Mongabay.co.id

Laut adalah Korban sekaligus Jawaban Perubahan Iklim

Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Kawasan mangrove terbukti lebih kuat menyerap karbon dibandingkan hutan tropis di daratan. Namun, dengan peran begitu besar untuk mitigasi perubahan iklim, kondisi mangrove Indonesia justru paling terancam di dunia.

Dalam Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, akhir September lalu, sejumlah pihak pun menyampaikan komitmennya untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove dan padang lamun sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

Indonesia berkomitmen setidaknya untuk lima hal terkait perubahan iklim pada OOC 2018 itu. Rehabilitasi 1,8 juta hektare ekosistem mangrove yang rusak mulai tahun depan hanya salah satunya. Rehabilitasi itu ditargetkan selesai pada 2023 nanti dengan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah, LSM dan sektor swasta.

Selain itu, mulai 2019 Indonesia juga akan mengalokasikan 2,3 juta USD untuk merehabilitasi kawasan pesisir. Indonesia akan membangun struktur hibrid di 7 kabupaten, terbuat dari bambu atau bahan lokal yang berfungsi untuk menahan sedimentasi.

Fungsinya untuk mengembalikan kualitas dan fungsi ekosistem pesisir sekaligus meningkatkan daya lenting kawasan pesisir terhadap perubahan iklim. Kegiatan ini akan dilaksanakan pemerintah provinsi, kabupaten, dan komunitas lokal.

baca :  Inilah Sejumlah Komitmen OOC 2018 untuk Menyelamatkan Lautan

 

Tingginya alih fungsi kawasan pesisir berpengaruh terhadap kesehatan laut Bali. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Untuk mengatasi masalah perubahan iklim, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi juga telah mengalokasikan 5,2 juta USD untuk memfasilitasi sekitar 950 riset oleh 267 lembaga perguruan tinggi. Tahun depan, anggaran riset akan naik menjadi 20 juta USD. Topik riset itu termasuk di antaranya untuk isu bencana dan kelautan.

Tahun depan, Indonesia juga berkomitmen untuk memulai Blue Forest Project untuk menghitung potensi karbon di wilayah pesisir dan laut. Proyek itu akan mengkaji ekosistem hutan bakau dan padang lamun, meliputi enam proyek di 100.000 hektare. Total dananya mencapai 500.000 USD.

Melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Pemerintah Indonesia juga akan melaksanakan peningkatan sistem prakiraan samudera untuk mendukung pengurangan risiko bencana kelautan. Indonesia mengalokasikan 55.000 USD dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional mulai 2019 hingga 2020.

“Melalui komitmen tersebut, Indonesia ingin agar sistem prakiraan cuaca di samudera lebih akurat sehingga bisa mengantisipasi risiko bencana di laut,” demikian bunyi komitmen tersebut.

baca juga :  Akankah Komitmen OOC 2018 Bisa Selamatkan Lautan Dunia?

 

Alih fungsi lahan pesisir menjadi tambak udang di pesisir Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya Pantai Indonesia

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki posisi dan peran penting dalam ekosistem pesisir. Dengan garis pantai sepanjang lebih dari 95.181 km, Indonesia merupakan salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Kawasan laut seluas kira-kira 3,6 juta km persegi juga menjadi rumah bagi ekosistem terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun.

Menurut Daniel Murdiyarso dari Pusat Kajian Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research/Cifor), sejumlah riset menunjukkan bahwa mangrove dan padang lamun lebih kuat menyerap karbon dibandingkan darat. “Kawasan pesisir sangat adaptif terhadap perubahan iklim,” katanya saat membuka sesi pleno tentang perubahan iklim di OOC 2018.

baca :  Pentingnya Padang Lamun untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Sayangnya..

Di sisi lain Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan mangrove terluas di dunia yaitu sekitar 23 persen dari hutan bakau global. Ekosistem mangrove Indonesia berperan pada 17 persen penyimpanan karbon biru dunia. Oleh karena itu, Indonesia berperan penting dalam menangani perubahan iklim melalui pengelolaan kawasan pesisir yang lebih baik.

Namun, menurut siaran pers dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ekosistem mangrove Indonesia termasuk yang paling terancam di dunia. Sekitar 3-7 persen ekosistemnya musnah tiap tahun, terutama di perairan utara Jawa. Kerusakan utamanya karena pengerukan, penurunan kualitas air, pembabatan hutan, dan kegiatan perikanan. Sekitar 70 persen hutan bakau Indonesia rusak akibat aktivitas manusia.

baca :  Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

 

Masyarakat melakukan rehabilitasi kawasan mangrove yang berada pesisir Padang Tikar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini harus dijaga ekosistemnya. Foto: Putri Hadrian/Mongabay Indonesia

 

Sebagai bagian dari upaya konservasi dan mitigasi perubahan iklim, KKP terlibat dalam Blue Forest Project, upaya terpadu internasional untuk menghitung potensi karbon. Proyek ini juga mendukung Strategi REDD Nasional maupun konservasi padang lamun dan hutan mangrove.

Selain itu, konservasi mangrove dan padang lamun juga menjadi prioritas KKP. Tahun lalu, KKP mewujudkan kawasan perlindungan perairan seluas 20,87 juta hektare. Kawasan perlindungan itu akan diperluas lagi menjadi 30 juta hektare pada 2030.

Dari sisi kebijakan, KKP juga mendorong adanya sektor khusus yaitu Sektor Pesisir dan Laut dalam Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon yang saat ini dikaji Bappenas. “Dimasukkannya sektor Pesisir dan Laut dalam rencana pembangunan nasional rendah karbon ini akan menghitung sektor ini tidak hanya dari sudut pandang mitigasi perubahan iklim, tetapi juga keuntungan sosoal ekonomi bagi komunitas pesisir,” kata Sjarief Widjaja, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP.

 

International Blue Carbon Initiative Daniel Murdiyarso (paling kiri), UK Minister of State Lord Tariq Ahmad (tengah), dan Pangeran Monako Albert II (paling kanan) menjadi narasumber dalam sesi plenary tentang isu laut dan perubahan iklim pada Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Senin (29/10/2018). Foto : ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Sigid Kurniawan/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Global

Pada forum yang sama beberapa pejabat tinggi negara lain juga memberikan komitmen sama untuk menjawab perubahan iklim dengan fokus dari sisi kelautan.

Lord Tariq Ahmad, Deputi Menteri Luar Negeri Inggris mengatakan untuk mengatasi perubahan iklim, dunia perlu melangkah ke ekonomi karbon biru yang lebih memerhatikan laut dan pesisir. Kita harus mengambil langkah bersama untuk melawan dampak lebih buruk dari perubahan iklim. Kita perlu mengambil aksi ambisius dan nyata dibangun berdasarkan Kesepakatan Paris,” katanya.

Menurut Tariq, Inggris sudah melaksanakan beberapa komitmennya untuk menjawab isu perubahan iklim sebagaimana Kesepakatan Paris. Misalnya komitmen mendukung sebesar 250 juta pound selama empat tahun ke depan untuk kegiatan yang fokus pada konservasi lingkungan kelautan di perairan internasional.

Selain itu, Inggris juga berkomitmen sebesar 26 juta pound untuk mendukung pengembangan ekonomi kelautan di negara-negara persemakmuran. “Tujuannya terutama membantu manajemen sumber daya kelautan yang lebih baik,” katanya.

Tariq menambahkan Inggris juga mendukung 22 juta pound untuk meneliti dampak aktivitas manusia dan perubahan iklim di laut Atlantik maupun melanjutkan observasi dan monitoring.

Di Indonesia, Inggris juga bekerja sama dengan Pemerintah untuk melindungi 2,9 juta hektare hutan bakau dan mengurangi jumlah sampah plastik ke laut. “Kami berkomitmen untuk membuat dua laboratorium pemantauan mikroplastik tahun depan,” katanya.

menarik dibaca :  Menakar Komitmen Global Penyelamatan Samudera Dunia pada OOC 2018

 

Pangeran Monako Albert II menjadi narasumber dalam sidang plenary tentang isu laut dan perubahan iklim pada Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, Senin (29/10/2018). ANTARA FOTO/Media OOC 2018/Sigid Kurniawan/Mongabay Indonesia

 

Pembicara lain, Pangeran Albert II dari Monako, menekankan bahwa dunia masih memiliki waktu untuk memperbaiki dampak buruk dari perubahan iklim saat ini, termasuk dengan menerapkan Kesepakatan Paris. “Laut adalah korban, tetapi juga kunci untuk menjawab masalah perubahan iklim saat ini,” katanya.

Namun, menurut Arifsyah M. Nasution, Pemimpin Kampanye Kelautan Greenpeace Asia Tenggara – Indonesia, komitmen Indonesia itu masih sekadar basa-basi. Perlu diturunkan dalam bentuk lebih aplikatif, terutama dalam isu perubahan iklim dalam konservasi kelautan. Pemerintah Indonesia, menurut Arif, tidak memiliki mekanisme untuk memastikan mangrove tidak beralih karena ekspansi tambak dan kelapa sawit.

“Tidak jelas juga siapa yang harus memimpin untuk memastikan penyelamatan mangrove ini dalam konteks perubahan iklim. Masih tumpang tindih,” ujarnya.

***

Keterangan foto utama : Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version