Mongabay.co.id

Kisah Aira, Bocah Kota yang Bercita-cita Menjadi Petani

Andi Nisfatul Aira namanya, akrab dipanggil Aira. Umurnya masih 9 tahun, Kelas IV SD, namun sudah jadi aktivis lingkungan. Ketika umur 4 tahun, ia belajar ‘diet plastik’. Tak menggunakan kantong plastik ketika belanja, selama belanjaan masih bisa dipegang. Ikut tanam mangrove, kelompok pencinta sungai, dan lain-lain.

Setiap hari Aira membantu ibunya merawat tanaman dan membuat kompos. Ke mana-mana, sepanjang pinggir jalan dimana ada pepohonan, ia mencari sisa-sisa daun yang bisa digunakan bahan pembuat kompos.

“Pernah ada yang negur kalau itu jorok, tetapi saya bilang ini mau dibuat kompos tanaman. Saya tidak pernah malu,” katanya ketika ditemui Mongabay di rumahnya, Kompleks Patompo, Kecamatan Mariso, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (13/11/2018).

baca :  Mau Tetap Hijau di Lahan Sempit? Begini Caranya…

 

Aira, bocah 9 tahun, yang bercita-cita menjadi petani. Ia bersama ibunya mengembangkan urban farming memanfaatkan pekarangan rumah yang sempit. Uniknya, sepatu bekas dan sisa botol plastik disulap menjadi pot tanaman. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Melihat sisa sepatu yang tak terpakai ia menyulapnya menjadi pot yang cantik. Botol mineral juga disulap menjadi pot untuk tanaman kangkung. Ia baru saja panen ketika saya datang berkunjung.

Pot tanaman dari sepatu bekas ini punya cerita tersendiri. Tetangganya, pedagang sepatu, kecurian. Mungkin malingnya terburu-buru sehingga sebagian sepatu yang dicuri tercecer di depan rumahnya. Beberapa di antaranya hanya tertinggal sebelah saja. Karena tak lagi terpakai, Aira meminta sepatu itu. Terlintas ide di kepalanya untuk dijadikannya sebagai pot tanaman.

Terkait ‘diet plastik’ yang dijalaninya sejak usia 4 tahun, tak terlepas dari didikan kedua orang tuanya berdiet kantong plastik sejak dini.

“Kami perkenalkan bagaimana menggunakan plastik sebaik mungkin, tentang mengurangi atau meminimalkan kehadiran plastik dalam kehidupan sehari-hari, di dalam atau di luar rumah.  Kami membangun budaya menjaga dan memelihara lingkungan agar tidak rusak karena plastik,” ujar Ahmad Yusran, ayah Aira, yang berprofesi sebagai seorang jurnalis.

baca juga : Hidroponik, Solusi Pertanian Lahan Sempit di Perkotaan

 

Aira, dengan deretan sepatu yang dijadikan pot tanaman. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Aira, tak seperti anak kota lainnya yang bercita-cita kerja di kantoran. Menjadi petani jauh lebih menyenangkan baginya. Apalagi kini memang sebagian besar waktunya memang lebih banyak untuk bertani dibanding bermain.

Bahkan menurut ibunya, Indrawati Abdi, akhir-akhir ini Aira malah lebih senang dengan kegiatan-kegiatan bertani dan lingkungan dibanding pelajaran sekolah.

“Setiap even lingkungan yang diikuti ayahnya pasti minta ikut,” ujar Indrawati.

Kesenangan Aira dengan tanaman ternyata sulit diikuti oleh teman-temannya, meski mereka sering juga menemani Aira mencari sisa-sisa dedaunan di pinggir jalan.

“Teman-teman Aira tak suka bertani karena katanya susah,” katanya sambil tersenyum.

Kesenangan Aira dengan tanaman barangkali menurun dari kakeknya yang dulunya seorang guru pertanian di Kabupaten Wajo, Sulsel.

“Dulu saya suka ikut bapak saya ke mana-mana, jadi saya suka dengan bertani memang sejak kecil. Ini juga yang menurun ke Aira,” ujar Indrawati bangga.

baca :  Hidroponik, Solusi Pertanian Lahan Sempit di Perkotaan

 

Pupuk kompos dan pupuk organik cair dihasilkan hanya dengan menggunakan peralatan sederhana. Beragam limbah rumah tangga bisa digunakan sebagai bahan pembuat pupuk, seperti sisa nasi, kepala ikan, dedaunan, cangkang telur, kulit pisang dan lainnya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Indrawati sendiri kini memang tengah mengembangkan pertanian organik di pekarangan rumahnya yang tak begitu luas. Sekaligus membuat sendiri pupuk organik, berbentuk kompos dan cair.

Melihat minat Aira yang besar untuk bertani, Indrawati mulai mendidik khusus.

“Saya ajarkan memanfaatkan daun-daun kering. Buah yang jatuh di pinggir jalan, bijinya saya suruh ambil, ditanam siapa tahu bisa tumbuh. Aira juga membantu mengambil air bilasan beras di tetangga pengusaha catering. Bilasan pertama beras itu jangan dibuang karena bagus untuk bahan pembuatan pupuk.”

Indrawati mengakui kemampuan Aira bertani sudah semakin berkembang. Kalau dulunya hanya membantu mencari bahan pembuatan pupuk, kini Aira sudah bisa menanam dan membuat pupuk sendiri.

 

Urban Farming

Indrawati memulai usahanya urban farming sejak setahun lalu. Bermula dari keresahan melihat limbah rumah tangga yang tak terpakai dan bahkan membusuk begitu saja. Ia melihat urban farming bisa menjadi solusi penanganan limbah rumah tangga.

“Saya coba googling mencari tahu bagaimana memanfaatkan limbah rumah tangga dan setelah itu mulai coba-coba. Tahap awal saya belajar membuat Takakura. Prosesnya harus bikin inokulum-nya terlebih dahulu, nanti setelah tiga hari baru masukkan sampah.”

Untuk pembuatan kompos sendiri bahan-bahan yang dibutuhkan antara lain potongan ranting-ranting pohon, cacahan kulit pisang dan daun-daun kering yang berfungsi sebagai karbon. Ada juga sisa nasi, kue, dan kepala ikan.

“Semua bahan itu diperoleh dari lingkungan sekitar. Kebetulan di dekat sini ada catering makanan. Kita tampung limbahnya, daripada dibuang di tempat sampah begitu saja.”

Agar tak berbau, gas dari limbah cair dikeluarkan menggunakan slang plastik yang dikeluarkan ke sebuah botol mineral berukuran 1,5 liter, setengahnya berisi air.

“Ini penghantar agar gas matannya tidak keluar tidak bau. Dimasukkan ke dalam air. Air sebagai penetral gas metan.”

Beragam limbah yang telah dicampur ini kemudian diberi mikroorganisme, agar proses pengomposannya cepat. Nantinya mikroorganisme-nya akan bertambah, begitu juga unsur haranya akan menjadi lengkap.

Indrawati juga membuat pupuk dari bahan cangkang telur. “Pupuk cangkang telur sebagai sumber bahan kalsium. Ada juga kita gunakan kulit pisang sebagai sumber fosfor bagi tanaman.“

Karena tempatnya sempit, produksi pupuk kompos pun juga terbatas. Dalam sekali produksi paling banyak hanya menghasilkan 400 kg kompos. Selain dipakai sendiri, kompos itu dijual Rp10.000/kg.

Di halaman rumah Indrawati memang terlihat berbagai macam tanaman seperti Kelikir, berbagai jenis Lombok, Tomat Cerry, Tomat Golden dan lainnya. Ada juga tanaman lain seperti Bidara, Kurma, Lamtoro, dan lain-lain. Karena keterbatasan halaman, sebagian bibit tanaman ini dititip di pekarangan rumah tetangga.

Tanaman-tanaman ini dijual dengan potnya seharga Rp50.000-Rp100.000/tanaman. Pembeli sebagian besar adalah tetangga dan pembeli luar yang melihat postingannya di Facebook.

Meski dikerjakan di halaman rumah yang sempit, Indrawati tak pernah mendapat komplain dari tetangga. Pupuk yang dihasilkan tak menghasilkan bau karena menggunakan inokulum dari takakura.

“Ini juga membuat kompos yang dihasilkan tak berbelatung karena belatungnya memang tak dibiarkan hidup.” Meski belatung bagus untuk tanaman namun terkadang ada pembeli yang merasa jijik.

Terkait tantangan urban farming ini lebih pada tempat yang sempit, Indriwati mengatakan “Kalau mau dibuat skala industri mesti tempatnya lebih luas, supaya sekali produksi bisa lebih banyak.”

 

Exit mobile version