Mongabay.co.id

Rawan Pangan Hantui Lembah Baliem

Mama-mama berjualan di Pasar Jibama di Lembah Baliem. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Orangtua kami dulu buka kebun besar, undang masyarakat semua. Alat kerja, mereka ambil kayu keras di hutan yang jauh. Orangtua kami dulu kalau tak kerja satu hari saja badan sakit. Setelah kerja, mau panen, mereka rencanakan pesta adat,” kata Mama Laukahutik Lokobal.

Dulu, kata mama ini, sering ada pesta adat. Saat itu, mereka makan hipere (ubi jalar) begitu enak. Ukuran besar, memotong harus pakai kapak. Para orangtua punya kebun luas. Babi besar dan banyak.

Keadaan kini banyak berubah.

“Sekarang kita hari-hari makan nasi dan kadang hipere. Bapa-bapa tidak bisa, tidak mau kerja. Mama-mama kerja lahan kecil dan tanam. Isi kurang karena mama-mama kerja sendiri, kata Mama Ana Himan.

“Pagi siang tidak makan, hanya malam makan. Kita buka kebun, jual sayur, daun bawang di pasar. Dapat (uang) seratus dua ratus kita beli barang bawa pulang…”

Ukuran lahan kecil hingga menanam pun tak cukup penuhi kebutuhan pangan. Ubi terpaksa panen lebih awal agar cepat jual dan menghasilkan uang.

Mama-mama berpendapat, kepatuhan pada perintah kepala suku untuk membuka kebun makin berkurang. Mobilitas makin mudah dan kesibukan pada hal-hal baru membuat masyarakat terutama laki-laki melupakan pertanian.

“Dulu nenek moyang kita buka kebun besar. Orang adat bilang buka kebun besar, semua orang kompak buka kebun baru, kerjasama sampai menanam ubi,” katanya.

Kini, orang tak mau mendengar pada tetua-tetua adat. “Jadi sulit sekali. Kehidupan dulu lebih baik dan terhormat. Ap metek (pemimpin) cuma satu jadi semua dengar. Maka ubi besar, wam (babi) banyak,” kata Mama Yuliana Lokobal berpendapat.

Kesaksian mama-mama ini terdokumentasi dalam buku Papua Nyawene (Papua Bercerita). Buku ini berisi cerita masyarakat di beberapa wilayah termasuk di Lembah Baliem, Wamena, Papua, mengenai persoalan hidup yang mereka alami berhadapan dengan arus perubahan.

Salah satu persoalan yang membuat mereka khawatir adalah krisis budaya pertanian dengan segala dampaknya.

 

 

Paradoks bakar batu

Perubahan sosial seperti terekam dalam cerita mama-mama di buku ini menarik perhatian para antropolog. Heinzpeter Znoj, profesor antropologi dari University of Bern, Swiss mengamati perkembangan pertanian dan tradisi bakar batu di Lembah Baliem selama beberapa tahun terakhir.

Pada 10 September 2018, Heinzpeter Znoj memperesentasikan tulisan berjudul Understanding the bakar batu boom in the West-Papuan highlands – an economic anthropology.

Materi ini dia bawakan saat kuliah umum Fakultas Ekonomi Unoversitas Cenderawasih dengan tema Socio-Economic and Sustainable Development of Papua.

Znoj melihat, keprihatian krisis pertanian berbanding terbalik dengan maraknya pesta-pesta bakar batu di Lembah Baliem. Ia sebuah perayaan yang sejatinya bagian dari kebudayaan pertanian yang kuat, sebuah perayaan kesuburan.

“Saya bukan ahli kebudayaan Baliem. Saya tidak punya banyak waktu penelitian sendiri. Saya hanya melihat ada yang berbeda dari perkembangan bakar batu itu,” katanya saat diwawancarai Mongabay, di Jayapura.

 

Petatas terbesar dari Distrik Waan dipamerkan di di depan umum di Lapangan Maskura Kimaam, Merauke. Tumbuhan umbi-umbian ini merupakan pangan lokal yang berpotensi dikembangkan. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Dia menemukan, fenomena itu terkait erat dengan beberapa faktor baik internal maupun eksternal, antara lain sistem pertanian tradisional di pegunungan, big man dalam politik orang pegunungan. Juga masuknya dana otonomi khusus dalam politik Papua, dan ancaman politik percepatan pembangunan terhadap cara hidup dan identitas budaya orang Papua.

Sistem pertanian tradisional di Pegunungan Tengah, katanya, memiliki kaitan erat dengan struktur sosial terpusat pada kepemimpinan big man. Seseorang diakui sebagai big man karena kemampuan saat perang, menggerakkan masyarakat membuka kebun besar, pesta-pesta adat dan menjalin relasi dengan kelompok lain.

Kini, dengan masuk pengaruh negara dalam kebudayaan orang Baliem, terjadi perubahan. Big man muncul dalam bentuk baru berkaitan erat dengan strategi pembangunan dan politik pemilu Indonesia.

Hal ini, katanya, terjadi terutama sejak otonomi khusus, di mana, orang Papua memainkan posisi penting dalam politik lokal.

Melalui upacara bakar batu, para pemimpin baru ini berusaha menegaskan identitas politik dan budaya di tengah politik percepatan pembangunan.

Namun, oleh Znoj disebut paradoks karena percepatan pembangunan itu telah mengakibatkan kriris pertanian yang jadi akar dari budaya bakar batu itu.

 

 

 

Krisis pertanian

Pertanian Pegunungan Tengah Papua, termasuk di Lembah Baliem, salah satu pusat pertanian tertua di dunia. Pusat pertanian tertua lain terdapat di China, India, Amerika dan Mesir. Dalam buku Ekologi Papua disebutkan, indikasi terawal tentang muncul dan menyebar pertanian di Papua, terlihat dari catatan pembukaan hutan di Baliem 7.000-6.000 tahun lalu.

Bagian terendah lembah-lembah dataran tinggi utama terbukti telah dibuka dan ditanami talas dan pisang.

Peradaban pertanian ini baru pertama kali diketahui dunia luar pada 1938. Saat itu , Richard Archbold peneliti asal Amerika, melakukan penerbangan di atas lembah dengan pesawat PBY Catalina II (Guba II). Dalam perjalanan itu, dari udara terlihat kawasan dengan ladang-ladang pertanian dan kebun-kebun tersusun rapi di samping kampung-kampung warga. Itulah Lembah Baliem.

Gerda Numberi menulis tentang sistem pertanian ini dalam disertasi berjudul Reproduksi Simbolik Inom Dalam Struktur Budaya Orang Dani di Lembah Baliem, Jayawijaya.

Masyarakat di Lembah Baliem mengenal sistem pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Tugas laki-laki antara lain menebang pohon, membersihkan lahan, mendirikan pagar dan membuat bedengan. Tugas perempuan, menanam, merawat tanaman sampai memanen hasil. Seorang kepala suku memimpin seluruh proses ini.

Tugas kepala suku mulai dari pemilihan lokasi yang tepat menurut kepemilikan hak ulayat kelompok kekerabatan. Jika lokasi ada, mengundang warga berpartisipasi dalam membuka kebun baru.

Keterlibatan warga dalam kebun baru, sangat tergantung pada kemampuan meyakinkan mereka tentang potensi lahan baru. Bahan makanan, katanya, juga tersedia selama penebangan pohon hingga menanam bibit serta kesuburan tanah dan luas lahan jadi pertimbangan mendapatkan hasil baik dan melimpah.

Tersedianya bahan makanan selama penebangan pohon hingga menanam bibit, katanya, berpengaruh pada pengakuan status sosial seorang kepala suku oleh warga.

Tahap berikutnya, pembersihan lokasi kebun, menanam, hingga memanen hasil.

Selain ubi jalar sebagai makanan pokok, orang Dani juga tanam keladi (hom), sejenis ubi jalar yang tumbuh pada lilitan kayu (uwi), pisang (haki). Ada juga jenis sayur- sayuran yang ditanam, seperti bayam asli (kibi), ketimun berkulit kuning (kiln), sayur jilin (soa), kacang buncis (wenali) serta kol, wortel, tomat dan labu.

Seorang istri biasa mengerjakan dua  hingga tiga  lahan kebun (satu atau dua kebun baru dan satu kebun tua).

“Mereka menyebut kebun baru untuk lahan yang baru  ditanam dan kebun tua untuk lahan  siap panen,” bunyi penelitian itu.

 

Keladi terbesar di pesta ndambu. Komoditas lokal ini potensi dikembangkan di Papua. Sayangnya, tumbuhan ini makin langka, berganti bukan pangan asli seperti beras. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Hasil pertanian, untuk konsumsi manusia maupun ternak atau dijual untuk membeli kebutuhan lain. Upacara-upacara adat juga sangat bergantung pada hasil pertanian. Ada upacara seperti pesta babi, kelahiran, perkawinan, kematian,  juga upacara kesuburan serta upacara gangguan roh orang mati. Makanan yang dimasak, biasa daging babi, ubi jalar dan sayuran.

Kebun jadi bagian penting dari seluruh siklus kehidupan.

Kini, terjadi apa yang disebut krisis pertanian seperti dikatakan Znoj dengan terlihat dari makin sedikit lahan pertanian diolah. Ia berdampak pada penurunan produksi pertanian dan peternakan. Saat penelitian Znoj mendengar,  para perempuan mengeluh karena kurang tenaga yang membantu mengolah lahan pertanian.

Kenyataannya,  bakar batu sering dilakukan dengan babi banyak dengan sponsor politisi. Babi dibeli dari para migran yang banyak mengembangkan peternakan babi.

Sebelum terjadi krisis, pertanian di Lembah Baliem juga sudah mengalami transisi. Awalnya, pertanian hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri lalu berkembang untuk orientasi pasar. Pertanian di Lembah Baliem, katanya,  pernah melewati masa kejayaan. Saat itu,  hasil pertanian dijual ke berbagai wilayah di Papua termasuk ke perusahaan pertambangan Freeport di Timika.

“Kalau terjadi krisis itu jelas. Karena itu (pertanian) sudah tidak diurus. Itu sudah mulai akhir 90-an. Orang keluar. Tidak ada lagi di kampung. Di Kota jalan ke sana kemari tidak bekerja,” kata Benny Mawel dari Komunitas Hubula Katolik di Tanah Tabi (Kashuokta).

Benny membenarkan,  kriris pertanian ini jadi pembahasan di dalam komunitasnya. Bagaimanapun juga, katanya, pertanian jadi identitas orang pegunungan. Krisis pertanian dia anggap sebagai krisis identitas.

Mawel berpendapat, pertanian makin ditinggalkan karena transfer pengetahuan tentang pertanian dari orangtua ke orang muda terhenti. Pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal. Sedang pendidikan formal itu menjauhkan generasi muda dari pertanian.

“Pendidikan tak mengarahkan mereka jadi petani. Setelah menempuh pendidikan formal, orang-orang muda memilih profesi-profesi lain, petani ditinggalkan.”

Znoj sendiri melihat penyebab krisis pertanian ini merupakan kombinasi banyak faktor.

Saat Orde Baru berkuasa di Indonesia tepatnya 1977, katanya, mulai berlaku isntruksi presiden tentang pembangunan desa. Kampung-kampung yang mulanya mengatur kehidupan sendiri mulai dikontrol pusat.

Kepala desa diberi kekuasaan mengatur warga dan dilengkapi fasilitas seperti dana dan program-program. Pembangunan dirancang pemerintah, bukan masyarakat sendiri. Sampai sekarang itu masih terlanjut.

Dengan otonomi daerah, katanya, pemekaran makin marak termasuk di Lembah Baliem. Wilayah-wilayah ini terpecah-pecah dalam desa-desa.

Dua sistem itu berjalan bersama. Namun, katanya, sistem desa lebih kuat dengan kuasa dan dana serta program-program yang ditopang negara, sementara sistem adat melemah. Melemahnya sistem adat berdampak pada pertanian, sementara sistem baru di desa tidak menempatkan pertanian sebagai agenda utama.

“Jadi pertanian di pegunungan tidak mungkin kalau tidak ada kerjasama. Harus ada pemimpin yang mengurus itu”.

Znoj juga berpendapat, pemerintah tak melihat pertanian di pegunungan termasuk Lembah Baliem sebagai sesuatu potensial. Hal ini, katanya, terlihat dari pendekatan program pemerintah cenderung mendatangkan pertanian baru berbasis industri yang berdampak pada migrasi tinggi ke Papua.

Kesempatan mempertemukan produksi pertanian ke pasar pun terhenti. Lembah Baliem, pengekspor hasil pertanian ke berbagai wilayah kini tinggal cerita. Bahkan, katanya, komoditas dari Jayapura kirim ke Wamena.

Data Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian dan Perdagangan Jayawijaya 2017, menunjukkan, sayur dan buah yang masuk ke Wamena mencapai 13 ton perbulan, antara lain bawang merah, bawang putih, cabai merah keriting, cabai merah rawit, tomat, lengkuas, jahe, pare, terong, dan kacang panjang. Juga, daun salam, daun jeruk, bunga pepaya, pisang, mangga, salak, kedondong, pepaya, semangka dan melon.

Berbanding terbalik dengan data produk dari Wamena ke Jayapura hanya satu ton perbulan seperti sawi, kol, wortel dan daun bawang.

Znoj juga melihat tradisi pertanian terputus. Orang muda berorientasi pada hal lain dan tak melihat pertanian sebagai peluang ekonomi.

Kondisi ini, katanya, makin diperparah dengan berbagai program seperti pembagian beras miskin. Program ini, katanya, merusak sistem pertanian susbsisten. Terbukti dari penelitian dia, orang-orang lebih memilih menunggu bantuan beras daripada bekerja.

Bantuan langsung ke desa juga berkontribusi melemahnya daya tarik masyarakat mengolah lahan pertanian. Ia diakui Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan Papua, Julius Umboro.

Dia bilang, kegiatan padat karya seperti pembangunan jalan, rumah, toilet, saluran air, lebih dipilih masyarakat. Setelah bekerja, mereka langsung mendapat uang, lebih pendek dibanding pertanian.

Kondisi ini, katanya, harus jadi catatan penting bagi pemerintah hingga dana-dana desa tak hanya pembangunan fisik juga peningkatan ekonomi melalui pertanian.

“Cuma terus terang, saya kurang paham pembagian dana-dana desa ini. Untuk sektor fisik berapa, di luar itu berapa. Saya tidak tahu. Kalau memang itu ada, ya mungkin harus lebih fokus. Supaya sektor pertanian yang notabene kultur masyarakat di sini tak hilang.”

Seorang Mama sedang merawat tanaman di kebunnya. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Rawan pangan

Secara administrasi, Lembah Baliem, masuk dalam Kabupaten Jayawijaya, ibukota Wamena. Hingga kini, wilayah ini hanya bisa diakses dengan pesawat dari Jayapura.

Data Dinas Ketahanan Pangan Papua 2015, menunjukkan Jayawijaya, kabupaten dengan jumlah distrik paling banyak yang rentan kerawanan pangan dan gizi di Papua.

Dalam peta itu, pemerintah mengambil data pada 156 distrik di 11 kabupaten percontohan. Kabupaten-kabupaten percontohan itu antara lain Merauke, Jayawijaya, Jayapura, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak Numfor, Mimika, Boven Digoel, Sarmi, Keerom, Waropen.

Indikatornya, berdasarkan tiga aspek utama ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses ke pangan, dan pemanfaatan pangan.

Pemerintah menetapkan skala prioritas satu sampai enam. Pertama, menunjukkan distrik paling rentan terhadap kerawanan pangan dan gizi sementara prioritas enam kelompok paling relatif tahan pangan dan gizi.

Dari 11 distrik percontohan di Jayawijaya, enam masuk skala prioritas satu dan lima distrik prioritas dua. Distrik skala prioritas satu antara lain Kurulu, Walelagama, Asolokobal, Musatfak, Pelebaga dan Hubikosi. Skala prioritas dua adalah Wolo, Bolakme, Yalengga, Asologaima dan Wamena.

Dalam berbagai kesempatan berdiskusi dengan orang-orang muda di Lembah Baliem, mereka menyebut kejayaan pertanian memungkinkan kalau kembali pada sistem pertanian dulu di mana adat memiliki peran penting.

Znoj juga mengamini. Pertanian di Lembah Baliem, katanya, memiliki potensi besar baik pertanian susbsisten maupun berorientasi pasar. Elemen kolektif dari pertanian di Lembah Baliem, juga jadi kekuatan untuk keuntungan ekonomi.

“Saya rasa elemen kolektif itu penting untuk struktur sosial orang Papua. Kekuatan masyarakat Papua itu tergantung elemen kolektif itu. Dalam ekonomi kapitalis, mereka masih mampu bertahan dengan produksi kolektif.”

Selain itu, katanya, tak sulit memasukkan elemen baru dalam pertanian di Lembah Baliem. Produk pasar dengan mudah diadopsi dalam sistem pertanian di Lembah Baliem.

“Awalnya hanya keladi, pisang dan beberapa ubi yang ditanam, lalu ubi jalar dan wortel, kol, sawi,” katanya, seraya bilang, ada juga orang Baliem mencoba kembangkan kopi dan padi.

Produk organik yang dihasilkan, juga jadi keuntungan tersendiri.“Saya rasa kesuburan tempat-tempat seperti itu sangat luar biasa. Tanpa pupuk. Itu yang menarik. Itu sangat sesuai untuk pertanian organik. Pertanian organik dengan pasar itu potensi sangat besar.”

Kondisi ini, katanya, peluang bagi orang muda. “Kesempatan jadi pengusaha dengan mengembangkan pertanian di kampung terbuka lebar,” katanya.

 

Lahan pertanian di Lembah Baliem. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

***

Dalam buku Papua Nyawene, warga juga berpendapat kekuatan pertanian di Lembah Baliem, ada pada masyarakat sendiri.

“Permasalahan sudah jelas, nilai hidup baik sudah hilang. Apakah sekarang kita memiliki tekad untuk memperbaiki?” kata Bapa Yusuf Asso dari Kampung Hesatum.

“Soal perubahan ini, orang-orang penting dalam kampung itu bisa bicara dan membuat kampung masing-masing lebih baik. Solusi berubah kembali ke kampung kita sendiri.”

“Kita kembalikan pemimpin-pemimpin kampung. Kalau kita pakai cara lain, sangat sulit kembalikan situasi ini. Intinya kita kembali ke kampung masing-masing, angkat kembali posisi yang sudah ada turun-temurun.”

Namun, bagi Znoj, niat baik masyarakat tak akan berjalan baik tanpa dukungan pemerintah.

“Pemerintah harus sadar, kalau mereka mau kemajuan dari dalam, kemajuan dari sistem pertanian, pemerintah tak boleh ikut campur. Pemerintah harus mendukung masyarakat merencanakan pengembangan mereka. Pemerintah harus mendukung tanpa rekayasa.”

 

 

Keterangan foto utama:   Mama-mama berjualan di Pasar Jibama di Lembah Baliem. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version