Mongabay.co.id

Biskuit Oreo Terlibat Perusakan Habitat Orangutan di Indonesia, Bagaimana Ceritanya?

Bayi orangutan di Pusat Penyelamatan Orangutan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada 14 September 2013. Orangutan makin terdesak kala habitatnya terus terbabat. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

 

 

Diputer, dijilat, dicelupin.” Begitu iklan biskuit Oreo yang mudah menempel dalam ingatan masyarakat. Ada apa dengan Oreo? Greenpeace International pada 13 November 2018, meluncurkan laporan Dying For a Cookie, berisi investigasi pemasok minyak sawit makanan ringan raksasa Mondelez, terkait perusakan hampir 25.000 hektar hutan habitat orangutan di Indonesia hanya dalam dua tahun.

Mondelez, pembeli minyak sawit terbesar di dunia, digunakan di banyak produk terkenal, termasuk cokelat batangan Cadbury, biskuit Oreo dan Ritz.

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia kepada Mongabay mengatakan, Oreo dan makanan ringan lain dibuat oleh Mondelez yang mendapatkan pasokan sawit Wilmar. Wilmar mendapatkan sawit dari PT Bumitama.

Kiki bilang, investigasi Greenpeace menemukan, antara 2015 dan 2017, 22 pemasok minyak sawit Mondelez telah menggunduli hutan lebih 70.770 hektar hutan Indonesia dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, lebih luas dari Kota Chicago, Amerika Serikat, tempat kantor pusat Mondelez berada.

Adapun Mondelez berbasis di Deerfield, Illinois, pinggiran Chicago. Luas Chicago 60.600 hektar.

Pemasok minyak sawit untuk Mondelez, katanya, juga diduga mempekerjakan anak-anak, eksploitasi pekerja, penebangan ilegal, hingga masalah kebakaran hutan dan perampasan tanah.

Data Greenpeace, pada 2017, Mondelez gunakan 306.554 ton minyak sawit dan turunannya, dan 2016, 312.266 ton.

“Mondelez mendapatkan banyak minyak sawit kotor ini dari Wilmar International,” kata Kiki taufik kepada Mongabay.

Sepuluh tahun lalu, katanya, Mondelez berjanji membersihkan pasokan sawit dari perusakan hutan. Minyak sawit, katanya, dapat dibuat tanpa merusak hutan, namun penyelidikan Greenpeace menemukan pemasok Mondelez masih merusak hutan. “Menghancurkan habitat orangutan, mendorong makhluk-makhluk cantik dan cerdas ini ke jurang kepunahan.”

CEO Mondelez, Dirk Van de Put, penah berjanji menawarkan konsumen ‘camilan yang baik.’ Hal itu tak terwujud, katanya, kala minyak sawit berasal dari perusakan hutan yang memicu perubahan iklim.

Mondelez pertama kali berjanji, membersihkan rantai pasokan pada 2010, dan menerbitkan kebijakan ‘tanpa deforestasi, tanpa gambut, tanpa eksploitasi’ pada 2014.

“Ini harus jadi peringatan bagi Mondelez dan merek rumah tangga lain agar bertindak menghentikan suplai dari Wilmar hingga terbukti minyak sawit bersih dari deforestasi.”

Dia bilang, deforestasi di kawasan tropis menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca setiap tahun daripada seluruh Uni Eropa, mengungguli setiap negara kecuali Amerika Serikat dan Tiongkok.

Pada Oktober 2018, Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyerukan penghentian segera deforestasi untuk membatasi suhu global yang meningkat jadi 1,5 °C.

Pekan lalu, katanya, Sekretaris Eksekutif PBB dari Sekretariat Konvensi Keragaman Hayati, Cristiana Pașca Palmer,mengingatkan, kehilangan keragaman hayati adalah ‘pembunuh diam-diam’ dan ancaman serius, salah satu perubahan iklim.

 

Alat berat membersihkan lahan dan membangun kanaldi konsesi sawit PT. Ladang Sawit Mas, anak usaha Bumitama Gunajaya Agro Group di Nanga Tayap, Ketapang, Kalimantan Barat, pada November 2013. Foto: Kemal Jufri/Greenpeace

 

Greenpeace meminta, Mondelez memutuskan kontrak pembelian minyak sawit dari Wilmar. Sebelumnya, Wilmar jadi pedagang sawit pertama pada 2013 berjanji menghentikan deforestasi. Tahun 2015, pertama kali mempublikasikan nama dan lokasi pemasok, seolah-olah transparansi, praktiknya masih buram.

Wilmar mendapat lebih 80% minyak sawit dari pihak ketiga, dan gagal memantau operasi pemasok untuk memastikan telah memenuhi kebijakan atau tak merusak hutan.

Wilmar membeli dari kelompok Bumitama, menurut Greenpeace, masih merusak habitat orangutan dan satwa endemik lain.

Laporan ini juga mengkritisi kegagalan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengawasi anggota mereka, baik Mondelez, Bumitama dan Wilmar.

Kelompok Bumitama adalah perusahaan patungan antara Harita Group– dikendalikan keluarga taipan Indonesia Lim Hariyanto dan konglomerat Malaysia IOI Group.

“Berdasarkan peraturan RSPO, ini akan menghasilkan pengusiran Bumitama dari keanggotaan RSPO,” tulis laporan Greenpeace.

Dikutip dari Mongabay.com, Dato ‘Lee Yeow Chor, Kepala Eksekutif IOI Group dan Direktur Non-eksekutif Bumitama, menyambut baik pengawasan lebih mendalam terhadap Bumitama.

Dia mengatakan, IOI memiliki tanggung jawab atas “malpraktek besar oleh Bumitama.” Juga secara pribadi memiliki tugas pengawasan guna memastikan Bumitama mematuhi hukum negara dan komitmen dalam kebijakan berkelanjutan perusahaan.

IOI, kata Chor, berkeinginan menekan manajemen Bumitama sebagai pemegang saham substansial dan akan menyambut setiap saran dari Greenpeace atau lembaga swadaya masyarakat lain tentang bagaimana lebih banyak tekanan.

 

Janji Mondelez

Kala Mongabay mengkonfirmasi ke Mondelez, Tom Armitage Senior Director, Global External Communications Mondelez Internasional mengklaim, perusahaan telah berkomitmen memberantas deforestasi dari rantai pasokan minyak sawit. Juga aktif bekerja dengan mitra di seluruh industri selama bertahun-tahun, katanya, untuk memastikan minyak sawit berkelanjutan.

Rencana aksi minyak sawit mereka berisi langkah-langkah konkrit, memastikan minyak dibeli dan dihasilkan dari lahan sah.

“Tidak mengarah pada deforestasi atau hilangnya lahan gambut, menghormati hak asasi manusia dan tidak menggunakan kerja paksa atau pekerja anak,” katanya Kamis, (15/11/18).

Perusahaan, katanya, secara terbuka menyatakan pemasok harus melacak semua minyak yang masuk ke mereka.

“Pemasok harus melacak minyak di seluruh operasi dan minyak dari pihak ketiga. Kami adalah pembeli minyak sawit pertama yang meminta mereka menempatkan peta data pasokan ke platform pemantauan Global Forest Watch,” ucap Armitage.

Mondelez, menggunakan platform GFW PRO dan agar berjalan efektif mereka meninjau dua kali setahun semua kontroversi minyak sawit yang diketahui dengan pemasok langsung ke Mondelez. Perusahaan juga meminta mereka menginformasikan hasil dari keterlibatan dengan pemasok hulu.

“Kami mengambil tindakan ketika kami tak puas. Kami telah menghilangkan pemasok dari rantai pasokan yang tak memenuhi standar. Kami mengonfirmasi minggu ini pengusiran 12 perusahaan sebagai akibat dari pelanggaran.”

Mondelēz menyumbang sekitar 0,5% konsumsi minyak sawit global.

Mongabay, sudah mengirimkan pesan tertulis via email kepada Perpetua George selaku General Manager Wilmar Internasional dan bagian humas perusahaan, namun belum mendapatkan respon.

Dalam rilis resmi situs perusahaan, September 2018, ketika merespon aksi Greenpeace di kilang minyak sawit mereka di Bitung, Sulawesi Utara, Wilmar kecewa atas tuduhan Greenpeace yang mendiskreditkan perusahaan mereka.

Iris Chan, Corporate Communications, membantah. Wilmar, katanya, hanya membeli dari 13 kelompok pemasok, bukan 18 seperti yang disebut dalam laporan Greenpeace.

Dari 13 perusahaan pemasok Wilmar, dua menegaskan konsesi yang disebutkan dalam laporan itu bukan milik mereka. “Delapan perusahaan terdaftar di daftar keluhan kami sejak beberapa bulan lalu. Wilmar telah memberikan pembaruan rutin pada kasus-kasus itu ke Greenpeace sejak awal 2018,” katanya.

“Greenpeace, sebagai pemangku kepentingan utama, harus berkontribusi menemukan solusi membantu seluruh industri mendukung dan membeli hanya sawit yang NDPE (no deforestation, no peat and no exploitation policy,” kata Chan.

Dalam rilis Wilmar, mengklaim tuduhan Greenpeace Wilmar gagal memantau rantai pasokan karena kurang paham yang disengaja tentang pekerjaan mereka di lapangan.

Wilmar, mengklaim dapat dukungan Aidenvironment Asia, menjalankan program verifikasi grup pemasok (SGC).

“Ketika mendapatkan keluhan, perusahaan berusaha membangun dialog, menawarkan pelatihan dan bimbingan, penilaian dan memantau kemajuan, mengubah perilaku pemasok kami menuju praktik lebih berkelanjutan.”

Dia bilang, kalau pemasok mengulang perilaku tak patuh atau tak mau mematuhi kebijakan NDPE, Wilmar akan menangguhkan perdagangan dengan pemasok pada tingkat grup.

Wilmar meminta, Greenpeace kritis tetapi konstruktif dan mengenali langkah-langkah yang diambil industri.

 

Keterangan foto utama:     Bayi orangutan di Pusat Penyelamatan Orangutan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada 14 September 2013. Orangutan makin terdesak kala habitatnya terus terbabat. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

 

Pembukaan lahan baru, PT DAS yang berbatasan dengan konsesi PT LSM di Muara Kayong, Nanga Tayap, Ketapang, Kalimantan Barat, pada 10 Desember 2016. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

 

 

Exit mobile version