Mongabay.co.id

Lambangan dan Uwedikan, Desa yang Merancang Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

 

Dua desa di Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, memiliki potensi laut menjanjikan: Lambangan, Kecamatan Pagimana dan Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur. Ekosistem laut seperti padang lamun, terumbu karang, dan hutan mangrove masih terjaga. Bagaimana komunitas nelayan kecil dan tradisional itu menjaga wilayah kelolanya?

 

Ridwan Ishak kaget bukan kepalang. Ledakan bom ikan terdengar tidak jauh dari tempatnya memancing, sekitar 50 meter. Tiga perahu dengan muatan tujuh orang ternyata pelakunya.

“Woy, jangan ba bom di sini…!!!” teriaknya.

Didu, panggilan akrab Ridwan, coba mengusir. Sebuah batu ukuran kepalan tangan yang ada di perahunya, ia lemparkan ke perahu pembom. Kena!

Para pelaku marah, mereka mengeluarkan kalimat perlawanan. Ketegangan terjadi.

Didu dan temannya segera mengarahkan perahu ke pantai. Betul saja, perahu pembom ikut mengejar. Tiba di darat, mereka mengumpulkan batu, kayu, atau apa saja yang bisa dilempar ke arah perahu pembom ikan.

Lemparan itu cukup ampuh. Para perusak itu memutuskan balik kanan, menjauh. “Kejadian itu, akhir 2016. Mereka sering membom di tempat kami,” cerita Didu kepada Mongabay Indonesia, akhir September 2018.

Didu adalah nelayan di Desa Lambangan. Orang-orang Lambangan sebagian besar didominasi Suku Saluan yang sangat erat dengan tradisi pertanian. Namun, sebagian mereka justru menggantungkan hidup dari perikanan tangkap di wilayah pesisir.

Baca: Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]

 

Terumbu karang di laut wilayah Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Daerah perlindungan laut

Desember 2017, warga Lambangan berinisiatif membuat aturan perlindungan laut. Bertempat di kantor Desa Lambangan, semua tokoh masyarakat, tokoh adat, dan nelayan dikumpulkan. Mereka sepakat membuat Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang diatur berdasarkan zonasi; zona inti, zona pemanfaatan berkelanjutan, dan zona penyangga.

Zona inti meliputi terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Di wilayah ini dilarang memancing, mengambil biota laut, membuang jangkar, menginjak karang, memanah, menggunakan pukat serta membom ikan. Kegiatan yang bisa dilakukan adalah penelitian yang telah mendapat izin dari kelompok pengelola DPL Lambangan, pendidikan, serta pengawasan kelompok.

Proses pembuatan kelompok DPL tidak dilakukan warga sendirian. Mereka dibantu Perkumpulan Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), lembaga non-pemerintah dari Gorontalo. Selain menjaga laut, DPL juga membuat keramba ikan sebagai penopang ekonomi.

“Kami patroli setiap hari, memastikan tidak ada yang masuk ke zona inti,” ungkap Lutfi Bullah, Ketua Kelompok DPL Desa Lambangan. “Dulu kami memakai pukat, sekarang tidak lagi. Kami tahu, pukat tidak ramah terhadap terumbu karang,” tambah Didu.

Didu, Lutfi, dan nelayan lainnya di Lambangan kini mancing menggunakan nilon dengan umpan ikan kecil. “Jarak melaut kami sekarang dekat. Cukup mendayung. Tidak butuh mesin dan bahan bakar. Untuk itu laut kami jaga selalu,” terang Didu.

Baca juga: Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 2]

 

Masyarakat Lambangan, Kecamatan Pagimana, Banggai, Sulawesi Tengah, telah memiliki kesadaran menjaga lautnya dari segala hal yang merusak. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Marwan Zaman, Kepala Desa Lambangan, menjelaskan bahwa DPL yang telah dibuat akan diperkuat dengan peraturan desa (perdes) sebagai payung hukum mengatur wilayah laut. Perdes akan ditembuskan kepada desa-desa tetangga di Kecamatan Pagimana.

“Perdes DPL akan menjadi kekuatan utama. Kami sampaikan ke kepala desa tetangga bahwa laut kami sudah diatur berdasarkan zona, jangan lagi dirusak,” ungkapnya.

Mohamad Sayuti Djau, akademisi dari Universitas Muhamadiyah Gorontalo (UMG), telah melakukan penelitian delapan desa di perairan laut Kabupaten Banggai. Salah satunya, Lambangan.

Djau menyebutkan, rata-rata terumbu karang pada zona reef flat di Lambangan dalam kondisi baik. Tingkat penutupan terumbu karang 89 persen, dengan komposisi karang keras 80 persen dan karang lunak 9 persen.

Hanya saja, terumbu karang tersebut mengalami tekanan alami yaitu sedimentasi. Namun begitu, ada juga ancaman dari kegiatan merusak atau destructive fishing, yaitu: pemboman ikan dan bius atau cyanide fishing yang dilakukan nelayan pendatang, desa-desa tetangga.

 

Nelayan di Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana, yang kini melaut tidak lagi menggunakan mesin, cukup mendayung perahu. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan hasil sensus visual yang dilakukan Djau di perairan Desa Lambangan, diketahui ada 359 spesies ikan terumbu yang tergolong dalam 19 famili. Famili Pomacentridae tertinggi yakni 245 spesies atau sekitar 67 persen. Ikan paling sedikit adalah famili Nemipteridae dan Lethirinidae, masing-masing terdiri spesies Scolopsis lineata dan Lethrinus harak.

Di wilayah ini juga ada jenis ikan berpotensi ekonomis seperti Caesio spp (ekor kuning) dan Siganus guttatus (baronang). Jenis ikan hias juga ada yaitu Sphaeramia nematoptera (Pajama Cardinal Fish) dari famili Apogonidae dan famili Pomancanthidae.

Pajama Cardinal Fish merupakan jenis ikan menarik, hidup pada daerah tertentu dan habitatnya pada karang bercabang,” tulis Djau dalam laporannya.

Lambangan merupakan desa yang memiliki potensi pesisir menjanjikan sebagai destinasi wisata, khususnya snorkling. Keanekaragaman terumbu karang dan ikan harus dikembangkan sekaligus dijaga kelestariannya.

“Pemerintah setempat dan seluruh pemangku kebijakan harus bisa merumuskan strategi pengelolaan yang baik dan benar. Khususnya, pemanfaatan sumber daya perairan Lambangan,” ungkap Djau.

 

Tanda zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dibuat partisipatif oleh masyarakat di Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Laut Uwedikan

Sore itu laut teduh. Gugusan pulau tak berpenghuni tampak berjejer. Sebaran mangrove terlihat rapat pada beberapa pulau kecil. Semua permukiman terkonsentrasi di daratan yang menjorok ke laut. Namanya Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur.

Sama halnya Lambangan, Uwedikan didominasi Suku Saluan. Namun Uwedikan lebih beragam, karena keberadaan Suku Bugis, Buton, dan Gorontalo yang hidup bersama. Desa ini merupakan desa wisata di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, seiring ditetapkannya Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) 2007.

“Sayang, fungsi KKLD tidak kelihatan. Tetap banyak pemboman ikan dan yang mengambil dengan cara bius,” kata Ali Hanafi, Ketua Kelompok Daerah Perlindungan Laut Desa Uwedikan.

Ketika membuat Daerah Perlindungan Laut, Ali melibatkan masyarakatnya, terutama yang berasal dari Suku Bajo untuk memasang tanda zonasi yang sudah disepakati bersama.

Berdasarkan penelitian Mohamad Sayuti Djau di Uwedikan, kondisi terumbu karang di kawasan ini berkategori buruk. Kerusakan disebabkan pengeboman dan pembiusan ikan. “Rehabilitasi perlu dilakukan mengingat potensi kawasan yang sangat menjanjikan,” katanya.

Menurut Djau, kawasan ini menjanjikan sebagai konservasi ikan karang. Juga, potensi tiga ekosistem lain yaitu mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang sangat mudah ditemukan di Uwedikan, sebagai pendukung keberlanjutan perikanan. “Revisi rencana pengelolaan perikanan perlu segera dilakukan demi hasil lebih baik,” ungkapnya.

 

 

Bagi Ali, mengatur kawasan laut dengan model DPL terasa ampuh. Salah satu pendekatan yang ia lakukan adalah melibatkan berbagai tokoh masyarakat, terutama dari Suku Bajo sebagai penanggung jawab.

“Hingga saat ini, tak ada lagi pemboman ikan di Uwedikan. DPL dilakukan partisipatif dan melibatkan pemerintahan desa,” ungkapnya.

Untuk mengintegrasikan DPL ke dalam peraturan desa, Japesda membantu masyarakat Lambangan dan Uwedikan, berkonsultasi dengan pemerintah di kabupaten dan provinsi. “Draf perdes DPL sudah ada, menunggu pengesahan. Perdes ini menguatkan kelompok untuk menindak siapa saja yang merusak laut, sekaligus berkomunikasi dengan aparat berwenang sesuai aturan yang berlaku,” ungkap Ahmad Bahsoan, Program Manager Japesda.

Didu, Lutfi, dan Ali Hanafi, berharap banyak pada aturan DPL. Selain memulihkan ekosistem laut, aturan ini juga membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan dari segala hal yang merusak.

 

 

Exit mobile version