Mongabay.co.id

Pemerintah Kota Janji Jogja Bebas Eksploitasi Lumba-lumba

Aksi relawan di lampu merah Nol Kilometer Jogja menyampaikan bahwa sirkus lumba-lumba edukasi keliru. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

“Stop sirkus lumba-lumba.” Begitu bunyi spanduk hitam yang terbentang, 3 November lalu di Yogyakarta. Puluhan aktivis Jakarta Animal Aid Network, Animal Friends Jogja, Reispirasi dan relawan peduli lumba-lumba berkumpul di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret itu.

Beberapa relawan berjalan mendekati pengunjung, memberikan penyadartahuan tentang bahaya menonton sirkus lumba, sebagian lagi memegang poster di pinggir jalan.

Mereka protes, acara tahunan Sekaten memberikan ruang sirkus keliling lumba-lumba kepada PT. Taman Impian Jaya Ancol.

“Kami menuntut Kota Jogja segera bebas eksploitasi satwa. Sekaten harus peduli satwa, bukan menyajikan pertunjukan menyiksa satwa,” kata Angelina Pane, Program Manajer AFJ kepada Mongabay.

Apa kata Pemerintah Kota Yogyakarta? Pemerintah Kota Yogyakarta, berjanji setop pertunjukan eksploitasi satwa ke depan.

Heroe Poerwadi, Wakil Wali Kota Jogjakarta, kala dikonfirmasi Mongabay mengatakan, ketika ada pihak-pihak yang keberatan dengan stand lumba-lumba itu, pemerintah Jogjakarta. terbuka untuk audiensi.

“Saya nggak tahu persis masalahnya apa, tapi kalau dianggap eksploitasi hewan, saya kira nanti perlu diskusikan bersama,” katanya.

Dengan bertemu, katanya, bisa membahas dan melihat apakah prosedur sudah terpenuhi atau belum. “Kalau misal ini soal prosedur segala macam tak terpenuhi harus memperbaiki. Kalau kita sepakati, besok-besok lagi kita bisa memahami dengan cara yang sama,” kata Heroe.

Dengan begitu, katanya, pemkot, ada tambahan masukan agar kedepan bisa menghentikan eksploitasi satwa. “Ini nanti jadi bagian peryataan Jogja bebas ekploitasi satwa.”

Dia juga meminta BKSDA aktif mengawal sirkus lumba di Sekaten agar tak ada kesalahan dalam pengelolaan. Dia juga akan menelusuri ke Dinas Pendidikan dan sekolah agar tak memaksa dan mengarahkan siswa menonton sirkus lumba.

“Biarkan saja siswa memilih, tak boleh memaksakan mereka menonton sirkus.”

Heroe berkomitmen, tahun depan dan seterusnya tak ada lagi eksploitasi satwa di Jogja. Untuk tahun ini, katanya, berhubung perizinan sudah berjalan, tetap akan lanjut dengan pengawalan ketat dari pemkot dan BKSDA. Dia memastikan kesejahteraan dan hak asasi satwa terjaga.

“Ke depan, pemkot akan mengajak akademisi, LIPI, AFJ dan JAAN membantu mengubah aturan peragaan dan pentas yang terintegrasi agar satwa terlindungi,” katanya, seraya bilang sudah bertemu AFJ membahas soal ini.

Dia bilang, visi misi Sekaten sudah jelas, pertama, sebagai peringatan Maulid Nabi dan melestarikan tradisi yang selama ini ada dan hidup bertahun-tahun. Kedua, promosi potensi wisata dan ekonomi di Jogjakarta.

Mongabay mendatangi lokasi sirkus untuk konfirmasi, namun diminta menghubungi humas perusahaan. Konfirmasi ke humas pun tidak direspon.

 

Aliansi juga mengajak pengunjung ikut memberikan dukungan agar setop sirkus keliling di Jogja dan seluruh Indonesia. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Ina,  sapaan akrab Angelina mengatakan, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan soal tata usaha pengambilan atau penangkapan dan peredaran tumbuhan dan satwa liar No. 447 Pasal 38 Ayat 1, AFJ sebagai kelompok pegiat lingkungan berhak berperan dalam pemantauan peredaran tumbuhan dan satwa liar. Juga memberi penilaian dan masukan soal potensi tumbuhan dan satwa liar di alam, katanya, berpartisipasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan mendorong serta membantu penegakan hukum.

AFJ, katanya, memberi penilaian, mengkritisi atas segala kegiatan Taman Impian Jaya Ancol yang bermitra dengan CV. Diana Ria Enterprise terkait pentas lumba-lumba keliling. Termasuk pada pentas di Pasar Malam Perayaan Sekaten 23 Oktober–25 November 2018.

Sebagai lembaga konservasi (LK) berbentuk taman satwa, katanya, Taman Impian Jaya Ancol yang bermitra dengan Diana Ria dan perusahaan-perusahaan lain, kata Ina, seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa. Juga benar-benar memperhatikan UU, peraturan dan keputusan menteri yang ada.

Pada pertunjukkan sirkus lumba-lumba di Sekaten, mereka menemukan surat edaran dan ajakan ke sekolah-sekolah untuk menonton sirkus. AFJ sudah melaporkan ke Wakil Wali Kota Yogyakarta agar menelusuri dan mempertanyakan kepada Dinas Pendidikan.

Apabila, katanya, dinas terkait kerja sama dengan sirkus keliling untuk mengerahkan siswa menonton edukasi keliru itu. “Edukasi keliru kalau siswa diajak nonton eksploitasi satwa.”

Amank Raga dari JAAN kepada Mongabay mengatakan, sirkus keliling makin mengancam kepunahan satwa, terutama lumba-lumba.

Dalam keputusan Menteri Kehutanan soal pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, katanya, harus dengan prinsip kehati-hatian dan dasar ilmiah untuk mencegah kerusakan atau degradasi populasi.

“Kami menelusuri bagaimana lumba-lumba ditangkap, bahkan melihat langsung latihan hingga pengangkutan yang tak sesuai prinsip kesejahteraan satwa,” kata Amank.

Pada 15 Agustus 2013, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mengeluarkan surat perintah tentang pelarangan sirkus keliling lumba-lumba hingga pedoman peragaan lumba-lumba terbit, meskipun sirkus tetap membandel.

Catatan JAAN dan AFJ, pada 5 September 2014, dengan terbit Peraturan Dirjen PHKA tentang pedoman peragaan lumba-lumba, justru makin membuat nasib lumba-lumba terpuruk alih-alih terlindungi.

Amank bilang, penyusunan pedoman peragaan sama sekali tak melibatkan unsur dan masukan dari organisasi non pemerintah, pegiat kesejahteraan dan perlindungan satwa sebagai perwakilan masyarakat peduli satwa.

JAAN, satu organisasi non pemerintah sejak 2010 menandatangani nota kesepakatan (memorandum of understanding/MoU) bersama dengan Kementerian Kehutanan. MoU ini untuk menyelamatkan, merehabilitasi dan melepaskan puluhan lumba-lumba yang ditempatkan ilegal di kolam-kolam milik perusahaan-perusahaan swasta di Jawa dan Bali.

Berbagai penemuan terkini tentang mamalia laut dengan kecerdasan tinggi ini, kata Amank, memperlihatkan keahlian dan kesadaran diri semula diklaim hanya punya manusia. Pertunjukan lumba-lumba, dan bentuk-bentuk pengurungan lain, katanya, tak dapat dibenarkan baik moral dan etika. Juga secara psikologis berbahaya dan memberikan informasi sangat keliru tentang gambaran kapasitas intelektual mereka.

Selain itu, dalam pedoman etika dan kesejahteraan satwa, katanya, tertulis jelas bahwa peragaan satwa koleksi lembaga konservasi, di dalam atau di luar, harus memperhatikan, penyampaian pesan-pesan konservasi dan pendidikan mengenai satwa.

“Jika ingin melakukan konservasi dan edukasi, lebih baik pengelola dan lembaga konservasi membuat penelitian tentang lumba-lumba,” katanya.

Dia bilang, memperkenalkan satwa liar tak pada habitat asli juga mempersempit pengetahuan generasi muda soal kehidupan liar yang sebenarnya. “Pesan konservasi tak tersampaikan.”

Benvika, Ketua JAAN kepada Mongabay mengatakan, dari penelusuran lembaga itu, pentas sirkus satwa justru mencetak generasi-generasi baru eksploitatif. Tak ada nilai edukasinya. Hal lain, katanya, peragaan satwa liar harus memperhatikan perilaku alami, tanpa perlakuan kasar yang dapat menyebabkan satwa sakit atau cedera.

Dia bilang, pada sirkus atau pentas lumba-lumba, contoh atraksi yang menyimpang ketika satwa dipaksa naik ke darat dan mencium atau berfoto bersama pengunjung.

Atraksi ini, kata Benvika, jelas mempunyai risiko tinggi menyebabkan sakit dan cedera pada satwa karena di luar air. Lumba-lumba terpaksa harus menahan berat badan dua sampai tiga kali lipat dari berat ideal. Kondisi ini sangat menyiksa.

“Dari segi keamanan terhadap manusiapun, atraksi ini perlu dipertanyakan, berbagai insiden lumba-lumba menyerang anak bahkan pelatih.”

Tak hanya itu, katanya, pentas suara gaduh dari musik dan pengeras suara dapat membuat satwa tertekan dan takut. “Ini telah dilanggar. Apalagi, lumba-lumba sangat sensitif suara,” kata Benvika.

JAAN dan AFJ, kata Benvika mengajak masyarakat Yogyakarta, lebih kritis dalam menanggapi pentas keliling lumba-lumba dan aneka satwa.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta mengkonfirmasi, tak melarang pertunjukan lumba-lumba dalam Sekaten di Alun-alun Utara Yogyakarta, lantaran prosedur dan perizinan sudah sesuai.

Junita Parjanti, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta, mengatakan, sudah mengecek untuk pertunjukan lumba-lumba di Sekaten.

“Pertunjukan lumba-lumba sudah melalui prosedur dan perizinan dari Jakarta. Dari BKSDA sudah pengecekan. Kami sudah pendampingan, dokter hewan juga sudah kami dampingi,” kata Junita.

Pada prinsipnya, pertunjukan lumba-lumba boleh. Meski demikian, katanya, harus ada yang perlu diperhatikan pengelola antara lain kesehatan dan kesejahteraan hewan. Pertunjukan lumba-lumba, katanya, juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri tentang Pedoman Peragaan Lumba-lumba, mulai dari kebersihan kolam, ruang sirkulasi udara, dan kesehatan sudah diatur.

Meskipun begitu, katanya, satwa liar sebaiknya di alam. Dia melihat, pertunjukan lumba-lumba sebagai tuntutan dari perkembangan wisata. BKSDA, katanya, tak memperbolehkan hewan-hewan dieksploitasi.

“Kalau kami lebih ke konservasi hewan. Kalau hewan liar biar di alam liar. Kalau burung biar terbang. Tuntutan wisata silakan, tetapi tak mengekploitasi.”

 

Keterangan foto utama:   Aksi relawan di lampu merah Nol Kilometer Jogja menyampaikan bahwa sirkus lumba-lumba merupakan edukasi keliru. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Aksi satu suara Jogja tanpa sirkus lumba-lumba dan eksploitasi satwa. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version