman 200-300 depa.

Rasid Sarian, nelayan asal Rabutdayo bilang, Suku Makeang tak punya tradisi nelayan. Pengetahuan nelayan mereka diadopsi dari Suku Tidore.

Saya beruntung bisa mengikuti dan melihat langsung orang Rabutdayo menjaring ikan sorihi dan tongkol. Mereka keluar pagi hari pukul 03.30 waktu setempat sampai di lokasi pukul 04.

Saat naik ke pajeko, saya disuruh melepaskan sandal. Nelayan di Rabutdayo, sangat menghormati pekerjaan mereka saat melaut. Bagi mereka, alas kaki itu sering ada najis, jadi tak boleh naik ke pajeko.

Pajeko terbuat dari kayu itu berkapasitas tiga ton. Dibantu motor tempel berbahan fiber, ia berperan membuat posisi jaring melingkar, di tengah ada rompon.

Sebelum jaring diturunkan, Rasid menuju rakit berukuran satu orang. Rasid melihat pergerakan ikan, yang dibantu lampu di rakit guna mengarahkan ikan di area rompon.

Rasid berperan sebagai komando. Dia memberi aba-aba ‘wora’ [menurunkan jaring] untuk menandakan ikan sudah berkumpul di tengah rompon dengan jaring sudah melingkar.

“Jaga!!” teriak Rasid.

Dia memberi aba-aba segera bersiap-siap mengangkat jaring. Pukul 05.50 pagi, jaring mulai ditarik dengan bantuan motor tempel itu.

Tidak lama, ikan-ikan jaringan naik ke pajeko. Beberapa menit kemudian kami bergegas pulang ke Rabutdayo. Sebelum sampai, para nelayan berbagi hasil tangkapan untuk lauk di rumah. Setiap orang mendapat bagian, termasuk saya. Sebagian besar hasil tangkapan dibuka sebelum dibagi. Hasil itu dimasukkan ke motor temple lalu jual ke pulau lain.

 

 

 

Saat melaut di Perairan Makeang, pemilik atau juragan pajeko harus mengeluarkan uang sekitar Rp500.000 untuk bahan bakar 50 liter minyak tanah, 10 liter bensin, dan dua botol oli.

“Jika pemuda-pemuda di kampung belum ada kerjaan, mereka sering ikut pajeko. Hasil tangkapan jadi bagian mereka, dijual ke ibu-ibu, sekadar mencari uang jajan,” katanya.

Perahu pajeko sudah sandar di Teluk Rabutdayo, para perempuan mendekat, membawa saloi (tas pinggang khas Maluku Utara, terbuat dari bambu). Ada juga yang membawa ember. Para perempuan ini yang menjual sebagian hasil tangkapan, ke rumah-rumah di beberapa desa di Makeang Dalam.

Data Badan Pusat Statistik Halmahera Selatan 2016 menyebutkan, luas Kecamatan Pulau Makeang 55,5 km2 dan luas wilayah Makeang Barat 35,54 (0,40) km2. Jumlah penduduk Pulau Makeang 9.593 jiwa terdiri dari 4.823 lak-laki dan 47.703 perempuan. DI Makeang Barat, hanya 3.754 jiwa, dengan 1.912 laki-laki dan 1.842 perempuan.

Kata ‘Makeang’ dalam ucapan orang lokal, dalam tulisan, orang luar bahkan pemerintah sering ggunakan kata ‘Makian’ untuk nama pulau ini.

Makeang, dalam Jurnal Etnohistoris, Muklak Dit Carita: Negeri Komalo Besi Limau Dolik (2016) yang ditulis Irfan Ahmad, Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun menyebutkan, dalam sumber-sumber sejarah maupun ungkapan-ungkapan tradisional (tradisi lisan) orang Maluku Utara, banyak ditemui kata “Mara.”

Salah satu dalam ungkapan berikut ini, “Totike, Tidore, Mote, dan Mara.” Artinya, Pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makeang. Ungkapan ini mungkin saja wilayah Mara berada di arah selatan dalam bingkai Maluku Kie Raha, berfungsi sebagai serambi Maluku Kie Raha yang datang dari arah selatan.

“Kie Besi yang dijuluki sebagai Pulau Mara sejak lama. Asal kata ‘mara(h)’ digunakan penduduk lokal diduga kerena sering terjadi letusan gunung Kie Besi. Hingga penamaan ini muncul dikaitkan dengan amukan atau letusan gunung api, “gunung atau pulau yang sedang Mara(h)?” kata Irfan.

“Orang-orang di sini menyebut Makeang Dalam, untuk Kecamatan Pulau Makeang dan Makeang Luar untuk Kecamatan Makeang Barat. Meskipun satu pulau, keduanya memiliki bahasa berbeda,” kata Wahab.

Orang Makeang, dalam menggunakan bahasa yang disebut Tabayama, sedangkan di Makeang Luar, pakai bahasa yang disebut bahasa Jetine atau Desite. Beberapa catatan sejarah menyebutkan, kedua bahasa tergolong dalam bahasa Austonesia dan non-Austronesia.

 

Warga Makeang saat memanen kenari. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Letusan Kie Besi

Letusan Kie Besi periode 1975 dan 1988, terekam kuat pada ingatan Muksin Yasin. Pria usia 65 tahun mengatakan, pada 1975, Pemerintah Kabupaten Maluku Utara memerintahkan warga Pulau Makeang pindah ke daratan Halmahera, di Kao-Malifut.

Sebagian orang Makeang mengungsi ke Ternate dan Tidore. Pulau Makeang dinyatakan ditutup, diperkirakan akan terjadi letusan dahsyat. Muksin dan sanak saudara mengungsi ke daratan Oba, Halmahera, masih masuk administrasi Tidore Kepulauan.

Pasca pengungsian, tanda-tanda letusan tidak terjadi. Sebagian orang Makeang memilih kembali ke sumber penghidupan mereka.

Dalam catatan sejarah, Gunung Kie Besi meletus beberapa kali, pada tahun 1646, 1760, 1861, 1864, 1890. Saat itulah, orang-orang Makeang selalu migrasi ke pulau-pulau kecil di Maluku Utara.

Pada 1988, Kie Besi, meletus lagi, mereka, yang bermukim di Desa Sangapati, tak tahu. Orang dari Pulau Tidore, datang memberitahukan kalau Kie Besi mengeluarkan api. Muksin dan sebagian warga mengungsi ke Tidore. Setelah itu ke Halmahera, Oba.

“Meskipun gunung meletus, sesekali kami kembali diam-diam, mengambil umbi-umbian untuk bertahan hidup. Kampung kami dipenuhi abu gunung,” katanya.

Kadang mereka kembali pada malam hari. “Kami tak mampu tidur di tanah karena gemuruh terus berbunyi dari bawah tanah. Kami harus tidur di atas meja.”

Ada satu syair lagu, kata Muksin, selalu membuat orang Maekang di manapun berada, selalu mengingat pulang.

“Taba ni uto, Ktono e ktonoan e, Sio goru-goru!, Lobi nabitak e, Taba lo Ngeilo tetap makesebak e, Ni turunan noma-noma e, Tit e gohaso tit le, Kabar nyawa dukon, Manusia ilbalisa e, Karna kiu ni mantap e, Sio Taba molo rata e!

[Gunung Kie Besi di Pulau Taba (Makeang), Sio dari dulu penuh gelisah e! Tetapi rakyat senang merasa bahagia e. Dari zaman dahulu kala e, ke juni tujuh dan lima e, rakyat harus pindah, jangan ingat harta e..Karena perintah pemerintah e..Taba sekarang sunyi e, sedih masa rakyat! Harta benda tinggal e! karena berangkat tiba-tiba e.. Air mata jatuh sayang e].

Tanah Makeang nan subur, tempat bergantung, meskipun hidup bersama gunung berapi, mereka ingin tetap kembali…

 

Keterangan foto utama:    Para perempuan di Rabutdayo, Pulau Makeang, membawa saloy, tas yang terbuat dari bambu, dan ember untuk mengambil hasil tangkapan nelayan, Oktober 2018. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Warga Rabutdayo, Pulau Makeang menumbuk kenari mentah, Oktober 2018. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

Nelayan di Desa Rabutdayo, Kecamatan Pulau Makeang, Halmahera Selatan, sedang memperbaiki jaring setelah menjaring ikan di perairan Pulau Makeang, pada Oktober 2018. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version