Mongabay.co.id

Sesama Warga Berbagi Solusi dan Inspirasi Melestarikan Lingkungan

Pertemuan-pertemuan besar seperti Our Ocean Conference (OOC) 2018 seringkali lebih banyak mendiskusikan hal-hal besar, tetapi kurang memberikan tempat bagi suara-suara warga. Padahal, warga di akar rumput seringkali tidak hanya menjadi korban bencana lingkungan, tetapi juga memiliki solusi.

Sejumlah lembaga kemudian mencari jalan lain untuk membawa pesan dari warga di akar rumput itu ke khalayak luas. Laporan partisipatif menjadi salah satu caranya, baik lewat film ataupun tulisan.

Dalam OOC akhir Oktober lalu, beberapa lembaga mengikuti pra event pemutaran film selama dua hari sebelum konferensi tahunan tentang kelautan itu. Salah satunya Ocean Witness, platform daring untuk berbagi cerita tentang isu-isu kelautan.

Ocean Witness, mempublikasikan cerita tentang laut dari berbagai negara. Pada saat dibuka pada Jumat (16/11) malam, situs ini sudah menampilkan 26 cerita tentang laut (ocean witness) dari beragam profil dan berbagai negara.

“Kami mengajak orang-orang di lapangan untuk menyampaikan apa yang terjadi pada mereka, apa yang mereka lakukan, dan pesan apa yang ingin orang lain lakukan pada mereka,” kata Carol Phua, Global Coral Reef Initiative Manager WWF Australia yang mengelola platform ini.

baca :  Cerita Penyelamatan dari Kawasan Wallacea dalam OOC, Seperti Apa?

 

Tempat tinggal warga Bajau di Malaysia. Foto : Ocean Witness/Mongabay Indonesia

 

Akar Rumput

Ketika memulai inisiatif Ocean Witness sekitar setahun lalu, Carol mengatakakan, mereka ingin memberikan tempat bagi suara-suara di akar rumput. Padahal, suara mereka penting bagi para pengambil kebijakan yang mengikut konferensi-konferensi tingkat tinggi.

“Kadang-kadang mereka yang bekerja di tingkat tinggi lupa pada warga di akar rumput. Karena itu perlu untuk memerlihatkan dampak di lapangan ke mereka,” lanjutnya.

Ocean Witness kemudian mengumpulkan cerita-cerita itu dari berbagai aktor di tingkat akar rumput itu. Bisa ilmuwan, nelayan, ibu rumah tangga, aktivitas organisasi non-pemerintah, dan lain-lain. “Kriterianya, mereka punya solusi. Mereka harus menyumbang solusi di lapangan dan punya solusi tentang laut,” tambahnya.

Untuk mendapatkan cerita tersebut, Ocean Witness menerima usulan cerita dari publik. Namun, mereka juga melakukan pemeriksaan latar belakang sumber. “Tentu saja kami memeriksa juga latar belakang untuk memastikan mereka bukan orang-orang bermasalah, misalnya perusahaan perusak lingkungan,” ujarnya.

Menurut Carol, cerita-cerita di akar rumput semacam ini penting dalam pelestarian lingkungan karena orang-orang memang menunggu adanya solusi. Dalam cerita-cerita yang dipublikasikan itu terlihat bahwa para saksi laut memang telah melakukan sesuatu untuk memperbaiki lingkungan laut mereka.

baca juga :  Lautan Dunia dalam Ancaman Bahan Kimia Beracun

 

Carol Phua saat berdiskusi tentang Ocean Witness di Bali akhir Oktober lalu. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Carol memberikan contoh cerita tentang kelompok perempuan di Kepulauan Solomon yang bisa mendorong lahirnya pembiayaan untuk pelestarian lingkungan. Itu menunjukkan bahwa makin banyak cerita, makin banyak solusi kita punya.

Namun, cerita itu tidak selalu berupa solusi. Kadang juga sekadar berbagi inspirasi. “Idenya tidak hanya mengirimkan pesan ke pemerintah tetapi pelajaran dari komunitas untuk komunitas. Orang Indonesia bisa belajar dari Malaysia, tetapi juga sebaliknya. Tiap orang bisa memberikan solusi dan menjadi inspirasi,” lanjutnya.

 

Kelompok Perempuan

Cerita dalam Ocean Witness memang datang dari beragam latar belakang dan negara, termasuk Belanda, Amerika Serikat, Brazil, Fiji, Kepulauan Solomon, dan Malaysia.

Roziah Jalalid, Ketua Kelompok Perempuan Pulau Omadal di Malaysia, misalnya, menceritakan upaya kelompoknya untuk melestarikan lingkungan laut ketika pulaunya terancam oleh beragam masalah, termasuk sampah plastik.

“Saya melihat banyak masalah di pulau ini. Cuaca makin panas, ikan makin sedikit, dan polusi makin buruk… Kita sebagai manusia merusak alam kita sendiri,” kata Roziah dalam situs itu.

Sejak 2010, Roziah dan anggota kelompoknya menginisasi pelestarian lingkungan laut termasuk mendorong adanya kawasan perlindungan laut. Dia dan teman-temannya juga membuat kerajinan dari daur ulang sampah. Sepuluh persen dari pendapatannya disisihkan untuk biaya pelestarian lingkungan.

Kelompok perempuan ini juga melakukan patroli untuk memantau penyu bertelur dan mendidik anak-anak muda agar peduli pada laut, tempat hidup mereka sebagai orang-orang Bajau. “Kita harus bekerja sama untuk menyelamatkan laut,” kata ibu dari dua anak ini.

baca :  Laut adalah Korban sekaligus Jawaban Perubahan Iklim

 

Dorien, salah satu Ocean Witness yang melakukan pelestarian lingkungan laut. Foto : Ocean Witness/Mongabay Indonesia

 

Menyelamatkan Hiu

Cerita lain datang dari Dorien, perempuan 33 tahun dari Belanda. Sebagai sarjana Biologi dan Oseanografi, dia melihat banyak perubahan, termasuk berkurangnya jumlah ikan dan tangkapan sampingan hiu.

“Kenyataan banyaknya hiu tertangkap tanpa sengaja sangat menyedihkan. Terutama ketika hiu-hiu itu masih belum cukup dewasa. Kita membunuh lebih banyak hiu daripada kemampuan mereka untuk berkembang biak,” katanya.

Melalui Dutch Shark Society, Dorien mendidik orang-orang tentang hiu dan ikan pari yang hidup di perairan Belanda. Dengan cara itu mereka memperbaiki kesalahpahaman sebagian orang tentang hiu dan ikan pari. Caranya termasuk mengajak warga belajar mengidentifikasi secara langsung di laut.

“Dengan melakukan riset dan pendidikan oleh warga, kami ingin agar mereka lebih antusias belajar tentang hiu dan ikan pari, termasuk meningkatkan jumlah penemuan telur secara global,” ujarnya di situs Ocean Witness.

Dorien yakin dengan makin banyaknya warga terlibat dalam riset-riset lingkungan, hal itu akan berdampak pada perubahan kebijakan dan bisnis terkait laut. Memang dampaknya belum terlihat secara langsung, tetapi dia meyakini sudah ada perbaikan.

Dari cerita-cerita yang sudah dipublikasikan, perempuan dan anak-anak muda mendapatkan tempat lebih banyak. Di antaranya adalah cerita Ayumi Kuramae Izioka, warga Brazil keturunan Jepang. Gadis berusia 25 tahun ini berbagi cerita tentang kegiatannya sebagai Penjaga Taman Nasional Saba Bank di Karibia.

Dia antara lain mengajarkan kepada nelayan setempat tentang perlunya penangkapan ikan secara bertanggung jawab. “Salah satu solusi untuk menyelamatkan laut adalah dengan membuat setiap orang terhubung dengan alam, terutama laut,” ujarnya.

 

Exit mobile version