Mongabay.co.id

Tepung Sagu dan Ikan: Makanan Orang Nusantara 1500 tahun yang Lalu

Pengantar redaksi. Tulisan ini merupakan topik rintisan, dharapkan para pakar dapat melengkapi berbagai dugaan yang disampaikan dalam artikel ini dengan temuan-temuan data sains.

 

Apa makanan pokok masyarakat di Nusantara pada zaman dahulu? Saya meragukan beras, meskipun tanaman padi—penghasil beras—diperkirakan sudah masuk ke Nusantara dari India atau Indochina sekitar 1.500 sebelum Masehi. Meskipun pada saat itu sudah ada masyarakat di Nusantara yang mengonsumsi beras, tapi tidak mendominasi seperti sekarang ini.

Dasar keraguan saya, yang pertama Prasasti Talang Tuwo yang dibuat Raja Sriwijaya pada 684 Masehi, yang tidak menyebutkan tanaman padi atau beras yang ditanam pada sebuah lanskap yang disebut Taman Sri Ksetra. Kedua, saya belum mendapatkan informasi atau data dari para arkeolog adanya penemuan alat memasak dan makan, yang berhubungan dengan beras atau padi.

Selanjutnya, mengutip pernyataan Nadirman Haska, peneliti sagu Indonesia, menyatakan pada pahatan atau relief di Candi Borobudur, tentang palma kehidupan seperti kelapa, lontar, aren dan sagu. Selain itu, masalah istilah penamaan, masyarakat Jawa menyebut beras dengan sego, dan orang Sunda menyebutkan sangu, yang mendekati kata sagu.

Masih berdasarkan Prasasti Talang Tuwo, maka saya menduga makanan pokok masyarakat Sriwijaya adalah tepung sagu. Keyakinan ini karena di dalam prasasti itu disebutkan pohon sagu bersama tanaman palma lainnya seperti kelapa dan aren.

 

Makanan olahan dari sagu. Foto: Elisabet Asrida/Mongabay Indonesia

 

Kelesan atau pempek

Jika tepung sagu merupakan makanan pokok masyarakat era itu, adakah kuliner yang dapat dilihat dan dirasakan pada saat ini, khususnya di masyarakat Palembang, kota yang diperkirakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya selama lima abad?

Saya menduga kelesan. Yakni makanan yang terbuat dari tepung sagu yang dicampur daging ikan yang diadon setelah diberi sedikit garam dan air. Kelesan ini kemudian dibentuk seperti bambu ukuran sedang dengan panjang sejengkal, lalu direbus hingga matang. Kelesan ini disebut lenjeran.

Baca juga: Menjaga Sagu, Harapan Menuju Kedaulatan Pangan Papua

Saya memperkirakan lenjeran bukan hanya dikonsumsi masyarakat saat di rumah, tapi juga dikonsumsi saat melakukan perjalanan. Sebab sifat lenjeran yang tahan lama seperti halnya ikan atau daging asap. Selama perjalanan, lenjeran dibungkus dengan daun pisang atau daun jati.

Lenjeran yang mengeras dapat direbus kembali. Jika rasanya sudah tidak enak dimakan, lenjeran ini diiris tipis-tipis, dijemur, kemudian dipanggang menjadi kerupuk. Aktifitas merebus, menjemur dan memagang dapat dilakukan di atas perahu jukung, salah perahu transportasi masyarakat di era Kerajaan Sriwijaya.

Pada saat ini kelesan lebih dikenal sebagai pempek. Banyak kisah mengenai sejarah pempek ini. Ada yang berkeyakinan jika pempek, termasuk kelesan, merupakan tradisi kuliner yang dibawa pedagang makanan China di masa Kesultanan Palembang sekitar abad ke-17.

Dia menciptakan makanan pempek setelah melihat melimpahnya tepung sagu dan ikan di Palembang. Nama pempek sendiri berasal dari kata “apek” yang berarti paman, panggilan bagi si penjual atau pencipta makanan tersebut.

Tapi saya meragukan hal ini. Sebab jika makanan ini dibuat orang China, maka pada saat ini kita akan menemukan makanan pempek di China atau ada kuliner yang mengelola tepung sagu dengan daging ikan. Setahu saya, kuliner di China umumnya mengelola daging hewan dengan tepung gandum.

Di sisi lain, sangatlah tidak mungkin sebuah peradaban besar Sriwijaya tidak mampu melahirkan kuliner seperti kelesan karena bahan bakunya mudah didapat dan melimpah, serta dapat dikonsumsi sehari-hari.

 

Ikan sebagai bahan pangan. Foto: Rhett Butler

 

Selain itu, makanan ini sudah seperti makanan pokok wong Palembang. Saat ini, mereka mengonsumsinya setiap hari, baik pagi, siang maupun malam hari. Tidak bosan. Mereka merasakan tubuhnya tetap bertenaga, sehat, meskipun tidak makan nasi dengan lauknya.

Ketika anak-anak dan remaja, orangtua atau kerabat saya biasanya akan menegur jika piring saya dipenuhi nasi. Dikatakan tidak baik makan nasi terlalu banyak. Sementara jika saya makan pempek, sebanyak apa pun, tidak akan ditegur.

Setelah beranjak tua, para dokter pun menasehati agar jangan banyak makan nasi sebab memicu penyakit diabetes. Fakta ini membuat saya kian yakin secara genetik saya tidak begitu baik mengonsumsi nasi, mungkin termasuk sebagian besar rakyat Indonesia lainnya.

Saya yakin jika kelesan asli masakan masyarakat Sriwijaya. Mungkin, pada masa Kesultanan Palembang ada seorang koki dari China yang mengembangkan kelesan menjadi beragam bentuk yang dicampur bahan lain seperti tahu dan telor. Beragam pengembangan makanan kelesan itu yang kemudian bernama “pempek”, sehingga hari ini kita mengenal pempek adaan, pempek telor, pempek tahu, pempek lenggang, tekwan, dan lainnya.

Koki China ini kemungkinan juga menambahkan saos untuk makan kelesan yang sudah dikembangkan. Saos yang terbuat dari gula aren, cabai, bawang putih, dan asam jawa, yang kemudian disebut cuko, yang rasanya asam, manis, dan pedas.

Adapun nasi di masa Kesultanan Palembang biasanya merupakan makanan para  kuli atau buruh kasar yang berasal dari India, Cina, atau Jawa, yang didatangkan kolonial Belanda.

 

Tradisi Pangan Bahari vs Kontinental

Dapat dikatakan kelesan, menunjukan karakter masyarakat bahari memaknai daratan. Dalam praktiknya, mereka cukup memanfaatkan tanaman yang tumbuh liar di daratan sebagai sumber makanan pokok, yang diolah dengan hasil dari laut atau sungai.  Tidak ada tradisi menanam secara khusus dengan luasan tertentu seperti tradisi masyarakat kontinental yang menanam padi, sagu, jagung, untuk mendapatkan makanan pokok.

Pun, tidak ada catatan atau tradisi di masyarakat Sriwijaya untuk menimbun rawang atau sungai untuk dijadikan daratan, sebaliknya mereka justru membuat banyak kanal atau terusan untuk menyebarkan air sekaligus sebagai akses transportasi.

Selain itu, karena bahan baku kelesan membutuhkan daging ikan, -khususnya ikan sungai, masyarakat turut menjaga lahan basah yang berada di sekitarnya, baik sungai maupun rawang atau rawa gambut.

Selain kelesan atau pempek, kuliner lainnya khas masyarakat Sriwijaya yakni pindang ikan. Bumbu masakan yang digunakan seperti serai, kunyit, laos, merupakan tanaman jenis cucumber yang dapat tumbuh dan ditemukan di dataran rendah yang berada di sekitar rawang. Begitu pula berbagai kuliner atau bahan makanan yang menunjukan kearifan pada rawang, seperti pengasinan dan pengasap ikan.

Sementara itu, sumber pangan yang dibawa masyarakat kontinental, seperti padi, gandum, jagung atau ketela pohon, jelas mengubah bentang alam di Indonesia, khususnya lahan basah. Program transmigrasi, -yang kebanyakan berasal dari Jawa, membawa pola pertanian kontinental ke Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Sumatera. Mereka “terpaksa” mengelola rawa gambut untuk dijadikan persawahan dan pertanian. Ratusan ribu hutan di rawa gambut pun terbuka.

Adapun lahan rawa gambut yang sudah terbuka dan gagal dijadikan persawahan atau pertanian, bukannya dibiarkan kembali, malahan dikelola seperti dijadikan perkebunan sawit dan HTI.

Bahkan, sumber protein pun seolah diubah dari tradisi masyarakat bahari menjadi masyarakat kontinental, misalnya program peternakan pada masyarakat yang hidup di rawa gambut dengan menernakan sapi dan kambing. Jelas sekali bantuan ini mendorong para petani untuk memineralkan rawa gambut, agar sapi dan kambing hidup sehat.

Kesimpulan saya, jika bentang alam di Indonesia ingin kembali lestari, khususnya tutupan hutannya, kita harus mengembalikan paradigma bangsa bahari dalam melihat bentang alam dalam kebutuhan pangannya. Misalnya menjadikan pempek sebagai makanan pokok, atau beragam makanan lainnya yang bahannya didapatkan tanpa mengubah bentang alam secara radikal.

 

Foto utama:  Nelayan yang sedang menjaring ikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

* Taufik Wijaya, penulis adalah pengamat sosial, jurnalis dan sastrawan. Tinggal di Palembang. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version