Sartam awalnya malu-malu. Lelaki 65 tahun ini tidak berani bergabung ketika sebuah organisasi nirlaba menggelar diskusi di desanya. Kadang ia lewat, kadang hanya mengintai dari jauh. Dari rekannya sesama petani, Sartam mendapat informasi bila di desanya terdapat jenis-jenis satwa dilindungi.
Sartam tinggal di Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Desa ini mulanya disebut Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Marisa VI, semua penduduknya transmigran. Sebagian besar wilayahnya berada di kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Seiring berjalan waktu, ketika terjadi pemekaran, UPT Marisa VI secara definitif menjadi Desa Puncak Jaya.
Dari Kota Gorontalo menuju tempat tinggal Sartam, sekira 6 jam. Kamis, 8 November 2018, Sartam datang ke Marisa, Ibu Kota Kabupaten Pohuwato. Ia menghadiri peresmian Pusat Pengembangan Ekonomi dan Pelestarian Terpadu Bentang Alam Popayato-Paguat yang dibangun Burung Indonesia.
Desa Puncak Jaya adalah satu dari enam desa dampingan Burung Indonesia Program Gorontalo. “Waktu saya banyak dihabiskan di kebun. Ketika istirahat, ingin rasanya bergabung dengan petani lain. Saya penasaran pembahasan mereka,” ungkap Sartam, menceritakan kisahnya kepada Mongabay Indonesia.
Baca: Kisah Sukses Warga Puncak Jaya yang Bertahan dari Ancaman Sawit
Sartam mempunyai dua hektar lahan. Ia membuat model kebun campur. Mulai dari tanaman utama kakao, dibarengi dengan jahe, cabai, gamal, kunyit, petai, lamtoro, hingga aren. Tapi sebelum panen, hasil kebunnya diserang sekawanan monyet yang ternyata menyerang kebun petani lain.
“Kami rugi. Panen selalu gagal. Monyet menghabiskan semua tanaman,” ungkapnya.
Untuk mencegah gagal panen, petani di kampungnya merancang perangkap hama berbagai model. Bahkan paling ekstrim, membuat pagar kawat besi yang dialiri listrik bersumber dari aki.
Jika monyet atau burung masuk kebun, menyentuh pagar, akan mati. Ini juga berbahaya bagi manusia. “Kalau saya selalu mengejar kawanan monyet dengan golok,” terangnya.
Aksi Sartam tentu saja tidak membuahkan hasil. Upayanya sia-sia, panen tetap gagal.
Hingga suatu ketika, pertemuannya dengan Burung Indonesia membuat Sartam mengikuti kegiatan tersebut. Sejak 2016, ia intens bertatap muka dengan para fasilitator. Sartam tak lagi minder. Ia beradaptasi, menjadi petani cepat belajar dan praktik langsung.
Akhir 2017, ia membuat “resolusi konflik” dengan monyet. Berdamai dengan satwa yang dianggap hama kebun petani. Sartam tetap menanam dengan model kebun campur, yang berbeda adalah dia memutuskan “menghibahkan” satu hektar tanamannya untuk kawanan monyet.
“Kebun dua hektar itu saya bagi dua. Satu hektar, khusus untuk kawanan monyet. Saya perlakukan sama perawatannya sebagaimana saya merawat satu hektar untuk saya. Dengan berbagi, kami seperti berkawan,” ungkap Sartam tertawa.
Sartam berhasil mengubah cara pandang orang-orang, monyet bukan hama. Ia tak lagi mengangkat golok. Ia merasakan, panen satu hektar sudah lebih dari cukup.
Sartam yang mempunyai empat anak, seorang tengah melanjutkan studi di perguruan tinggi, berhasil membiayai keluarganya dari hasil kebun satu hektar itu. Sartam memberikan contoh nyata dahsyatnya berbagi.
“Satu anak saya kuliah semester lima di kampus di Marisa. Biayanya dari hasil berbagi satu hektar itu,” jelasnya.
Implementasi kesepakatan
Andriansyah, Communication and Knowledge Management Specialist Burung Indonesia Program Gorontalo menjelaskan, apa yang dilakukan Sartam merupakan implementasi Kesepakatan Pelestarian Alam Desa atau yang disebut KPAD.
KPAD merupakan pendekatan mengurangi konflik pengelolaan sumber daya alam desa di dalam dan luar kawasan hutan, melalui peran aktif masyarakat, pemerintah, dan para pihak.
“Pak Sartam contoh champion yang telah menerapkan fungsi KPAD,” ungkapnya.
Sebelumnya, pada Oktober 2016, telah dilakukan penandatanganan dokumen KPAD di enam desa dampingan. Salah satu isinya, memuat ekonomi berkelanjutan yang bermuara pada komitmen pelestarian alam.
Hasilnya mulai terlihat. Melalui B’Maleo, Burung Indonesia Program Gorontalo menginisiai dan mengembangkan program percontohan peningkatan ekonomi masyarakat berbasis lingkungan. Sebut saja, rumah produksi pakan ternak, minyak kelapa, pupuk nitrogen, pemanfaatan energi terbarukan melalui instalasi panel surya, pengolahan sampah plastik, bengkel alat-alat pertanian dan kegiatan terpadu lain.
Masyarakat di sekitar Kecamatan Marisa, bisa memanfaatkan B’Maleo sebagai lokasi belajar pengolahan hasil pertanian menjadi produk dengan nilai ekonomi lebih tinggi. Sebut saja kakao, keripik, gula semut, madu, serbuk jahe merah, dan lainnya.
B’Maleo singkatan Belle Maleo. Belle dalam Bahasa Gorontalo berarti rumah. Sebutan lainnya adalah B’Maleo: Conservation & Development Learning Centre.
“Nama B’Maleo diharapkan menjadi pengingat dan penggugah kesadaran seluruh pihak untuk melestarikan burung beserta habitatnya. Caranya, melalui pengelolaan bentang alam lestari dan berkelanjutan,” ungkap Dian Agista, Direktur Eksekutif Burung Indonesia.
Menurut Agis, sebagai Pusat Pengembangan Ekonomi dan Pelestarian Terpadu Bentang Alam Popayato-Paguat, B’Maleo mendorong ekonomi produktif masyarakat desa di sekitar lokasi program. Juga, mendukung aktivitas belajar masyarakat melalui Agriculture Learning Centre, pusat produk hasil olahan masyarakat, serta mendorong pelestarian burung dan habitatnya.
Sartam dan Saminah (59 tahun), istrinya, yang hadir pada peresmian tersebut ikut memamerkan produk olahan mereka. Mereka membuat gula semut dan serbuk jahe merah. Banyak juga produk olahan petani lain yang dipamerkan di rumah produksi B’Maleo. Produk tersebut menjadi oleh-oleh pengunjung.
“Saya berharap, kehadiran Pusat Pengembangan Ekonomi dan Pelestarian Terpadu di Bentang Alam Popayato Paguat, B’Maleo Conservation & Learning Centre maupun infrastruktur yang ada, difungsikan dan dirawat sebaik mungkin. Dimanfaatkan turun temurun oleh generasi selanjutnya,” ujar Rusli Habibie, Gubernur Gorontalo, yang meresmikan B’Maleo.
Selain Gubernur Gorontalo, hadir juga Ketua Dewan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia Ani Mardistuti, perwakilan pemangku kebijakan, anggota Provincial Steering Committee, serta masyarakat enam desa dampingan.
“Semoga adanya rumah produksi ini membuat petani seperti kami lebih produktif dan perekonomian meningkat,” harap Sartam.