Mongabay.co.id

Komunitas di Lombok Ini Perangi Sampah dengan Daur Ulang

Frame kacamata terbuat dari sisa celana jeans yang telah dibuang. Kacamata yang diproduksi Gumi Bamboo Lombok dikirim hingga Eropa. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Sejumlah komunitas anak muda di Lombok menggelar Daur Fest, hajatan para pecinta lingkungan. Tak sekadar kumpul dan bersenang-senang, acara ini ajang berbagi inspirasi gerakan komunitas mereka memerangi sampah dan mencintai lingkungan. Beragam karya dari hasil memulung sampah yang disulap jadi karya bernilai tinggi, bahkan ekspor hingga Eropa.

 

Deretan kacamata terpajang di meja Komunitas Gumi Bamboo Lombok pada ajang Daur Fest 2018 di Gili Air, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) Sabtu, (10/11/18). Kacamata hitam gagang coklat tua, dan gagang krem terlihat cantik.

Sepintas kacamata itu tak beda dengan kacamata biasa. Setelah diamati dari dekat, barulah ada yang istimewa dari kacamata itu. Apakah itu? Frame kacamata yang bergaris-garis itu dari celana jeans! Tepatnya, celana jeand bekas pakai.

Kris Ayu Medina, Co Founder Gumi Bamboo Lombok mengatakan, kalau itu benar-benar celana jeans. Saya dipersilakan memegang frame kacamata itu dan melihat detailnya. Terlihat jelas dari tiap sudut, tumpukan kain dipadatkan.

Celana jeans sisa yang berakhir di tempat jualan pakaian bekas atau tempat sampah, bagi komunitas ini sangat bernilai. Gabungan antara keterampilan, presisi dalam memotong, mengiris dan memadatkan kain jeans itu membuat sampah tekstil bernilai tinggi. Sentuhan seni, dengan memainkan pola garis benang pada celana jeans membuat tampilan frame kacamata hitam itu bak pola yang dilukis.

Frame lain tak kalah memiliki nilai seni tinggi. Frame dibuat dari bambu dan sisa kayu. Sentuhan seni tinggi pada frame itu membuat tampilan kacamata berbahan sampah atau limbah itu jadi karya seni, sekaligus bisa dipakai sehari-hari.

Selain bikin frame kacamata dari limbah celana jeans, kayu, dan bambu, komunitas ini juga memproduksi sedotan bambu. Ini produk utama mereka. Sedotan bambu bagian dari kampanye memerangi penggunaan sedotan plastik.

Setiap tahun sampah sedotan plastik berkontribusi mengotori lingkungan. Sedotan plastik makin banyak seiring makin beragam produk minuman kotak yang menyediakan sedotan. Café, rumah makan, restoran sampai jualan gerobak menyediakan menu jus dan minuman dingin tak pernah absen memberikan sedotan plastik.

Bagi Gumi, sedotan itu petaka buat lingkungan. Gumi gunakan bahan dari alam, seperti bambu dan kayu, yang bisa terurai. “Kami kirim ke Swedia, Belgia, dan beberapa negara Eropa,’’ kata Kris.

 

Makin tumbuh kesadaran mengurangi plastik, kini muncul gerakan mengganti sedotan plastik dengan bambu. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Kesadaran anak muda, dan pelaku usaha gunakan sedotan dari bambu maupun stainless membuat permintaan meningkat. Sekali lagi, Kris menekankan, apa yang dilakukan komunitas ini bukan semata-mata bisnis. Mereka juga mengedukasi anak-anak muda, para pelaku usaha agar mengurangi, bahkan menghentikan penggunaan bahan plastik.

Selain itu, dalam menjalankan bisnis ini, Gumi bekerjasama dengan warga desa di Lombok bagian selatan. Selain kampanye lingkungan, komunitas ini juga berkontribusi pada perekenomian masyarakat.

Di meja lain, milik Gili Ecot Trust, komunitas yang aktif mengkampanyekan kelestarian lingkungan dan pariwisata di Gili, khusus Gili Trawangan. Pada gelaran Daur Fest kali ini, Gili Eco Trut membawa aneka cenderamata produksi mereka. Barang-barang terlihat seperti produk biasa, ada gelang, tas kecil tempat handphone, dan pernak-pernik lain.

Bedanya, produk-produk ini dari sampah, seperti gelang dari jaring sampah yang hanyut terbawa ke pesisir Gili Trawangan. Jaring tersangkut di terumbu karang, jaring tersangkut di mesin perahu, dan jaring yang jadi ancaman penyu. Jaringan itu dikumpulkan, dibersihkan, lalu dirajut jadi gelang cantik.

Tas-tas kecil juga hasil mengolah sampah yang dibuang di Gili Trawangan. Sisa baju, sisa celana, sisa kain perca, botol bekas, kantong plastik, dan sejumlah sampah pencemar lain, di tangan aktivis Gili Eco Trust jadi barang berharga.

Selain barang-barang olahan sampah, Daur Fest juga mengundang para pegiat lingkungan mengkampanyekan organik. Iwin Insani, pelaku wisata, sekaligus pegiat sosial misal, mengenalkan produk sunblock. Sunblock ini dari minyak kelapa yang banyak tumbuh di pesisir pantai Lombok.

Dia juga mengenalkan sunblock dari illipe butter. Bahan ini dari pohon yang tumbuh di Kalimantan, dari pohon Shorea stenoptera.

 

Aktivis Gili Eco Trust Delphine Robbe mengenakan aksesoris di tangannya yang semuanya terbuat dari barang bekas. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Bahan-bahan alami ini diramu Iwin bersama rekan-rekan jadi sunblock. Selain kacamata hitam, sunblock adalah barang wajib dibawa wisatawan ketika ingin berlibur ke Gili.

Iwin melihat peluang itu. Kepada para calon pembeli dia menekankan, sunblock itu jauh lebih aman dibandingkan di pasaran umum.

Dia gunakan bahan alami dan sudah teruji medis. Iwin juga mengenalkan sabun dari bahan nabati. Beberapa wisatawan mancanegara yang mendengar pemaparan Iwin tak ragu merogoh dompet.

“Kita banyak memiliki kekayaan hayati yang bisa diolah jadi barang kebutuhan sehari-hari,’’ katanya.

 

 Menumbuhkan kesadaran

Daur Fest ini gagasan sekelompok anak muda yang tergabung dalam Komunitas Daur Project. Daur Project ini mengkampanyekan pengolahan sampah plastik, mengurangi sampah plastik, dan aksi-aksi peduli lingkungan lain.

Daur Fest sengaja digelar di Gili Air, salah satu gugusan tiga selain Gili Trawangan dan Gili Meno. Pariwisata yang mendatangkan banyak wisatawan dan uang berbanding lurus pada volume sampah.

Sampah di ketiga gili selama ini tak pernah ditangani tuntas. Setiap tahun, volume sampah tak terangkut makin bertambah. Sampah baru dikeluarkan hanya sebagian kecil, seperti botol air mineral dan kardus. Sisanya, jadi gunung sampah di pulau kecil itu.

“Kami membantu mengurangi dengan memanfaatkan, mendaur ulang,” kata Aditya Yusuf, Founder Daur Project.

Sebelum Daur Fest, pada Juli 2018, Daur Project melatih warga Gili Air mengolah sampah plastik. Mereka juga mengkampanyekan pengurangan plastik bagi para pelaku usaha.

Daur Project juga mengajak anak-anak sekolah di Gili Air. Aditya yakin, jika ada edukasi tentang sampah sejak dini, kelak ketika menjadi orang dewasa, jadi pengusaha atau apapun, sudah punya kesadaran mengurangi plastik.

Dani Mukarrom, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB mengapresiasi kegiatan Daur Fest ini.

Dia mengajak para staf dan keluarga mereka melihat dari dekat kegiatan komunitas, sekaligus mengajak keluarga besar mengambil pelajaran dari kegiatan Daur Fest.

“Kegiatan-kegiatan seperti ini berkontribusi nyata dalam mengurangi sampah,’’ katanya.

Menurut Dani, Dinas LHK NTB juga mengadopsi program-program komunitas. Dia mencontohkan, sistem bank sampah, program ini awalnya dikelola komunitas.

Sistem bank sampah, katanya, warga menukarkan sampah (plastik) dengan uang tabungan di depo bank sampah. Dinas LHK melihat sistem ini bagus, mengurangi sampah sekaligus memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.

Akhirnya, Dinas LHK pun mengundang para inisiator bank sampah dan meminta mereka mengembangkan pola serupa di desa-desa lain. Setidaknya, ada 250 bank sampah dengan gagasan komunitas, didukung Dinas LHK.

“Kami dukung penuh pembentukan bank sampah, bila perlu semua desa memiliki bank sampah,’’ katanya.

 

Sunblock yang diproduksi ibu rumah tangga yang bahanya dari kelapa . Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Selalu jadi masalah

Persoalan sampah di NTB, terutama Kota Mataram dan Lombok Barat, kerap membuat pusing pemerintah provinsi. Pemerintah provinsi yang berkantor di Kota Mataram mesti menangani ketika urusan sampah antara dua daerah bersitegang.

Penyebabnya, pembuangan sampah dari Kota Mataram dilakukan di TPA Kebun Kongok, berada di Lombok Barat.

Lokasi TPA kerap protes lantaran merasa kurang mendapat perhatian Mataram. Mataram hanya mengirim sampah, tetapi tak memberikan kompensasi warga sekitar yang setiap hari mencium bau busuk sampah.

Beberapa waktu lalu, warga di sekitar TPA memblokir jalan dan melarang truk pengangkut sampah dari Mataram. Dalam waktu tiga hari, Mataram berubah jadi kota penuh sampah.

Keruwetan ini pun menarik perhatian pemerintah provinsi, menggagas TPA regional. Ia akan jadi TPA kabupaten atau kota sekitar, seperti TPA Regional di Lombok Barat, akan bermanfaat bagi Mataram dan Lombok Barat.

“Nanti di NTB akan ada lima TPA regional,’’ kata Ahmad Fatoni, Kepala Bidang Lingkungan Dinas LHK NTB.

TPA regional tak sekadar tempat menumpuk sampah. Di sana, sampah dikelola profesional. Sampah organik akan jadi pupuk organik, plastik menjadi bahan campuran aspal. Di TPA regional akan ditempatkan mesin pencacah plastik.

Butiran plastik akan dijual ke Satker Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan Kementerian Permukiman dan Perumahan Rakyar (PUPR). “Sampah plastik yang sudah dicacah itu akan dijual Rp2.400 per kilogram. Untuk ruas jalan sepanjang satu km, perlu tiga ton plastik.”

 

Keterangan foto utama:     Frame kacamata terbuat dari sisa celana jeans yang telah dibuang. Kacamata yang diproduksi Gumi Bamboo Lombok dikirim hingga Eropa. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Sampah plastik yang menumpuk di kolam pengendali banjir Kota Mataram. Setiap musim hujan Kota Mataram dihadapkan pada banjir akibat saluran yang tersumbat sampah. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version