Mongabay.co.id

Sempat Tersendat, Akankah Warga Mentawai Nikmati Listrik Biomassa?

Pembangkit listrik biomassa dari bambu di Mentawai. Foto: dari presentasi Jaya Wahono/ Mongabay Indonesia

 

 

Setelah sempat terhenti hampir enam bulan, masyarakat Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah, Kepulauan Mentawai, akan menikmati listrik biomassa bambu. Targetnya, akhir Desember ini pembangkit listrik biomassa bambu mulai beroperasi.

Baca juga: Cerita Seputar Proyek Listrik Energi Bambu di Mentawai

Di Desa Saliguma, Siberut Tengah, Mentawai, Sumatera Barat ini, akhir April 2018, Ketua BUMdes Saliguma, Laurianus Salabok melayangkan surat kepada Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) soal permohonan solusi kelanjutan operasi pembangkit listrik biomassa di mereka.

Surat ini diketahui Ketua BPD Saliguma, Arselinus dan Kepada Desa Saliguma, Nikolaus Sakodobat.

Mulanya, di daerah ini dibangun pembangkit listrik biomassa dari bambu kapasitas 250 Kw. Laurianus bilang, pembangkit dibangun dari dana hibah dari pemerintah Amerika Serikat (MCC) melalui PT. Charta Putra Indonesia (CPI).

“Bukan hal mudah bagi masyarakat bisa memahami dan menerima program ini. Bagaimana mungkin bambu bisa jadi bahan bakar pembangkit listrik,” kata Laurianus, salam suratnya.

Namun sosialiasi terus menerus dan pembangunan selesai oleh CPI membuat masyarakat yakin. Masyarakat berharap dapat menikmati listrik.

CPI bersama kontraktor juga melatih operator lokal yang akan mengoperasikan pembangkit ini nanti. Praktis ini menciptakan lapangan pekerjaan dan keterampilan baru bagi masyarakat.

Baca juga: Antara Bambu dan Kaliandra, Rabutan Proyek Energi di Tanah Orang Mentawai? (Bagian 3)

Menurut Laurianus, mulanya masyarakat penuh semangat mengumpulkan bahan baku biomassa dari sekeliling desa untuk keperluan pembangkit, Sebagian sudah dibeli oleh PT.CPI. Hasilnya, selama dua minggu masyarakat bisa menikmati listrik meski hanya hingga pukul 9 atau 10 malam.

Namun, tiba-tiba pada 20 April 2018 operasional pembangkit dihentikan oleh kontraktor.

“Katanya mereka fokus ke dua desa yang lain, yakni Desa Madobag dan Matotonan. Masyarakat mulai kecewa.”

Masyarakat lantas menanyakan hal ini ke CPI. Jawabannya, kepemilikan aset pembangkit jadi alasan perusahaan menghentikan sementara operasional pembangkit.

“Menurut informasi CPI barang ini milik negara dan harus diserahkan ke Pemda Mentawai. Proses pengalihan aset memerlukan waktu paling cepat enam bulan,” katanya.

Mendengar kabar ini, semangat masyarakat menurun. “Masyarakat mulai bertanya-tanya, mengapa begitu lama? Pembangkit sudah ada mengapa harus menunggu paling cepat enam bulan lagi untuk bisa menikmatinya?”

“Sungguhkah kami ini masyarakat terpencil hingga segala proses harus lama, tidak bisa cepat?”

Selang empat bulan berlalu, akhir Agustus 2018, menanggapi keluhan masyarakat ini, anggota DPD dapil Sumbar, Emma Yohana mengatakan, DPD meminta riset dan kajian dari Bapenas terkait kelayakan dan status pembangkit listrik biomassa di Mentawai.

DPD menjanjikan tindak lanjut dari penghentian operasional pembangkit listrik ini akan sebelum akhir tahun.

Tak lama, Jaya Wahono, Direktur CPI kepada Mongabay mengatakan, kajian Bapenas telah selesai.

“Tinggal diserahkan ke pemda. Nanti masyarakat akan beli dari PLN dengan harga tarif dasar listrik dan dapat subsidi seperti yang lain. Biomassa kami yang beli,” katanya.

Masyarakat Mentawai, katanya, akan dapat dua keuntungan, selain menjual bambu kepada CPI juga dapat harga listrik dengan subsidi pemerintah.

“Kemarin itu yang dikeluhkan nggak jelas aset punya siapa. Masyarakat beli listrik kemana? Sekarang sudah jelas. Aset punya negara, masyarakat beli listrik ke PLN. Targetnya bulan [November] depan sudah nyala lagi.”

 

Bambu, juga bisa untuk rangka bangunan, selain tanaman konservasi dan sumber energi biomassa. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Hingga November, pembangkit ini belum beroperasi. Reza Fernanda, dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, saat ini pembangkit masih masa uji kelayakan.

“Masih belum beroperasi,” katanya dihubungi Mongabay awal November.

Senada diungkapkan Wakil Bupati Kepulauan Mentawai, Kortanius Sabeleake. Kepada Mentawai Kita, Korta mengatakan, pengoperasian listrik biomassa bambu di Desa Saliguma dan Madibag Siberut Selatan, masih menunggu pengecekan standardisasi alat oleh PLN.

Standar kelayakan ini termasuk standar kabel, arus dan lain-lain. Bappenas, katanya, sudah menyanggupi menurunkan tim membantu pemeriksaan standar bersama PLN.

Pembangkit ini target beroperasi akhir Desember 2018 kalau hasil cek kelayakan menyatakan layak. Setelah uji kelayakan selesai, tantangan lain soal ketersediaan bambu.

Pemerintah Mentawai berpikir, memiliki lahan sendiri dikelola perusahaan daerah (perusda) sebagai persiapan kalau bambu masyarakat tak mencukupi.

 

 

Berbagai tantangan

Pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan mengalami banyak tantangan di Indonesia. Selain pendanaan sulit, pembangunan energi terbarukan masih mengalami masalah sosio kultural.

“Penelitian dan dukungan industri domestik juga masih kurang,” kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran, dalam sebuah diskusi awal Oktober lalu.

Tak hanya itu, katanya, koordinasi dan konsistensi kebijakan pemerintah dalam membangun pembangkit ramah lingkungan masih harus ditingkatkan.

Catatan Bappenas, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 441,7 gigawatt. Realisasi terpasang baru 9,18 gigawatt atau 2%. Rinciannya, energi angin 1,1 gigawatt, air 5,3 gigawatt, surya 0,09 gigawatt peak, panas bumi 1,9 gigawatt, dan bioenergi 1,8 gigawatt. Target bauran energi 23% pada 2025 baru tercapai 8,4% pada 2017.

Perhitungan sederhana untuk mencapai 23% ini memerlukan investasi sekitar US$100 miliar. Bunga pinjaman bank dalam negeri tinggi bikin sulit investasi energi terbarukan.

“Saat ini juga belum ada lembaga yang punya mandat membangun energi terbarukan, terutama daerah terpencil,” kata J Rizal Primana, Direktur Sumber Daya Energi Mineral dan Pertambangan, Bappenas.

Untuk itu, katanya, selain perencanaan terintegrasi pembangunan energi terbarukan dengan membentuk lembaga untuk membangun dan membiayai, perlu peran daerah mendukung pembangunan pembangkit ramah lingkungan.

Kalau tidak, pembangunan energi terbarukan tak akan menemui kemajuan. Sekalipun bisa terbangun, katanya, keberlanjutan program tak terjamin.

 

Keterangan foto utama:  Pembangkit listrik biomassa dari bambu di Mentawai. Foto: dari presentasi Jaya Wahono/ Mongabay Indonesia

 

Bupati Mentawai (batik marun, urutan depan nomor enam dari kiri), Jaya Wahono, Presiden Direktur CPI (baju marun jejeran nomor tiga di depan dari kiri). Foto: presentasi Jaya Wahono/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version